Mungkin ada banyak orang yang beranggapan bahwa identitas sosial hanyalah sebuah label. Ia sekadar berfungsi selayaknya alat bantu untuk memudahkan orang lain mengenali siapa dirinya. Tak heran karena di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau penanda identitas lainnya, kita selalu diminta untuk mencantumkan satu atau beberapa identitas sosial sekaligus. Apa jenis kelaminmu, apa profesimu, apa agamamu, dan lain sebagainya.
Namun, ratusan penelitian empiris di bidang psikologi sosial yang terakumulasi selama lebih dari setengah abad telah menunjukkan betapa identitas sosial sangat mempengaruhi banyak aspek dari mentalitas seseorang. Identitas sosial membentuk cara kita berfikir (kognitif), merasa (afektif), dan bagaimana kita bereaksi terhadap segala macam peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, saat seseorang mengadopsi sebuah identitas sosial, sebenarnya ia tak sekadar menempelkan label baru atas dirinya. Lebih dari itu, ia sedang melarutkan ke dalam sistem mentalnya segala macam kecenderungan (preferences), nilai-nilai, narasi sejarah, dan emosi yang melekat pada identitas tersebut (John C. Turner, dkk., 1987). Semakin kuat seseorang manunggal dengan sebuah identitas sosial tertentu, semakin kuat pula pengaruh identitas itu menancap di dalam sistem mentalnya.
Adalah Reza (nama inisial), seorang remaja laki-laki yang baru saja lulus sekolah menengah. Ia berasal dari sebuah keluarga yang sangat sederhana yang tinggal di pinggiran sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Sebenarnya tak ada yang terlihat istimewa dari sosoknya.
Di sekolah, prestasi akademiknya terbilang biasa-biasa saja; di antara teman-teman sekelasnya dia terlihat tidak terlalu menonjol tapi juga tidak terlalu ketinggalan. Pembawaannya pun cenderung kalem. Reza memang sering ngariung bersama anak-anak sebayanya di kampung, tapi ia dikenal tak suka banyak ngomong.
Namun Reza berubah seratus delapan puluh derajat setelah ia bergabung ke dalam sebuah kelompok pengajian radikal. Awalnya, ia sekadar tertarik dengan kegiatan kerohanian Islam (Rohis) di sekolahnya. Tanpa dinyana, pertemanan Reza dengan sekelompok siswa di rohis menariknya ke jalan hidup yang sama sekali berbeda: menjadi seorang teroris.
Sekitar pertengahan tahun 2014 lalu, Religia Mujahidah (Universitas Sebelas Maret) dan saya berkesempatan melakukan studi kasus terhadap Reza. Pada saat itu ia belum lama keluar dari penjara setelah menjalani masa hukuman selama dua tahun dengan dakwaan ikut meledakkan bom-bom low explosive di beberapa lokasi di Jawa Tengah.
Di dalam studi kasus itu, kami berusaha menyelami latar sosio-psikologis mengapa seorang remaja yang berasal dari keluarga biasa saja secara ekonomi dan keagamaan, termotivasi untuk ikut kelompok radikal, dan terlibat dalam aksi terorisme.
Ada banyak sisi kehidupan Reza yang menarik dan penting untuk dipelajari. Salah satunya tentang bagaimana identitas sosial sebagai seorang “jihadis” mampu menyuntikkan ke dalam diri Reza sejenis emosi yang sangat destruktif: dendam.
Reza tak pernah sekalipun mengujungi negara-negara yang sedang dilanda perang seperti Afghanishtan, Suriah, dan Irak. Ia juga tak memiliki pengalaman terlibat langsung di dalam konflik berdarah antar pemeluk agama seperti yang pernah terjadi di Poso dan Sambas. Namun, adanya jarak pengalaman itu tak menghalangi Reza untuk ikut merasakan kemarahan dan dendam yang meruap dari konflik-konflik itu.
“Saya pengen berjihad lagi… di sini kan mulai banyak menggelora dukungan-dukungan terhadap jihad-jihad internasional, di Syiria sana,” tuturnya.
Bagi seorang Reza dan para ekstremis lainnya, identitas sebagai bagian dari umat Islam global (pan-islamic identity) sepenuhnya mendefinisikan eksistensi diri mereka. Di dalam sistem mental mereka, identitas pan-islamis ini begitu dominan, bahkan menjadi identitas tunggal (mono identity) yang mengeliminasi segala macam identitas alternatif lainnya (misal identitas nasional, identitas etnik, atau identitas sebagai bagian dari umat manusia).
Maka, tak heran, setiap perang, konflik, dan kekerasan yang melibatkan orang-orang Muslim di belahan bumi mana pun secara otomatis mereka persepsi sebagai ancaman terhadap eksistensi diri mereka sendiri. Melalui identitas tunggal itu, kemarahan dan dendam yang awalnya meletup di lokasi-lokasi konflik bisa menjalar ke mana-mana, melewati batas-batas teritorial antarnegara. Dendam yang dirasakan oleh pasukan dan pendukung ISIS di Suriah terhadap Amerika, misalnya, juga dirasakan secara mendalam oleh Reza dan kawan-kawannya.
Identitas tunggal yang dominan itu, di sisi lain, membuat para ekstremis seperti Reza melihat realitas sosial secara rigid dan simplistik. Mereka cenderung mempersepsi dunia dari kacamata sempit kami atau mereka, dan menegasikan adanya kategori kita yang inklusif, yang dapat meretas petak-petak sosial yang plural (Fuad Hassan, 2002). Simak, misalnya, saat Reza menuturkan pandangannya tentang kaum Syiah di Indonesia.
“Langkah pertama (untuk menghadapi Syiah) adalah perundingan dulu. Kalau nggak mau (kembali) dengan Islam, nggak mau tunduk dengan syariat, itu baru bisa diperangi… (Menurut) hukum asalnya mereka sudah menyebarkan kesesatan sebagaimana nabi-nabi palsu.
(Jadi harus dibagaimanakan?)
“Dieksekusi”.
Orang-orang dengan pandangan radikal seperti Reza cenderung sulit menerima gagasan bahwa seseorang semestinya justru membangun identitas sosial yang majemuk. Dengan identitas yang majemuk, individu akan dengan mudah menemukan titik-titik temu dengan banyak orang yang berbeda-beda. Dengan demikian, potensi-potensi konflik dapat diredam sejak awal.
Sebagaimana Uskup Soegijapranata saat ditanya tentang loyalitasnya kepada Vatikan dan bangsanya, ia dengan mantap menjawab: “Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia.” Orang-orang seperti Soegija paham betul bahwa, tak seperti batu kali, identitas sosial itu plastis dan elastis!
Kolom terkait:
Pendekatan “Baru” terhadap Ayat-Ayat Jihad