Beberapa hari lalu para aktivis kesetaraan gender heboh dengan kebijakan Universitas Andalas. Perguruan tinggi terkemuka di Padang, Sumatera Barat, ini mensyaratkan mahasiswa baru yang diterima kuliah di sana menandatangani form bebas-LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender)–semacam pernyataan peneguhan diri tidak berorientasi seksual non-hetero atau beridentitas gender anti-arus utama. Meski kebijakan ini sempat lenyap dari situs resmi kampus, pihak universitas tetap kukuh dengan sikapnya.
Diskriminasi di ranah kampus semakin mengingatkan kita kembali betapa ketakutan terhadap homoseksual (homofobia) masih setia bercokol–bahkan di komunitas akademik.
Universitas Andalas jelas bukan satu-satunya kampus homofobia. Sebelumnya, UIN Sunan Kalijaga juga telah mendeklarasikan sikap yang sama.
Secara lebih mengerikan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu malah menyebut LGBT lebih mengerikan ketimbang senjata nuklir. Olehnya, empat huruf ini diimani sebagai proxy war yang berintensi merongrong kedaulatan republik ini. Dampaknya, lanjut Ryamizard, jauh lebih destruktif ketimbang bom nuklir.
Sungguh, jika ada homophobic award, nampaknya Ryamizard maupun Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir pantas dinominasikan mendapatkannya. Jenderal purnawirawan dan profesor ini sungguh berbeda dengan almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang malah bersedia menjadi penasihat ikatan waria Indonesia.
Seperti halnya Gus Dur, Presiden Joko Widodo justru mengundang Dorce Gamalama ke Istana kala sentimen anti-LGBT merangsek pada 2015 lalu. Begitu kuat ayomannya kepada kelompok minoritas, Ayah Kaesang ini malah kabarnya pernah menjadi anggota arisan komunitas waria saat menjabat wali kota Solo.
Teror Lama Homofobia
Mungkin Rektor Universitas Andalas Profesor Tafdhil Husni dan kalangan homofobik tidak menyadari, ketakutan irasional mereka terhadap LGBT telah lama terinstall, setua peradaban ini. Ketakutan tersebut, sesungguhnya, tidak ada hubungannya dengan agama, namun lebih karena problem politik dan urusan nasionalisme.
Segera setelah kaum Yahudi (Jews) terbebas dari cengkeraman Babilonia (Babylonia Captivity), mereka begitu ingin membangun peradaban sendiri dan menolak segala hal yang berbau Babylonia. Yahudi terobsesi untuk menjadi otentik dan berbeda dengan bangsa lain–termasuk Kanaan, Yunani, dan Asyiria. Situasi psikologi bangsa Israel mungkin mirip dengan sekelompok umat Islam yang mengharamkan celana dan dasi karena identik dengan penjajah saat republik ini dijajah.
Sebagaimana kita tahu, sistem keagamaan Babilonia dan Asyiria bertumpu pada pengagungan para dewi/dewa. Mereka meyakini bahwa kesuburan adalah konsep kunci dalam pemujaan tersebut dan sperma adalah simbol utama.
Itu sebabnya, bagi mereka, berhubungan badan serta masturbasi merupakan bagian penting dari ritus suci yang kerap dilakukan saat memuja patung Innana/Isthar maupun Ba’al. Pendek kata, sperma merupakan sesajen utama yang biasa didemonstrasikan.
Para pemimpin agama di kuil pemujaan yang kerap berpakaian perempuan sebagai penghormatan kepada sang dewi kerap melayani hubungan seksual para pengikutnya. Dalam menjalankan fungsi transedensi-erotiknya ini, pemimpin-pemimpin ini dibantu para staf kuil; yang laki-laki disebut qadesh, sedangkan staf perempuan disebut qadesha.
Di samping menjadi “pengepul” sperma melalui hubungan seksual, para staf ini juga menerima tip atas layanan-nikmat yang telah diberikan. Adanya unsur finansial inilah, yang pada perkembangannya, mendorong bangsa Israel–dan diikuti Kekristenan–menyebut para staf ini secara pejoratif sebagai pelacur. Padahal, kata qadesh atau qadesha sendiri berarti perempuan suci (holy women). Kata tersebut berasal dari 3 huruf “QDS” yang bisa dilafalkan sebagai ‘qudus’, ‘qudsi’ atau kudus, artinya suci.
Kemelut Luth
Semangat post-kolonial menyebabkan tidak ada satu pun pengusung sentimen anti-LGBT yang tidak tersandera oleh kisah monumental Sodom dan Gomora. Cerita ini terbakukan rapat dalam semua kitab suci agama Abrahamik–termasuk Islam. Kemelut Nabi Luth secara salah kaprah dipahami dan berujung pada generalisasi pelarangan aktivitas homoseksual.
Padahal, jika dibaca secara kritis dan teliti, kisah ini menceritakan upaya percobaan pemerkosaan yang dilakukan masyarakat setempat terhadap orang asing yang dianggap membahayakan teritorinya (Rouayheb 2009, Thackston 1997). Bisa dipastikan kaum Luth bukanlah komunitas gay, sebab mereka mempunyai anak dan istri (QS. 26:166). Agak sulit dipahami jika ada seorang homoseksual pemberani memilih untuk beristeri dan beranak.
Kemelut Luth semakin terasa janggal untuk dijadikan justifikasi penghukuman homoseksualitas manakala al-Qur’an (QS. 27:56-59) menyebut istri Luth juga tertimpa azab. Pertanyaan kritisnya, apakah Edith/Edo/Wailah–istri Luth–adalah seorang homo (lesbian)?
Narasi tekstual Sodom-Gomora senyatanya telah sedemikian dihinakan dan diperkosa untuk memenuhi syahwat pendukung sentimen anti-LGBT. Mereka lupa, Allah tidak mendukung maupun melarang hubungan sesama jenis non-koersif dalam al-Qur’an. Alih-alih, kitab suci agama Islam ini malah menghadirkan eksistensi laki-laki unik (QS. 24:31), yakni ia yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan (uli al-irba min al-rijal).
Tinjau Ulang, Profesor
Praktik diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual harus diakhiri. Bukan hanya karena melanggar konstitusi, namun al-Qur’an mewanti-wanti kita agar bersikap adil–bahkan terhadap komunitas yang kita benci sekalipun.
Sayangnya, sikap adil itu telah lenyap dari sosok “mulia” Rektor Universitas Andalas Profesor Tafdhil Husni. Kebijakannya jelas menunjukkan ia seorang homofobik sehingga Kementerian Pendidikan perlu meninjau ulang gelar profesornya. Sebab, sangat mungkin Tafdhil Husni mengidap gangguan jiwa sebagaimana hasil riset Emmanuelle A. Jannini dari Italian Society of Andrology and Sexual Medicine, yang mengkategorisasikan homofobia sebagai mental disorder/illness.
Sungguhpun saya tidak setuju dengan kebijakan rektor ini, saya rela pajak yang saya bayar digunakan untuk mengongkosi perawatan psikologisnya.
Baca juga: