Selasa, Oktober 15, 2024

Hoaks yang Dibercandai

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.

Ada anak bertanya pada bapaknya. Ini serius bertanya, bukan lirik lagu.

“Mana yang lebih hebat Bima atau Batman, Pak?”

Sang Bapak bingung menjawab. Demi menumbuhkan kecintaan pada warisan lokal, sang ayah menjawab “Bima”. Apakah salah? Tidak sepenuhnya. Namun, dengan jawaban ini, sang anak akan membawa pemahaman bahwa superhero zaman dahulu lebih baik, lebih kuat, lebih pemberani.

Tidak jarang mereka berasumsi bahwa superhero modern tidak dapat mengalahkan superhero zaman dahulu. Anak akan terbentuk untuk menghindari perkembangan yang sedang terjadi. Syukur-syukur mereka tidak membenci, lantas antipati, berlebihan menanggapi ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain.

Penting bagi orangtua untuk menjawab pertanyaan anak-anak mereka dengan jawaban yang benar, mengarahkan, dan bijaksana. Jika mereka mendapat jawaban yang keliru, apalagi salah, maka jawaban itu akan membuat anak mudah mengonsumsi hoaks.

Tidak dibenarkan orangtua memberikan jawaban keliru atau hoaks untuk memotivasi, melindungi, atau membimbing anak-anaknya. Mereka, sekecil apa pun, harus diberikan penjelasan yang matang, benar, cara penyampaian yang tepat, meski kadang menyakitkan, namun anak-anak harus dibimbing mengetahui yang sebenarnya.

Apakah ada berita atau informasi palsu (hoaks) itu berujung memotivasi? Meski hanya bersifat sementara, hoaks tidak pernah bisa memotivasi atau membangun seseorang, apalagi membangun peradaban. Jika hoaks, apa pun bentuknya tetap dipelihara, dikembangkan, ia bisa saja tumbuh menjadi kebenaran yang menyiksa, kebenaran semu yang akhirnya membuat manusia terpecah belah. Hoaks tak dapat dibenarkan jika sebuah bangsa atau negara mau maju.

Sama seperti kasus penulisan ibu kota Israel yang terus berupaya dijernihkan. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Pendidikan melarang semua SD negeri dan swasta di Solo, Jawa Tengah, menggunakan buku IPS terpadu jilid 6A dengan pengarang Budi Hartawan. Larangan ini karena pada halaman 56 di buku pelajaran kelas VI terbitan Yudhistira itu terdapat penulisan ibu kota negara yang salah, yakni Israel beribu kota di Yerusalem. Padahal, selama ini ibu kota Israel adalah Tel Aviv.

Adapun SD yang sudah telanjur menggunakan buku pelajaran itu, diimbau untuk segera menarik dan menghentikannya. Mengapa lantas kita bersusah payah menarik buku, mengklarifikasi, serta menjelaskan bahwa ini sebuah kesalahan, jika hoaks itu sama sekali tak berarti? Hoaks itu racun. Memang dampaknya tidak terasa langsung, namun racun hoaks ini susah disembuhkan sebab tertanam begitu baik di ingatan sang pengonsumsi hoaks.

“Hoax ada positif dan negatif. Saya juga mengimbau pada kawan-kawan, putra-putri bangsa ini, mari sebenarnya kalau hoax itu hoax membangun kita silakan saja.”

Pernyataan ini meluncur begitu mulus dan disadari sesadar-sadarnya oleh Djoko Setiadi, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang baru saja usai dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara. Mungkin, beliau lupa menyematkan contoh hoaks positif yang katanya bisa membangun ini. Atau bahkan sama sekali tak bisa mencontohkan hoaks yang bersifat positif.

Sangat disayangkan, pidato pertama, kalimatnya paling mengena, juga terjangan pertama Pak Djoko membuatnya paling diburu. Banyak netizen mempertanyakan perihal pernyataannya. Hingga tagar hoaks membangun menjadi trending topic.

Jika benar ada hoaks membangun, untuk apa selama ini kita memerangi Saracen, memerangi berita online bias informasi, terbitkan peraturan media online, memblokir situs-situs bernada hoaks, dan buat apa penjara bagi mereka yang menebar hoaks? Apa itu gaya-gayaan saja, agar terlihat keren, agar kasus kriminal memiliki cabang atau divisi baru? Setelah diklarifikasi, Pak Djoko bilang itu hanya gimmick ibelaka. Ah…, bapak, becandanya serius amat!

Jadi teringat kisah Celup yang juga diberondong pertanyaan setelah membuat pernyataan. Buat apa pula kampanye Celup itu menimbulkan kontroversi dan dijegah untuk menghindari persekusi? Banyak yang menolak kampanye Celup yang diprediksi akan membuat gaduh, baku tuduh. Saya ingatkan kembali soal kampanye Celup yang kontroversi itu.

Akun Instagram CELUP mengajak netizen untuk mengikuti kampanye dengan mengusung motto dan tanda pagar. “Selamatkan ruang publik kita, pergoki mereka! Laporkan kepada kami #terciduk #antiasusila,” begitu bunyi keterangan bio dalam akun resmi CELUP. Dalam banner promo, terlihat seorang pria yang sedang bersembunyi di balik pohon dan mengarahkan kamera ponsel ke sepasang pria dan wanita, dengan tulisan besar “Menyelamatkan Generasi Zaman Now.”

CELUP, singkatan Cekrek, Lapor mengklarifikasi bahwa kampanye ini bukan untuk menyebarkan aib seseorang atau menuduh menebar prasangka. Namun, yang diartikan masyarakat justru tindakan ini bersifat semena-mena dan tidak bisa membedakan mana privasi dan mana ranah publik.

Kampanye ini sebenarnya sederhana saja. Jika melihat orang bermesraan di ruang publik, maka anda diminta mengambil gambar orang itu, lalu mengirimnya ke official account CELUP—dengan menambahkan sebagai teman terlebih dulu. Nantinya CELUP akan mengunggahnya ke akun sosial media mereka. Pengirim diiming-imingi hadiah berupa voucher pulsa, gantungan kunci, dan kaos. Makin banyak mengirim foto makin besar kemungkinan memperoleh hadiah.

Mekanisme ini diumumkan langsung melalui salah satu postingan di Instagram resmi, @cekrek.lapor.upload. Mungkin, ini gerakan spontan yang tak bisa menangkal dampaknya yang paling buruk. Bukankah mengurusi permasalahan orang lain adalah sebuah kegiatan menuju penuduhan, menuju persekusi, dan kegaduhan lain yang sering timbul karena tak terkonfirmasi dengan baik.

Seseorang yang sedang berpelukan berdua, duduk berdua, pegangan tangan, belum tentu mereka akan melakukan kegiatan asusila. Jika tuduhan tanpa prasangka baik itu dikembangbiakkan, betapa piciknya pikiran tersebut. Mereka yang merasa “tersakiti” seolah memiliki wadah untuk memprovokasi.

Banyak persekusi yang terjadi di Indonesia karena kurangnya kedalaman empati, informasi, hanya mengandalkan emosi. Siapa yang mau dibakar hidup-hidup, ditelanjangi sepanjang malam, dituduh teroris, tanpa diberi ruang untuk menjelaskan? Semuanya harus diklarifikasi secara terang benderang.

Pernyataan Pak Djoko soal hoaks positif dan kampanye Celup (bukan teh) adalah dua hal yang terjadi karena pemahaman terhadap hoaks yang salah. Tindakan kepo, membuntuti, ikut campur urusan orang, melulu nyinyir tanpa bukti adalah bibit hoaks yang bisa berkembang makin besar, makin lebar, dan jangan sampai jadi hobi.

Negara ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sedang memerangi hoaks. Benar-benar sedang berperang. Hoaks itu menyerang generasi dan belum tentu bisa disembuhkan pada generasi selanjutnya. Perlu berapa tahun untuk menghentikan hoaks, jika bukan dimulai detik ini?

Kolom terkait:

Melawan Hoax ala Ibnu Khaldun

Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal

Hoaks dan Nalar Kita

Kaleidoskop 2017: CELUP dan Kekacauan Fungsi Media Sosial

Media Sosial dan Ancaman Kebhinnekaan Kita

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.