Jumat, Maret 29, 2024

Hikayat Jonru: Dari Cerpenis hingga Peternak Kebencian (2-Habis)

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jonru Ginting.

Sebagai anti-Jokowi, Jonru tidak mudah lagi untuk menjadi fasilitator yang mengisi pelatihan kepenulisan. Ini karena agitasi politik kebencian yang ia pilih menggiringnya melakukan segmentasi pasar dengan sendirinya. Akibatnya, pelatihan kepenulisan yang ia buat tidak banyak orang yang mau mengikuti.

Sebagaimana diungkapkan sendiri dalam fan page-nya pada 25 Agustus 2017, di mana target peserta 190 orang, yang daftar hanya 55 orang. Karena itu, dalam setiap postingannya, ia pun sering melakukan promosi produk-produk orang lain. Di sini, insting bisnis sebagai orang yang pernah bekerja di jasa layanan internet muncul. Kehadiran situs KitaBisa.com menjadi mediium utama bagaimana ia bernegosiasi untuk membangun kerjasama dalam bentuk promosi dengan lembaga-lembaga filantropi Islam.

Dengan judul “Di KitaBisa.com, Melakukan Penggalangan Dana Jadi Sangat Mudah”, pada 15 Desember 2015, dengan sangat runtut dan detail, Jonru menuliskan bagaimana cara melakukan penggalangan dana agar banyak orang berminat melalui media sosial melalui KitaBisa,com. Selain mengajarkan tips dan trik, dalam artikel itu, melalui Jonru Media Center, ia menawarkan kerjasama promosi, pemuatan info proyek dari penggalangan dana tersebut. Upaya penggalangan dana semacam ini ternyata berhasil.

Sebagaimana disebutkan sendiri olehnya dalam tulisan tersebut, “Saya pernah memposting info penggalangan dana untuk Pesantren Quran Indonesia. Dalam satu kali posting, terkumpul dana lebih dari Rp 60 juta. Dan baru-baru ini saya membantu sebuah pesantren di Garut yang nyaris terisolir karena jalan raya sebagai akses ke gedung mereka hendak dijual oleh si pemilik lahan. Alhamdulillah, terkumpul dana lebih dari Rp 200 juta dalam sebulan.”

Tentu saja, dalam proses promosi ini, meskipun atas nama untuk membantu masyarakat yang kesulitan dan atas nama umat, ada keuntungan ekonomi yang didapatkan. Karena banyaknya permintaan dan adanya keuntungan ekonomi dengan cara filantropi semacam ini, ia kemudian membuat sendiri proyek penggalangan dana melalui organisasi Sedekah Sahabat.

Melalui Sedekah Sahabat inilah Jonru, melalui fan page-nya, menggalang dana untuk membantu pembangunan masjid, musalla, ataupun mereka yang sedang mengalami kesulitan. Meskipun mengajak kebaikan melalui Sedekah Sahabat, untuk mempertahankan dan menambahkan followers-nya, ia melakukan tindakan kontraproduktif; terus menulis dan membagi berita-berita bohong yang menjurus fitnah. Sedekah Sahabat pun sejak tahun 1 April 2017 berganti nama menjadi Akrom Foundation.

Tidak seperti sebelumnya, menggalang dana online lewat KitaBisa.com, atas nama Media Jonru Center, Jonru ini kemudian bekerjasama dengan perusahaan Malaysia melalui situs MauBantu.com.

Sebagaimana dijelaskan dalam postingan Fan Page Mau Bantu di facebook, pada 12 April 2017, “Website MauBantu.com dibangun dan dikelola atas kerjasama Jonru Media Center dengan sebuah perusahaan Malaysia. Penandatanganan MoU dilakukan di Kuala Lumpur pada 8 Maret 2017 lalu, bersamaan dengan peresmian sejumlah proyek bisnis lainnya. Kami merasa sangat bersyukur, sebab seremonial kerjasama MauBantu tersebut disaksikan oleh Menteri Perdagangan Antarbangsa dan Industri Malaysia, YB Datuk Haji Ahmad bin Haji Maslan. Semoga ini menjadi langkah awal bagi kesuksesan MauBantu.com dalam memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Aamiin.”

Meski perlu melakukan riset lebih mendalam terkait pembagian hasil terkait dengan pola filantropi semacam ini, kita bisa membayangkan keuntungan yang didapatkan melalui pola penggalangan online ini di tengah sensitivitas masyarakat Muslim Indonesia yang selalu ingin membantu sesama saudaranya yang Muslim.

Bagi saya, dua kontrakdiksi yang dilakukan Jonru ini tak bisa bertahan lama. Ini karena ia menggerakkan dua arus besar yang saling berseberangan; menggunakan narasi kebencian untuk mempertahankan followers dan sekaligus menambah dengan mengeluarkan informasi dan berita hoaks. Di sisi lain, ia melakukan penggalangan dana secara online agar masyarakat mau membantu sesama Muslim yang kesulitan dengan maksud niat baik. Meskipun sekali lagi, di balik penggalan dana tersebut, ada motif ekonomi dan keuntungan yang ia dapatkan sebagai pihak yang mengelola dan mengurus dana “umat” tersebut.

Dalam konteks ini, ulama masih terjadi perdebatan dalam menafsirkannya: seorang pengelola dana zakat, sedekah, dan infak diperbolehkan untuk mengambil dana tersebut dengan kisaran tidak boleh lebih sekitar 10 % dari total dana yang dikumpulkan, di tengah suhu politik nasional yang begitu tinggi, postingan-postingan Jonru tersebut kerapkali meresahkan sebagian masyarakat di tengah minimnya kemampuan literasi membaca dan membedakan mana hoaks dan bukan.

Tidak mudah menjerat Jonru atas ujaran kebencian yang dilakukan. Karena, dalam setiap postingannya, dengan kemampuan menulisnya, dia kerap bisa dengan cerdik memainkan postingan yang disebarkan, di mana seolah-olah ia hanya mendapatkan informasi dari situs lain, bukan orang yang menciptakan berita. Namun, momentum itu justru didapatkan oleh mereka yang geram atas setiap postingannya yang meresahkan.

Ini terlihat dalam acara Indonesia Lawyer Club pada 29 Agustus 2017 dengan tema “Halal Haram Sarancen”. Sebagai seorang politisi Nasional Demokrat, Akbar Faisal dengan cerdik mempertanyakan postingan Jonru terkait penghinaan terhadap presiden, dengan menganggap bahwa orangtua Jokowi tidak jelas. Di sini Akbar Faisal kemudian meminta pihak kepolisian, yang kebetulan juga hadir dalam acara tersebut, untuk menangkap Jonru karena menghina Presiden Indonesia.

Beberapa hari kemudian, Jonru dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian dan pada 30 September 2017 ia ditahan atas tuduhan “menebar ujaran kebencian”, karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Penahanannya ini juga berimplikasi kepada dikuncinya password Fan Page @Jonru, yang membuat dirinya tidak lagi bisa mengakses. Namun, karena itu ladang ekonomi, ia kemudian membuat fan page baru dengan nama @ayomenjonru. Melalui para pendukungnya, atas nama sentimen membela Islam, mereka melakukan kampanye besar-besaran agar melakukan like fan page yang baru tersebut. Namun, daya magnetnya tidaklah sebesar seperti fan page sebelumnya.

Kampanye tersebut hanya bisa menghasilkan 14,934 followers. Untuk meningkatkan followers secara signifikan, Jonru harus melakukan agitasi kebencian yang lebih dasyat lagi dengan menunggangi situasi politik yang sedang memanas. Meskipun ia di penjara dan memilik tim untuk menjalankan fan page barunya sebagai operator, itu tidak mudah bisa dilakukan.

Ya, mengelola fan page seperti sebelumnya membutuhkan kemampuan dan kecerdikan menulis. Itu hanya dimiliki oleh sosok Jonru sebagai mikro-selebriti yang bisa berselancar mencari lumbung ekonomi dengan berternak kebencian dan memainkan sentimen Islam melalui tindakan filantropi dan penggalangan dana online.

Pertanyaannya, apakah hikayat Jonru yang melakukan metamorfosis dari cerpenis, pengelola konten situs, blogger, peternak kebencian, dan aktivis filantropi akan berhenti di sini? Saya tidak bisa menjawabnya. Proses putusan peradilan dan hukuman durasi penjara akan menentukan kisah dirinya selanjutnya.

Jika hanya dihukum setahun, ia bisa memungkinkan untuk berselancar. Karena masih ada waktu untuk memperbanyak followers dengan beternak kebencian hingga sampai tahun 2019.

Jika lebih dari dua tahun, ia akan menjadi narasi sejarah sebagai orang satu-satunya yang diingat di media sosial atas ujaran kebenciannya yang meresahkan. Dari kemampuannya, harus diakui, ia adalah petarung sejati di bidang wirausaha (entrepreneurship); pintar membaca peluang di tengah pertumbuhan media sosial saat usianya yang tidak muda, walau dengan cara memupuk permusuhan kepada mereka yang dianggap berbeda dan menggunakan sentimen keislaman untuk menarik emosi dan kemarahan orang.

Kolom terkait:

Hikayat Jonru: Dari Cerpenis hingga Peternak Kebencian (1)

Guntur Romli, Jonru, dan Nasib Penulis Buku

Pro Jokowi Vs Kontra Jokowi, Perang Abadi Netizen?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.