Kamis, April 25, 2024

Hikayat Jonru: Dari Cerpenis hingga Peternak Kebencian (1)

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Tersangka kasus dugaan ujaran kebencian di media sosial, Jonru Ginting (tengah) berjalan keluar dari ruang penyidikan usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (1/10). ANTARA FOTO/Reno Esnir

Jonru adalah penulis produktif. Ini fakta yang tidak bisa disangkal. Dari tahun 2005-2014, sebagaimana direkam oleh Merdeka,com, ia telah menulis 9 buku, baik berbentuk antologi penulisan bersama ataupun sendiri. Misalnya, Novel Cinta Tak Terlerai (DAR! Mizan, 2005), Cowok di Seberang Jendela (Lingkar Pena Publishing House, 2005), Menerbitkan Buku Itu Gampang! (Tiga Serangkai, 2008), Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat (Dapur Buku, 2013), Sekuler Loe Gue End (Dapur Buku, 2013), Sembuh dan Sukses dengan Terapi Menulis (Dapur Buku, 2013), Pancasila, Apa Kabar? (Dapur Buku, 2013), Novel Cinta Tak Sempurna (Dapur Buku, 2014).

Sebenarnya, bakat menulisnya ini sudah muncul sejak ia kuliah S1. Ini terlihat dengan terbitnya karya puisinya berbahasa Inggris pada tahun 1993 yang dimuat di majalah Hello (Semarang). Kemampuan menulisnya ini yang terus ia asah saat kuliah Fakultas Ekonomi, Jurusan Akutansi (S1), dengan mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik kampus di majalah mahasiswa, Edents, dan koran kampus, Manunggal, di Universitas Diponegoro. Di dua majalah tersebut, ia didapuk menjadi redaktur pelaksana.

Produktivitas menulisnya inilah yang memungkinkan dirinya pada tahun 1995 diangkat menjadi koresponden majalah Anita Cemerlang wilayah Semarang dan sekitarnya (Profil dan Biografi Jonru, 8 Agustus 2014, facebook.com).

Berbakat dengan dunia menulis membuatnya tidak akan lepas dari dunia tersebut. Hal ini terlihat, selepas lulus, tepatnya sejak tahun 2000, ia menjadi konten editor di PT UniNET Media Sakti, selama satu tahun. Setahun kemudian, sejak April 2001 sampai 2007 ia menjadi konten editor di PT Cyberindo Aditama (CBN), Jakarta. Kedua perusahaan itu berada di Jakarta dan bergerak di bidang jasa infrastruktur teknologi, komunikasi, dan internet.

Meskipun pekerja kantoran, ia terus menghidupkan kemampuan imajinatifnya sebagai seorang cerpenis. Ia kemudian bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) pada tahun 2004, hingga menjabat sebagai anggota Divisi Humas di FLP Pusat sampai Agustus 2009.

Sebagaimana dicatat oleh Najib Kailani (2012), FLP sendiri merupakan wadah penulis-penulis muda yang memiliki afiliasi dengan gerakan Tarbiyah, yaitu KAMMI dan kemudian bertamorposis menjadi Partai Politik dengan nama Partai Keadilan Sejahtera, di mana mereka menjadikan dunia menulis, khususnya fiksi, sebagai jalan dan media jihad untuk menyebarkan syiar Islam dan kesalehan publik Islam.

Pada 10 Maret 2007, ia mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut dan mencoba penuh waktu berwirausaha sambil meneruskan kemampuan menulisnya menjadi blogger. Dalam bidang usaha, ia pernah mencoba pelbagai macam usaha, dari jualan bisnis hingga MLM (Multi Level Marketing). Namun, setelah 8 bulan berwirahusaha, ia sempat kembali sebagai pekerja kantoran, selama kurang lebih dua bulan (7 November-7 Januari 2008) sebagai web administrator dan content manager di Mizan.com. Hal ini diungkapkan sendiri dalam situs pribadinya di jonru.com.

Sementara itu, Mizan sendiri merupakan penerbitan Islam dengan buku-buku yang mencerahkan. Namun, penerbit ini seringkali dituduh oleh banyak orang, termasuk Jonru, setelah ia tidak kerja di sana, sebagai Syiah. Karena Syiah, maka dianggap telah keluar dari Islam. Ini tercermin dari status facebooknya pada 10 April 2015 dengan judul Tentang Mizan dan Syiah.

Dalam status facebook tersebut, ia menuduh Mizan sebagai Syiah. Meskipun penerbit tersebut dianggap Syiah, Jonru meminta agar orang tidak menuduhkan apa yang diproduksi oleh Mizan selalu terkait dengan Syiah. Di sini, jika orang tidak jeli melihat, ia sebenarnya sedang bernegosiasi antara dirinya sebagai orang yang pernah bekerja di Mizan, meski hanya beberapa bulan, tetapi tidak boleh juga melawan arus para followers-nya di tengah isu stigma Syiah yang menguat sebagai bukan Islam.

Tiga kemampuan (keahlian menulis, pengalaman bekerja di jasa internet, dan pengelola website) ini membuatnya dinobatkan sebagai pemenang utama dengan mendapatkan anugerah Super Blog melalui blognya, jonru.net (kini bernama jonru.com), dari tiga kandidat lainnya dalam lomba “Internet Sehat Blog Award 2009”. Penyelenggaran ini digelar oleh ICT Watch, organisasi nirlaba berfokus pada isu komunikasi dan teknologi di Indonesia.

Dengan mendapatkan telepon pintar BlackBerry Gemini, Jonru dianggap pemenang oleh Dewan Juri ini karena tulisan-tulisan dalam blognya tersebut menyebarkan semangat positif pengunaan internet (Tirto.id, 2 Oktober 2017). Tiga kemampuan itu yang membuatnya kemudian berhasil jualan di sejumlah lembaga, baik pemerintah maupun swasta dengan menjadi pembicara dan fasilitator, baik itu mengenai dunia kepenulisan maupun pembuatan dan pengelolaan situs (website).

Kehadiran media sosial dan perkembangan feature-nya memungkinkan orang bisa berinteraksi secara langsung, cepat, dan efektif. Namun, demokratisasi pengguna telepon genggam dengan adanya telepon pintar yang datang dari negeri Asia Timur, seperti Hongkong, Taiwan, dan Republik Rakyat China, serta kehadiran media sosial, jika disalahgunakan bisa berbahaya. Terlebih lagi, apabila ini beririsan dengan politik elektoral, baik pada level lokal, nasional, ataupun internasional.

Sebagai pengelola konten situs, blogger, dan seorang penulis, Jonru mengerti kemampuan media sosial semacam ini. Sejak pemilihan presiden pada tahun 2014, dalam memenangkan kandidat Prabowo-Hatta, ia menggunakan kemampuan tersebut. Harus diakui, sebagai mantan pengurus Forum Lingkar Pena Pusat, yang memiliki irisan kuat dengan PKS, memilih Prabowo-Hatta yang juga didukung oleh Partai tersebut juga merupakan alasan kuat Jonru untuk mendukung dan menghancurkan lawan politiknya di dunia media sosial.

Memang, usahanya memenangkan Prabowo gagal. Namun, alih-alih itu membuatnya berhenti menuliskan status facebook, sejak Jokowi menjadi presiden, ia menjadi musuh pertama dan utama yang terus-menerus melakukan serangan brutal kepada Jokowi, orang-orang terdekatnya, dan sejumlah kebijakan yang dibuatnya.

Serangan brutal dengan status facebook dan berita fitnah yang sering dibagi ini menemukan momentum dan kapitalnya. Ini karena, dengan hanya ada dua pilihan kandidat presiden dan kemenangan tipis, membuat masyarakat terbelah dua, Pro-Jokowi atau Anti-Jokowi. Di sini, ia memelihara kekalahan kubu pendukung Prabowo dengan selalu menghangatkan permusuhan dan kebencian.

Postingan kebencian yang terus-menerus dan interaksi komunikasi yang dibangun kepada pendukung Prabowo di media sosial ini menempatkan dirinya, dalam istilah Theresa M. Senft (2008), mikro-selebriti. Selain mendapatkan tanda centang biru sebagai tanda terverifikasi, hal ini tercermin dari followers-nya yang berjumlah 1,497,468. (bersambung)

Kolom terkait:

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita

Media Sosial dan Ancaman Kebhinnekaan Kita

Kita dan Darurat Muamalah Medsosiah

Polarisasi Sosial Media Sosial Pasca Pilkada Jakarta

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.