Gaduh soal puisi yang dibacakan putri Proklamator RI, Sukmawati Soekarnoputri, tentu semakin menambah deretan nama elite atau politisi yang cenderung provokatif. Puisi Sukmawati yang dibacakan dalam sebuah acara Fashion Week di Jakarta memang terkait erat dengan event busana yang tentu medeskripsikan bagaimana keindahan busana dilihat dari cara pandang estetika dan etika para pemakainya.
Namun, siapa sangka, deretan syair puisi yang menyebut “azan” dan “syariat Islam” telah membuat sebagian umat Muslim tersinggung. Bagaimanapun, azan dan syariat adalah dua terminologi khas Islam yang justru tak memiliki keterkaitan secara langsung dengan konteks penilaian berbusana.
Membicarakan puisi tentu saja lebih banyak mengungkap “khayalan” para penulisnya. Mengkhayal tentu saja bagian yang tak terpisahkan dari dimensi kemanusiaan. Bahkan, tanpa disadari, sesungguhnya perbedaan manusia dengan spesies lainnya tak hanya terletak pada akal, tapi adanya daya khayal yang senantiasa hadir dan mewujud.
Meski berkhayal sering kali berupa kegiatan tak berdasar, tanpa pijakan epistemologi yang kuat dan tak menghasilkan apa-apa, kecuali hanya angan-angan yang membumbung tinggi, namun ia memiliki daya kekuatan yang mampu mewujudkan kenyataan. Bukankah tercetusnya ide mobil atau bahkan pesawat sebagai alat transportasi tercepat bermula dari khayalan?
Saya bukanlah pegiat sastra atau puisi, tapi kadang mengagumi dan menikmati beberapa karya puisi yang dibacakan atau mungkin sekadar membacanya, walau harus diulang-ulang demi mampu mengungkap pesan apa yang tersirat didalamnya. Saya terkagum-kagum dengan salah satu puisi Abu Nuwas yang khayalannya justru tampak “pesimis” seperti tulisan syairnya:
“Tuhanku saya bukanlah ahli surga, tetapi saya rasa-rasanya tak akan sanggup berada dalam neraka-Mu. Maka terimalah taubatku dan ampunilah kesalahanku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemaaf sebesar apa pun dosa yang kuperbuat”.
Abu Nuwas adalah seorang tokoh sufi, penyair besar, yang tanpa malu-malu, merendahkan dirinya di hadapan Tuhan, menyebut dirinya seolah tak pantas menjadi ahli surga sebagaimana “mereka” yang mengklaim telah sesuai dengan keinginan Tuhan.
Abu Nuwas sedang melambungkan khayalannya melalui tulisan syair-syair yang sedemikian menyentuh, menginspirasi, bahkan lebih jauh hendak memberitahukan kepada manusia: janganlah merasa dirinya paling suci, apalagi bangga dengan “jualan surga” yang tanpa sadar terus dijajakannya kepada pihak lain.
Surga seakan telah menjadi “hak milik” dirinya sendiri, sehingga muncul klaim kebenaran soal surga yang tak pantas “disentuh” pihak lainnya. Syair Abu Nuwas ini—yang dikenal kemudian dengan “Syair Taubat”—senantiasa dilantunkan menjelang dikumandangkannya azan oleh umat muslim di seluruh dunia.
Lalu, apakah syair ini menyalahi atau melampaui syariat? Tidak, walaupun ada sebagian Muslim yang beranggapan membaca syair sebelum azan adalah bid’ah karena tak memiliki dasar dalam berbagai rujukan syariat Islam.
Menarik membahas dunia khayal dalam pandangan Ibnu ‘Arabi. Baginya, dunia khayal tak hanya berhubungan dengan kecerdasan akal, tetapi terkait pula dengan kepekaan merasa (dzauq) dan pengalaman inderawi (hissy). Oleh karena itu, para filosof beranggapan, hanya para nabi saja dan orang pilihan yang mampu menggabungkan daya khayal dan daya nalarnya hingga mencapai titik kulminasi.
Tingkat khayalan setiap orang memang berbeda-beda yang dibedakan kemudian oleh Ibnu ‘Arabi dengan istilah “Khayal Muttashil” (daya khayal yang berada pada tingkatan ilahiah); dan Khayal Munfashil (daya khayal dalam tingkatan manusiawi).
Jadi, dapat dipastikan, puisi atau syair sebagaimana ditulis Abu Nuwas masuk dalam kategori “khayal muttashil”, berkait erat dengan dimensi ketuhanan yang ditangkap oleh daya khayal dirinya sebagai manusia biasa.
Ibnu ‘Arabi lebih jauh menyebut konteks khayalan ada yang terkait dengan eksistensi yang dikhayalkan dan kemudian disandarkan atasnya (khayal muttashil) dan dimensi khayal yang berdiri sendiri tanpa bantuan atas sesuatu yang dikhayalkan (khayal munfashil).
Berkhayal tentang hal yang “munfashil” (terpisah) kemudian mendorong Ibnu ‘Arabi mengeksplorasi daya nalar dan khayalnya sekaligus melampaui naluri kebinatangan yang ada dalam dirinya sendiri. Dari situ muncul kemudian ungkapan kontroversialnya yang “khas sufistik” dalam terminologi wihdatul wujud: “maha suci saya dan sesungguhnya saya adalah Allah”.
Lalu bagaimana menempatkan soal puisi Sukmawati tentang “Ibu Indonesia”? Barangkali yang menjadi kegelisahan publik soal puisi ini terletak pada bait “Aku tak tahu syariat Islam. Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan azan mu”.
Secara tekstual, tak ada persoalan yang tersurat dalam bait-bait ini, kecuali secara tersirat membandingkan kata “azan” dengan “kidung”. Membandingkan keduanya tentu saja tak sepadan, mengingat “azan” berarti “panggilan” atau “seruan” dan kidung adalah “nyanyian”, “lagu” atau “puisi”.
Jika dicermati, ada unsur kesengajaan dalam bait puisi ini yang sedianya mengkritik agama tertentu, tapi tidak pada tempatnya. Mungkin inilah yang dimaksud “kekacauan sastra” dengan menempatkan kata yang tidak tepat, terlebih membandingkannya dengan kata lain yang tak ada kaitannya.
Dimensi khayalan yang terwakili dalam puisi “Ibu Indonesia” karya Sukmawati lebih dekat pada kondisi “takhayul” atau berupaya menciptakan suatu gambaran dan merekonstruksinya kembali. Kita tentu paham bahwa konsep takhayul dalam masyarakat kita lebih condong pada konteks penyempitan makna, bahkan bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang tak terjadi di dunia nyata, bisa berupa mitos, kepercayaan atau misteri.
Makna “azan” dipersempit sebagai “nyanyian” yang tak enak didengar atau pemaknaan “syariat Islam” terderivasi menyempit hanya pada persoalan “cadar”. Lebih jauh, puisi ini seperti menggambarkan proses kolaborasi penulisnya dengan indrawinya sendiri yang, dalam beberapa kasus, memiliki serangkaian kontak secara langsung yang tak mengenakkan dirinya dengan sekelompok umat Muslim.
Saya tidak sedang menjadi atau tiba-tiba baperan dengan melakukan kritik sastra, karena itu bukan kemampuan saya. Namun, paling tidak, puisi karya Sukmawati ini sedikit banyak telah menimbulkan keresahan di tengah publik, bahkan dapat menciptakan nuansa provokatif yang akan menggiring opini publik pada pembangunan suasana konflik.
Puisi sejatinya tidak sekadar khayal atau imajinasi, tetapi terdapat perpaduan unsur nalar di dalamnya. Memang, dalam sebuah puisi bisa saja mengandung kebenaran dan kesalahan sekaligus, karena puisi kebanyakan hasil dari sebuah kerja imajinasi.
Dengan pemilihan frasa yang tepat atau ungkapan alegoris yang kuat, tanpa harus menyebut frasa spesifik yang “sensitif” di dalamnya, sebuah puisi akan lebih terasa kuat mengkritik, bahkan mempertajam ungkapan kepada siapa arah kritik itu ditujukan.
Kolom terkait:
Puisi Sukmawati dan Islam Sontoloyo ala Soekarno
Puisi Esai Denny JA: Pamflet Harian Seorang Konsultan