Jika Anda lahir dengan limit mendekati tahun 2000-an, maka preferensi aplikasi perpesanan yang besar kemungkinan terpilih adalah LINE. Aplikasi dengan fitur-fitur tambahan mendekati Facebook, namun dengan beban kuota dan operasi lebih ringan—dan tentu saja minus fitur filter foto empati.
Tulisan ini tidak berpretensi melumat kebijakan LINE yang akan memberlakukan sistem berbayar pada official account—yang kemudian direvisi—namun pada salah satu berita hits di berbagai grup dan timeline LINE yang menjadi perbincangan kami para generasi Z.
Alkisah, ada seorang gadis bernama Karin Novilda—yang kemudian naik daun dengan sebutan Awkarin—berpacaran dengan pemuda tampan nan berotot bernama Gaga. Setiap harinya bumbu-bumbu asmara di antara keduanya semakin kuat, bak indomie, selalu saja ada sesuatu yang baru di setiap pucuk pagi kehidupan mereka, walaupun itu hal yang sama.
Bukti cinta mereka tak cukup hanya dilihat mas-mas necis barista Starbuck Sarinah, namun juga seluruh isi Nusantara—minus Papua—sepertinya juga harus turut menenggak dosis percintaan mereka. Dipamerkanlah kemesraan mereka di berbagai media sosial.
Namun naas, dari tumpukan pujian yang hadir, hujatan, dan cacian menjadi komentar termasif yang terdeteksi di akun instagram dan ask.fm-nya. Sebagian besar menyecar Awkarin sebagai perusak moral bangsa. Namun gadis berambut blonde ini masih tegar saat itu.
Bak jatuh tertimpa tangga, tiba-tiba pacar yang selama ini menemaninya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Entah wangsit apa yang diterima Gaga, sudah saya coba cocokkan weton, tanggal putus, dan shio Awkarin ternyata masih belum sublim juga dengan realitas yang ada.
Dan tepat pada 18 Juli 2016 Awkarin mengunggah video berdurasi 26 menit 13 detik berisikan potongan perayaan ulang tahun mantan pacarnya, Gaga, dan isi tumpah ruah curhatan gundah gulana dalam hatinya. Awkarin dengan sembab muka dan berderai air mata menguraikan betapa netizen begitu jahat, merisak dan menuduhnya sebagai perusak moral bangsa, menghina keluarganya.
Dalam hanya kurun 4 hari video ini sudah menyentuh 1,5 juta penonton!
Demi lem aibon mebel Pak Jokowi, saya muak dengan semua perbincangan mengenai Awkarin, dengan segala riuh British culture yang sedang saya susun potongannya dalam ruang hiperrealitas kedirian saya, tiba-tiba terkoyak dengan bertubi-tubi munculnya perbincangan moralitas palsu ini.
Ayolah netizen Indonesia, apa yang Anda harapkan dari ketiadaan Barat dan Timur dalam abad gelimang teknologi ini, gugusan dodol Garut? Bongkahan moral yang Anda maksud tidak pernah bisa menjustifikasi buruk suatu perilaku tertentu. Moral tidak lain adalah kesepakatan mayoritas. Dan bias mayoritas adalah ilusi terjamak kita temui dalam kehidupan, persis seperti kasus keluarnya United Kingdom dari Uni Eropa.
Pun standar moral apa yang Anda gunakan? Moralitas asli? Bukankah berbusana dengan tetap membuka bagian dada perempuan pernah menjadi standar moral bangsa kita? Dan berpakaian seperti sekarang ini (baca: menutup dada) adalah hasil dari impor produk Barat. Dan jika kita ingin mengatakan standar moral bangsa, lalu koteka Papua Anda anggap sebagai budaya bangsa sendiri yang sepenuhunya dari Indonesia—tentu saja itu mereka inginkan?
Tidak jelasnya standar yang digunakan, dan bias moral mayoritas merupakan bantahan telak untuk kasus Awkarin sebagai perusak moral bangsa.
Gaga dan Awkarin adalah manusia yang sudah dewasa. Sperma dan ovarium mereka sudah matang meletup-letup. Atau jangan-jangan saya menduga para netizen adalah segerombolan spesies yang baru berevolusi menuju manusia dan baru berjumpa dengan internet sehingga mengalami shock culture.
Yang dipertontonkan mereka berdua adalah kisah cinta dua insan, apa yang salah? Pantas saja teroris tumbuh subur, karena Anda membenci cinta kasih di bumi pertiwi.
Kedua, berita ini juga semakin hangat diperbincangkan para mahasiswa Universitas Indonesia yang merasa nama kampusnya ikut tercatut. Awkarin memang mengaku rela melepaskan Fakultas Kedokteran UI demi Gaga.
Dengan etos akademik yang baik, beberapa mahasiswa melakukan prinsip triangulasi data dengan mengecek langsung, dan ternyata bahkan Awkarin belum pernah mendaftar di kampus UI. Kampus dengan dosis kesombongan tertinggi di semesta raya tak mungkin menerima pengakuan Awkarin begitu saja. “Tuh kan bo’ong,” pekik mereka.
Tak hanya sampai di situ. Beberapa teman perempuan meradang, menganggap Awkarin telah terinternalisasi misoginisme, ulasan panjang nan berbuih catatan disebarkan lewat fitur berbagi LINE, bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi. Dengan jargon-jargon khasnya, mereka menyerukan perenggutan suprastruktur sebagai pijakan kuat kesetaraan gender, pendidikan tak boleh dinomorduakan, lebih-lebih karena laki-laki.
Kebohongan dan kerelaan Awkarin melepas mimpi pendidikannya tidak serta merta menjadikan kita berhak untuk menyebut Awkarin sebagai gadis tak baik, sehingga ia layak dirisak.
Dan lebih seru lagi, drama ini semakin menggelora manakala Awkarin akan melaporkan para haters-nya. Karena, masya Allah, ternyata haters Awkarin telah bersekongkol dan membuat grup LINE dengan tujuan mulia untuk menjelek-jelekkan Awkarin di depan para seleb ask.fm.
Pada tahap ini netizen kembali menyoraki Awkarin, menganggapya sebagai manusia yang penuh dengan sandiwara bak puteri di negeri dongeng.
Saya semakin termangu, kehidupan sejatinya adalah drama itu sendiri, bukan? Lihatlah, semua dari kita bermain drama di kesehariaannya. Najwa Shihab yang selalu tersenyum manakala menutup acara, Ahok yang marah-marah pada bawahannya, Jokowi yang tersenyum pada Bu Mega. Apa yang tidak termasuk sandiwara, kita semua adalah aktor dalam laku kehidupan.
Namun, netizen denial, bak para gay discreet nan homophobic, mereka menyosor Karin sebagai bahan olok-olokan. Yang mendramatisir-lah, apalah.
Dan netizen kita adalah segerombol manusia dengan tingkat amnesia terakut di dunia. Apa tidak cukup kasus sistem khilafah, siapa yang mengolok-oloknya? Kalian juga? Kasus ICMI tak mau pakai Google, kalian juga? Ck… ck… ck… Bukan karena Awkarin mengekspose perilakunya di media sosial, kalian boleh merisak dia seenaknya.
Dan setelah kesemrawutan logika mayoritas sebagai yang benar, kesalahan logika yang kedua yaitu bahwa siapa pun yang mengekspose kehidupannya di media sosial, diperbolehkan untuk dicaci maki seenaknya. Struktur logika ini sama persis seperti mengatakan bahwa “semua perempuan boleh diperkosa, karena ia perempuan”. Atau “semua orang kulit hitam boleh ditindas, karena ia hitam”.
Cacat Logika Netizen Kita
Namun, di balik semua ini ada hikmah yang jauh lebih besar, yaitu pamor Awkarin yang melejit bak pucak orgasme di ¾ detik terakhir. Masih ingat dengan bagaimana Justin Bieber menjadi penyanyi, ya melalui videonya di You Tube. Awkarin masih bisa mengambil hikmah, kalaupun ia tak jadi artis, akun instagramnya masih akan laris-manis dengan “kak, endorse in baju aku dong”, dan dulangan rupiah dari para penontonnya di You Tube.
Toh, bukan berarti argumen di paragraf terakhir bisa dijustifikasi sebagai bahan untuk merasionalisasi risakan yang selama ini ditujukan kepadanya.
Dan mengapa hanya Awkarin? Mengapa Anda diam saja dengan Gaga? Bukankah mereka melakukan perilaku yang kalian anggap bejat tersebut bersama-sama. Satu hal, karena Anda membenci perempuan, masyarakat kita sekarat, menyembah laki-laki—bukankah sampai hari ini bayangan figur Tuhan dalam benak Anda laki-laki—dan mengutuk perempuan.
Berseloroh pemerkosaan yang dilakukan pada Yuyun sebagai tindakan bejat, namun membenci Awkarin. Logika dari kedua kasus tersebut sama persis, yaitu kekerasan. Jika Anda melegalkan kekerasan kecil sejenis risakan pada Awkarin, maka bukan tidak mungkin akan banyak Yuyun-Yuyun yang lain berjatuhan.