Jumat, April 26, 2024

Haul Gus Dur: Gus Dur dan Kita yang Penakut

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.

“Bangsa ini penakut, karena tidak mau bertindak kepada yang bersalah.” Almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan hal itu dalam acara talk show di salah satu stasiun televisi nasional di Jakarta. Presiden RI ke-4 itu merasa kecewa dengan pihak-pihak yang telah berkhianat dan melengserkannya pada 23 Juli 2001.

Menurut Gus Dur, karena proyek politik, sekelompok elite di negeri ini telah melakukan tindakan yang melanggar konstitusi. Presiden dilengserkan secara politis, dengan segala cara, bahkan dengan tuduhan yang secara hukum belum bisa dibuktikan bersalah.

Diperlakukan seperti itu, Gus Dur memilih melepaskan jabatan sebagai presiden. Ia tidak meladeni genderang perang yang ditabuh oleh rival-rival politiknya. Ada hal terpenting yang dijaga oleh Gus Dur, yaitu agar hati rakyat tetap dingin dan tidak terjadi pergesekan antar kelompok bangsa.

“Biarkan kelak bangsa ini yang menilai,” jelas Gus Dur.

Rupanya Gus Dur ingin memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Keutuhan bangsa jauh lebih penting, di atas kepentingan apa pun. Meskipun, risikonya, dia harus lengser dari kursi kepresidenan. Gus Dur memilih menyerahkan proses perjalanan sejarah berikutnya kepada bangsa Indonesia. Biarlah mereka yang akan menilai dan selanjutnya bersikap atas kondisi yang terjadi.

Inilah keteladanan seorang tokoh bangsa. Tindakan yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, apa pun alasan dan tujuannya, tidak bisa dibenarkan. Apalagi hanya untuk mencapai jabatan recehan, semacam gubernur atau kepala daerah.

Bagaimana hari ini kita membaca kesimpulan Gus Dur itu, terlebih lagi bila dikaitkan dengan sepak terjang para elite politik di Indonesia terkini?

Lihatlah, misalnya, ada politikus (pejabat Dewan Perwakilan Rakyat) yang hampir selalu berkomentar (melalui akun media sosial) pedas, dan mengundang pertengkaran dengan teman-teman sejawat, atau siapa pun yang berbeda dengannya.

Ada mantan pejabat tinggi negara yang aktif turun ke jalan (berdemonstrasi), bersuara lantang melalui corong pengeras suara sambil meneriakkan permusuhan kepada sebagian kelompok warga bangsa sendiri. Ada pula pejabat yang telah ditetapkan sebagai “tersangka” namun melakukan pembelaan diri dengan segala cara, seperti pura-pura sakit, tiba-tiba hilang, bahkan membuat alibi yang berakhir dengan kontroversi (semoga kita terhindar dari semua prilaku tidak baik).

Semua lelucon itu dipertontonkan oleh para elite kita dengan penuh keberanian, seolah-olah mereka itu tidak menganggap adanya jutaan pasang mata bangsa Indonesia. Seakan-akan dia merasa, di Indonesia ini hanya ada dia saja, dan beberapa gelintir orang sekutunya yang juga suka berlaku semaunya.

Saya sengaja menghindari untuk menyebut langsung nama seseorang atau kelompok, agar tidak menimbulkan sakit hati (permusuhan) dari pihak mana pun.

Baiklah, itu perilaku mereka, para pemimpin kita itu.

Lalu bagaimana dengan kita, jutaan anak bangsa yang bisa mencermati informasi dan data yang bertebaran. Bagaimana kita, kaum muda yang juga berhak melanjutkan kepemimpinan di negeri ini.

Agaknya kita perlu mengakui kebenaran statemen Gus Dur di atas, untuk selanjutnya melakukan penataan langkah-langkah ke depan. Iya, kebanyakan dari kita memang penakut.

Kita telah membiarkan orang-orang yang kerjanya mengadu-domba saudaranya sendiri. Kita membiarkan naiknya seorang calon pemimpin yang memiliki catatan (rekam jejak) buruk dalam perjalanan karir politiknya. Kita juga membiarkan orang-orang baik bekerja sendirian, termasuk dalam menghadapi para perusuh yang ingin terlihat baik seorang diri.

Namun juga harus disadari, tidak mudah untuk melihat kebenaran di tengah karut-marut kondisi bangsa Indonesia seperti sekarang ini. Orang-orang baik dan mereka yang berniat busuk, nampak sama. Pemimpin dan calo-calo penjual aset rakyat sulit ditandai. Bahkan beberapa pihak yang telah memakai label agama tetapi nyata-nyata menebar kegaduhan di masyarakat.

Maka, wajar bila kita semua menjadi ragu, bingung, dan maju-mundur untuk mengambil sikap.

Tapi, bila kita mau melacak informasi dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya akan mudah untuk memilah mana orang-orang yang tulus menjaga bangsa Indonesia dari berbagai ancaman, dan mana para pengkhianat. Masalahnya, kita ini memiliki kebiasaan cepat lupa, dan di sisi lain mudah sekali dibuat marah oleh keadaan.

Misalnya, beberapa waktu lalu kita marah kepada seseorang, tetapi hari ini kita sudah lupa dan bahkan beramai-ramai mengusungnya menjadi calon pemimpin. Besoknya, bisa jadi, kita mulai mengumpat dan menyiarkan segala kecurangannya. Ini terjadi berulang-ulang.

Lalu dari mana kita akan memulai membenahi kondisi yang demikian?

Menurut saya, langkah pembenahan bisa dimulai dari diri kita, kaum muda. Anak-anak muda Indonesia harus mau belajar, terutama membaca perjalanan bangsa ini. Kita jangan enggan bertanya ke berbagai pihak, melacak sumber-sumber utama untuk memperoleh informasi dan gambaran setiap peristiwa yang dialami bangsa Indonesia.

Berawal dari langkah-langkah itu, kita akan bisa mengenal para pendahulu yang bisa menjadi teladan dalam memimpin bangsa Indonesia. Kita memang akan tetap kerepotan (belum berani) menghadapi para elite politik yang oportunis itu, karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar. Tetapi kita bisa memotong laju mereka, dengan cara tidak melanjutkan tradisi dan cara berfikir yang sama.

Kalaupun para elite politik dan petinggi di pemerintahan itu enggan berubah, kita tidak perlu terlalu menyalahkan mereka. Karena mungkin selamanya mereka akan seperti itu. Ada hal yang lebih penting, yaitu menyiapkan diri kita menjadi lebih baik, ketimbang mereka.

Selain menyudahi tradisi lama (seperti perilaku korup dan pengkhianatan kepada bangsa sendiri) yang bisa merampas hak generasi di masa depan, kita juga perlu terus menciptakan wahana rekonsiliasi antar-anak bangsa.

Kita semua tahu, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan latar belakang sosio-kultural yang berbeda. Karena itu, kita perlu menemukan formula untuk menganyam keragaman itu, sehingga menghasilkan motif (bentuk; pola) kesatuan yang indah dan kuat. Di sinilah pentingnya merekatkan hubungan antar-anak bangsa.

Kerja-kerja ini pula yang sejak lama dilakukan oleh Gus Dur. Melalui berbagai acara, Gus Dur rajin mendatangi dan merangkul berbagai komunitas, terlebih kelompok minoritas dan mereka yang dikucilkan. Sayang, rasa persaudaraan yang telah terbangun hampir hancur dalam sekejap hanya karena persoalan politik yang berorientasi sesaat.

Tetapi sudah sejak lama pula Gus Dur mengharapkan tangan-tangan bersih dari segenap elemen bangsa ini untuk mendudukkan mana yang benar dan mana yang perlu memperbaiki diri. Maka, keterlibatan kita semua dalam menata kehidupan bangsa ini sangat perlu, untuk Indonesia yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Kolom terkait:

Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur

Gus Dur, Demokrasi, dan Paranoia Hantu PKI

Guyonan Gus Dur dan Etos Literasi

Dari Gus Dur ke Gus Mus untuk Perdamaian Palestina

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.