Maraknya tenaga yang bisa digantikan robot membuat cita-cita menjadi karyawan harus berubah. Perbankan, administrator, bertani, menghitung, mengajar, semua bisa dikerjakan robot. Satu-satunya yang masih belum bisa dikerjakan robot adalah pekerjaan menjadi ibu.
Dapat dibayangkan ketika yang menjadi ibu kita adalah robot? Bisakah ia tertawa lepas saat berbagi suka, bisakah ia menjadi yang paling menangis saat anak-anaknya bersedih? Bisakah robot mencintai lebih dari manusia itu sendiri? Mungkin saja, mungkin nanti, ah… mungkin masih jauh.
Banyak emak yang komentar ketika anak-anak mereka bermain sosial media melulu. Salah satunya Facebook. Apa-apa curhat ke Facebook. Tidak dikasih uang jajanlah, tugas menumpuklah, bahkan berdoa pun dilantunkan dengan pasti kepada Facebook. Seolah Tuhan juga punya media sosial, main Facebook, Instagram, atau menjadi blogger mungkin.
Anak-anak zaman now sering mengabaikan pesan ibunya, lalu asyik dan menghabiskan harinya di depan layar telepon pintarnya. Berhari-hari, seolah tak pernah bosan. Hingga kalimat “Nak, kalau kamu ingin masuk surga, berdoanya di tempat ibadah, bukan di Facebook. Sebab, kamu lahir dari rahim Ibu, bukan di-download” tiba-tiba menjadi viral lalu mengiyakan bahwa menjadi ibu milenial tidaklah mudah.
Menjadi Ibu era milenial memang pusing bukan kepalang. Seorang ibu harus pandai menjadi teman (tempat satu-satunya anak-anak bisa berbagi apa pun, termasuk seks di dalamnya), namun juga harus menjadi pelindung yang memastikan anak-anak mendapat perlakuan terbaik di mana pun ia berpijak.
Ibu juga harus menjadi pengabdi media sosial, game kekinian, fashion kekinian, agar tak kehilangan kendali untuk tetap memberikan anak-anak batasan dalam dunianya. Ibu juga harus mampu menyamar di segala dunia, termasuk dunia nyata, dunia maya, bahkan ketika nanti di dunia lain. Kekuatan cinta ibu akan menjadi radar tertentu bagi setiap langkah anak-anaknya.
Sekali lagi menjadi ibu milenial butuh perjuangan, juga keikhlasan. Ibu yang kehilangan kendali atau lari dari kendali, akan cepat stres. Ibu milenial harus pandai menyeimbangkan. Ia harus menjadi satu-satunya teman untuk suaminya, menjadi satu-satunya ibu untuk anak-anak, juga menjadi tangguh di hadapan teman-temannya. Belum lagi yang memainkan peran sebagai wanita karier, maka menjadi ibu adalah tantangan juga kenikmatan.
Kadang, mereka, yang menjadi ibu di era milenial, harus menunjukkan pada dunia bahwa ia tetap baik-baik saja. Memiliki 2, 3, bahkan 5 anak sekalipun yang super aktif, super berisik bisa ditangani dengan baik. Di tengah gempuran anak-anak, ibu milenial masih bisa menunjukkan eksistensi diri, masih lebay di usianya yang sudah disebut “Ibu”, masih menarik pandangan laki-laki yang memandang, meski di kedua bahunya bayi-bayi lucu bergelayutan.
Di tengah gempuran teknologi yang kian kencang, ibu milenial harus menghadapi anak-anak yang juga besar dan tumbuh dalam buaian milenial. Itu baru soal anak, juga soal tentang diri sendiri. Soal suami, ibu yang juga jadi istri harus pintar berbagi peran. Ia harus tahu bagaimana membahagiakan suami di tengah tugas-tugasnya yang bertumpuk, tidak pernah selesai, dan selalu ada. Jika tidak, serbuan pelakor (perebut laki orang) yang sedang menjadi hits bisa saja menimpa suami atau rumah tangga sang ibu itu. Intinya, ibu milenial harus siap, tangguh, mandiri, belas kasih, empati, dan penuh cinta.
Bagaimana ibu milenial berhadapan dengan generasi semacam Awkarin, Younglex, Anya Geraldine? Apakah ia lantas larut dengan opini masyarakat yang melulu menggugat? Tidak. Ibu milenial akan berhadapan dengan generasi yang makin kreatif, tak mau dibatasi, juga mungkin tak bisa hidup tanpa teknologi. Ibu harus mengembangkan potensi terbaik dari remaja-remaja berbakat era ini dan dituntut juga tetap memberikan mereka arahan moral sebagai bagian dari ciri karakter kebangsaan. Bisa dibayangkan, betapa tugas ibu sangatlah mahaberat?
Kemajuan teknologi ternyata memberikan tekanan yang tidak langsung dirasakan oleh para ibu pada generasi ini adalah berlomba untuk menjadi ibu yang sempurna. Hasil survei yang dilakukan BabyCenter pada Februari, yang diambil dari laman TIME, memaparkan hasil survei terhadap 2.700 ibu berusia 18-44 tahun. Hasilnya hampir 80 persen ibu generasi milenial menyatakan sangat penting untuk orang lain dapat mengetahui dan mendapat pengakuan bahwa mereka adalah ibu yang sempurna.
Ibu milenial tumbuh dengan kemajuan teknologi di sekitarnya, salah satunya internet. Ibu milenial rata-rata mempunyai tiga sampai empat akun media sosial yang berbeda seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan Pinterest. Menurut data dari Weber Shandwick, setiap minggu ibu milenial menggunakan empat jam lebih banyak dari ibu pada umunya untuk menggunakan internet.
Di sinilah kadang ibu milenial yang tidak siap akan kemilenialannya itu justru membuat anak-anaknya terabaikan. Namun, tak jarang kemajuan internet yang dimanfaatkan positif oleh ibu milenial ini berdampak sangat fantastis kepada anak-anaknya.
Meski dianggap menjadi ibu milenial memiliki banyak sisi negatif, ternyata ada sisi positif yang menonjol dari orangtua milenial ini. Orangtua milenial, khususnya ibu milenial, memiliki rasa percaya yang tinggi dan mandiri. Tidak takut untuk membuat pilihan yang mungkin bisa menimbulkan pro dan kontra. Orangtua milenial ini memiliki empati untuk membantu orang lain. Berbagai pengalaman hingga membantu mengatasi kesulitan orang lain yang dilakukan melalui media sosial.
Memperingati 22 Desember sebagai Hari Ibu juga berlaku untuk ibu milenial. Bahkan perayaannya lebih dari sekadar setangkai bunga mawar atau cokelat manis yang habis dalam sehari. Peran menjadi ibu sejak dahulu memang belum bisa digantikan oleh siapa pun. Apa pun caranya, bagaimanapun kemarahannya, seorang ibu selalu merindukan anak-anaknya, menginginkan anak-anaknya mendapatkan yang terbaik sepanjang waktu, bahkan lebih baik dari yang pernah didapatkannya di masa lalu. Cukupkah sehari saja merayakan Hari Ibu?
Kolom terkait:
Selamat Hari Ibu, Ibu Pertiwi!
Refleksi Hari Ibu: Idealistis Vs Realistis