Nahdlatul Ulama (NU) genap berumur 92 tahun per 31 Januari 2018. Pada hari kelahirannya kali ini ada yang terasa istimewa. Salah satu di antara generasi terbaiknya mampu meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2017. Siapa lagi kalau bukan KH A. Mustofa Bisri atau Gus Mus, yang menyabet penghargaan tersebut pada 24 Januari lalu. Tentu ini mengejutkan mengingat Gus Mus adalah ulama pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut.
Diraihnya penghargaan ini bukan karena hal yang muluk-muluk. Todung Mulya Lubis selaku Ketua Yayasan Yap Thiam Hien, sebagaimana diberitakan Kompas (24/1), mengatakan bahwa Gus Mus tidak pernah dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia seperti Yap Thiam Hien atau Munir Said Thalib. Ia juga tidak berorasi turun ke jalan, atau melakukan demonstrasi menuntut keadilan. Tidak pernah pula beliau berteriak takbir sambil bawa pentungan layaknya ormas Islam zaman now yang doyan persekusi golongan lain atas nama agama.
Gus Mus tak lain adalah sosok kiai dan budayawan. Ia banyak menumpahkan pembelaan terhadap HAM lewat puisi-puisinya, ceramahnya, status twitternya, dan sikap keseharian. Dalam beragam ranah itulah visi kemanusiaan Gus Mus bisa diamati. Nah, di situlah rupanya letak poin plus yang dimiliki pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang, tersebut sehingga layak diganjar penghargaan.
Zumrotin K. Soesilo, aktivis yang juga Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), memberi penilaian yang hampir sama tentang sosok Gus Mus. Zumrotin menyebut bahwa Gus Mus adalah ulama yang memiliki keteguhan dalam membangun moralitas kemanusiaan di tengah bangsa yang beragam.
Dalam setiap ceramahnya, Gus Mus selalu menekankan bahwa agama harus diletakkan sebagai sumber moralitas, keadilan, dan persaudaraan. Agama tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik, tetapi harus dijadikan sebagai pedoman berpolitik. Hal inilah yang dinilai sangat relevan dengan situasi saat ini ketika muncul kelompok-kelompok yang bertindak diskriminatif terhadap kelompok lainnya.
Gus Mus dan Khittah NU
Apa pun penilain terhadap Gus Mus, yang jelas Gus Mus tetaplah Gus Mus dengan gayanya yang khas. Ia adalah sosok ulama besar di NU yang selalu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Lihat saja bagaimana Gus Mus begitu aktif di media sosial, baik di Twitter, Gus Mus channel, maupun portal gusmus.net. Meski usianya sudah tidak lagi muda, semangat Gus Mus bisa melebihi pujangga muda yang ngebet mengejar cintanya.
Gus Mus pun melayani siapa saja yang berselancar di jagat maya, baik muda maupun tua, dengan ragam pertanyaan dan persoalan. Meski jadwal ngajinya padat, baik di pondoknya maupun di masyarakat, hal itu tak lantas membuat gelora Gus Mus berkurang. Gus Mus justru mampu menempatkan diri sebagai sosok panutan, yang tak hanya untuk santri dan masyarakat Muslim, tapi untuk bangsa Indonesia.
Lebih jauh, meski selama ini perjuangan Gus Mus bukan melalui jalur politik, tetapi sebetulnya ia justru mampu memaknai politik sebagai sarana membangun kemaslahatan. Ia memang bukan politisi, tapi jejak pemikiran dan langkahnya memberi benang merah bahwa politik itu harus ditempatkan pada posisi yang luhur, yakni politik kebangsaan. Bukan politik sempit yang mementingkan golongan dan ego sesaat. Tidak mengherankan kalau Gus Mus mampu menjadi pengayom bagi bangsa ini karena sikapnya yang meneduhkan.
Sikap ini sebetulnya merupakan konsistensi Gus Mus dalam memegang khittah NU. Nilai-nilai ke-NU-an dalam menempatkan politik adalah siyasah ‘aliyah samiyah, sebagaimana digaungkan oleh KH Mohammad A. Sahal Mahfudz, Rais ‘Aam PBNU periode 1999–2014 dan Ketua MUI periode 2000–2014. Siyasah ‘aliyah samiyah bermakna peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.
Politik kebangsaan berarti NU harus istiqomah dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak mana pun.
Adapun etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU khususnya kepada kader dan warganya dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.
Generasi Micin
Politik tingkat tinggi inilah yang selama ini menjadi nafas NU dalam membangun tanah air dan selalu dipegang teguh oleh Gus Mus sehingga posisinya bisa menjadi pengayom bangsa. Persoalannya, saat ini politik tingkat tinggi harus berhadap-hadapan dengan politik tingkat rendah atau siyasah safilah yang daya membangunnya semakin akut. Yang dibangun bukan kemaslahatan berbangsa, tetapi kemaslahatan pribadi dan golongan. Cara yang ditempuh pun semakin ngawur.
Munculnya generasi micin, istilah zaman now untuk menyebut generasi yang bertingkah ngawur dan tidak berpikir akibatnya, rupanya juga mempengaruhi kontestasi politik kita. Generasi micin secara usia memang dikategorikan untuk anak-anak dan remaja, tapi secara sifat telah menjangkiti para tokoh politik kita. Generasi micin yang doyan bertingkah ngawur, ditiru juga oleh para politisi kita yang kadang tidak peduli aturan. Isu agama dan sentimen SARA dimainkan sedemikian rupa demi memenuhi ambisi politik semata.
Politik generasi micin ini jelas jauh dari cita-cita siyasah ‘aliyah. Sebab, yang diperjuangkan bukan kepentingan berbangsa dan bernegara. Politik semacam ini tentu akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak dan menghancurkan sendi-sendi kebangsaan yang telah terbangun kokoh.
Karena itu, kita berharap betul agar kontestasi politik yang akan berlangsung mulai tahun ini tidak melahirkan politik generasi micin yang rendah kualitasnya. Akan tetapi mampu melahirkan politik sebagai siyasah ‘aliyah samiyah yang akan membawa kemajuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kolom terkait:
NU dan Luapan Emosionalisme Kaffah
Nahdlatul Ulama Setelah 91 Tahun