“Dalam keadaan tidak lagi punya apa-apa pun, ia masih memberi,” kenang Radhar Panca Dahana.
DANARTO duduk mematung. Kedua tangannya ngapurancang, kepalanya menunduk. Tatapan matanya dalam, begitu dalam, ke dalam dirinya sendiri. Ya, Mas Dan tidur. Tak ada yang berani membangunkan. Padahal, puluhan sate klathak Pak Bari telah habis kami lahap, tapi itu sama sekali tidak menambah nyali kami untuk menyentuh tubuhnya. “Piye iki?” ujar Mas Butet Kartaredjasa. Agus Noor menyahut, ”Biar Candra Malik yang membangunkan. Sesama sufi!”
Ini tak mudah bagiku. Bukan apa-apa, aku khawatir jika disentuh kulitnya saja, Mas Dan akan sangat terkejut lantas menangkis dengan jurus mematikan. Kita tak pernah benar-benar mengenal pribadi seorang Sufi, bukan? Apalagi dengan segala rahasia di dalam diri dan hidupnya, meski ia telah membuka diri selebar-lebarnya kepada siapa saja.
Pun demikian dengan seorang Danarto. Kami tak boleh menjemputnya langsung di rumah. “Tunggu di mulut gang!”
Jadilah saya dan Agus Noor menanti di mulut sebuah gang kecil di Yogyakarta, malam itu. Ditelepon Agus, Mas Dan mau diajak dhahar sate klathak di imogiri. Jiwanya yang mengandung misteri itu, pelan namun pasti, digerakkan raganya yang tertatih seorang diri.
Tak ada yang mengawal lelaki sepuh ini. Saya ingat betul, malam itu, tujuh tahun lalu, Mas Dan pelan berjalan. Tadi malam, Selasa 10 April 2018, ia wafat pada usia 77 tahun setelah ditabrak motor di Ciputat.
Saya akhirnya mendapat cara. Tidak dengan menyentuhnya. Tapi mengajak Mas Dan ngobrol, tidak menganggap sastrawan dan pelukis ini tidur. “Mas Dan, monggo kondur. Mari pulang, Mas, sudah selesai,” tukasku. Benar, dia menyahut. “Lho, kok cepat? Ya, ya, ayo mulih.”
Tidak seperti kebanyakan orang yang harus mengumpulkan tenaga dan kesadaran sebangun dari tidur, Mas Dan langsung saja bangkit dari duduk dan beranjak ke mobil Agus Noor.
Lagi-lagi, kami tidak diperbolehkan mengantarnya sampai depan pintu kos. Ya, Mas Dan ngekos. Tak jauh dari Malioboro, waktu itu. Dia melambai, kami membalasnya dan berpisah. Entah dengan Agus Noor dan Mas Butet, apa masih sering berjumpa dengan Mas Dan. Saya lebih sering ngobrol via pesan pendek. Juga ketika dimarahi Mas Dan karena minta kata pengantar untuk buku pertamaku, Makrifat Cinta. Mungkin dimarahi, mungkin bukan.
Yang pasti, dari pesan pendeknya itu, saya menjadi tahu Mas Dan sedang di radius Jakarta dan tinggal di kawasan Kedaung Hijau, Ciputat, dalam keadaan sakit.
Siang kemarin, saya mendapat kabar ia ditabrak saat menyeberang jalan. Sempat dilarikan ke RS UIN dan dirujuk ke RS Fatmawati, Mas Dan tak berkenan berlama-lama menahan sakit. Ia memilih untuk berpulang. Allah juga memilih untuk memanggil kekasih-Nya yang ramah, hangat, dan tawadhu ini.
Saya bersyukur sedang berada di radius Jakarta kemarin sehingga bisa segera ke ruang jenazah RS Fatmawati demi berjumpa terakhir kalinya dengan Mas Dan. Di perjalanan, saya sempat mengirim kabar kepada Mas Lukman Hakim Saifuddin. Tidak berselang lama, menteri agama ini menyusul tiba. Di sana, sudah ada banyak seniman dan budayawan yang hadir. Mereka setia takziah hingga jenazah diberangkatkan dinihari ke Sragen, Jawa Tengah.
Beberapa di antaranya, Mas Nano Riantiarno dan Ratna Madjid, Mbak Jajang C. Noer, Mas Noorca Massardi, Mas Abdul Hadi, Mas Radhar Panca Dahana, Mas Amin Kamil, Mas Hikmat Darmawan, Mas Garin Nugroho, Mas Toni Prabowo, dan Agus Noor.
“Inilah keluarga besar Mas Dan, seniman dan budayawan dari berbagai kalangan,” kata Hikmat. Usai jenazah dimandikan, saya temani Mas Lukman melihat Mas Dan sebelum dikafan dan disalatkan.
“Kenapa tadi tidak masuk ke ruang jenazah?” tanya Mas Lukman. Saya melihat ada kesedihan dari tatapan mata Mas Radhar. “Terlalu perih,” jawab budayawan yang sudah 18 tahun menjalani cuci darah ini.
“Mas Dan terlalu baik. Dalam keadaan tidak lagi punya apa-apa pun, ia masih memberi saya uang hasil menjual lukisan pada malam takbiran sehingga saya dan keluarga bisa berlebaran, beberapa tahun silam,” papar Mas Radhar.
Sebelum akhirnya berhasil menemukan rumah kos Mas Dan, lanjut Mas Radhar, ia berulangkali berusaha menawarkan tempat tinggalnya via telepon dan pesan pendek untuk ditinggali bersama. Mas Dan menolak.
“Sudahlah, jangan cari saya. Anggap saja saya sudah tidak ada,” kata Mas Dan, sebagaimana dikutip Mas Radhar. Kami tercenung lama mendengar kisah itu, meski kami tetap tak kehilangan tawa canda di malam penuh dukacita tersebut.
Mas Danarto meninggalkan banyak karya; baik lukisan maupun buku. Di antaranya, buku Adam Makrifat, Godlob, Orang Jawa Naik Haji, Asmaraloka, Setangkai Melati di Sayap Jibril, dan kanvas-kanvas kosong yang belum ia lukisi. Atau, mungkin saja Mas Dan telah melukisinya. Ya, melukiskan kekosongan. Atau dunia yang tak tampak oleh mata kasat kami, padahal sesungguhnya sepenuhnya berisi kebahagiaan yang lapang dan tenang.
“Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tidak terbatas. Luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir.” (Danarto, 2008: 10)
Saya melihat sendiri pakaian terakhir Mas Danarto: kain kafan. Jenazahnya masih dilapisi pula dengan secarik tikar. Ia kemudian ditempatkan dengan terhormat di hadapan kami, sebelum kami menyalatkanya.
Mengenangnya di antara banyak kisah absurd seorang Sufi yang menyayangi dan disayangi oleh banyak orang, saya angkat peti jenazahnya bersama beberapa teman. Mas, aku pun ingin sepertimu: pulang dalam sunyi yang bisu ditemani doa kawan-kawan.