Jumat, April 26, 2024

Bersama Mengasihi Donald Trump!

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Donald Trump telah lama dikecam karena melakukan hal yang sangat sensitif. Setelah terpilih, banyak orang bahkan sudah melakukan aksi penolakan yang meski itu sangat lucu: terkesan tak mau menerima kekalahan, mau menang sendiri. Saya sesungguhnya kasihan melihat Trump karena kini telah nyata bagi kita bahwa dia sudah dililit-lilit kebencian. Betapa menyedihkan memelihara kebencian, bukan? Kalau Nelson Mandela bilang, dia kini terpenjara oleh kemarahannya sendiri.

Betapa tidak, dia ingin agar Islam tak ada lagi di AS (bahkan mungkin di dunia). Terus terang, saya tak paham manusia seperti apa Donald Trump ini. Baru-baru ini, dia malah memorakporandakan proses perdamaian di Timur Tengah dengan kasus Yerusalem. 

Begitupun, supaya lebih adil dan tak terlalu memojokkan Donald Trump, umat Muslim secara khusus pun kiranya perlu bersabar. Setidaknya, karena kebetulan belakangan ini, Muslim tercelah oleh segelintir orang yang mengatasnamakan Islam (catat: bukan dalam pengertian beragama Islam yang sebenarnya).

Kebetulan pula rata-rata yang melakukan aksi-aksi tak terpuji itu pada KTP-nya dituliskan beragama Islam. Memang, para ulama sudah menegaskan bahwa apa-apa yang telah dilakukan itu tak sesuai dengan ajaran Islam dan mereka sendiri bukan Islam. Hanya saja, bagi orang yang terpenjara seperti Donald Trump, mau tak mau, kita harus berefleksi. Sebab, orang seperti ini telah menggeneralisasikan masalah. Mereka ini buta dan hampir tak mau menerima penjelasan apa pun.

Polemik dan Paradoks

Dan jujur saja, orang seperti ini sebenarnya patut dikasihani. Mereka ini orang idiot untuk tidak menyebut setingkat di bawah manusia. Maaf kalau saya terlalu berlebihan! Karena itu, karena berhadapan dengan…ah, tak usah disebut di sini, kita terpaksa harus mengelus dada dan kembali berefleksi memperbaiki laku.

Yang pasti, saya paham, bahwa apa yang telah dan akan dilakukan Donald Trump hanya obralan dan obrolan politik. Sama seperti di Indonesia yang meributi Ahok dengan embel-embel lainnya.

Ini semua hanya gejala politik yang merangsek pada kesucian agama. Buktinya, selekas diberitakan menang, Donald Trump tak lagi berwajah garang. Setelah memperoleh kepentingannya, dia sudah lunak. Setidaknya, pada pidatonya dia pernah berkata, “Kami akan berhubungan secara adil dengan semuanya, semua masyarakat, dan semua bangsa. Kami akan mencari dasar yang sama, bukan permusuhan; kemitraan, bukan konflik.” Atas dasar itu, “kebodohannya” dalam hal Yerusalem saat ini pasti akan melunak juga.

Ini hanya obrolan dan obralan politik. Apalagi, sebagai politisi, Donald Trump sangat paham bahwa kini beragama adalah “berperang”. Itulah polemik dan paradoks pada agama. Pasalnya, berbicara mengenai agama tak lantas membuatmu menjadi beragama. Berbicara mengenai agama justru akan memberikanmu beberapa hal di luar agama. Agama adalah kata-kata bersayap. Persis seperti kata Dietrich Bonhoeffer, sang teolog terkemuka di Jerman pada era Hitler, before God and with God, we live without God. Kita membicarakan Tuhan, tetapi bukan untuk Tuhan.

Kita membicarakan Tuhan justru untuk mendapatkan beberapa hal di luar kata Tuhan. Begitulah fakta paradoks saat ini: setelah mengucapkan agama, kita terlihat semakin saleh. Namun, ini hanya penampakan sekilas. Jauh di baliknya, kita justru semakin tak beragama. Sungguh paradoks yang sempurna.

Semakin sempurna pula manakala kita melihat kepala-kepala negara, tokoh masyarakat, hingga masyarakat akar rumput selalu mengampanyekan kedamaian, tetapi kedamaian malah semakin jauh, seperti yang dilakukan Donald Trump.

Buktinya, kini ekstremisme semakin mengular, bahkan murka secara terang-terangan dipertontonkan. Celakanya, itu dibuat atas nama Tuhan, termasuk membela Tuhan. Kita bertanya-tanya, apakah Tuhan menawarkan perang di jalan-Nya? Apakah Tuhan pernah membuat pedang dan mewariskannya pada segelintir orang? Atau jangan-jangan, Tuhan sudah tua dan renta sehingga Dia harus dipapah dan dilindungi dari serangan terkecil apa pun? Atau yang lebih parah, seperti kata Friederich Nietch, Tuhan sudah mati?

Ya, sejuta kalimat lain dapat kita lontarkan. Tetapi yang terpenting adalah, mengapa hidup ini semakin paradoks. Apakah tanpa paradoks, hidup ini tidak ada, atau katakanlah, tidak sah? Apakah memang karena itu, guna penjara hanyalah tempat bagi orang jahat, bukan untuk menobatkan orang jahat?

Apakah Tuhan sengaja menciptakan neraka bagi orang-orang tertentu sehingga Dia tidak peduli pada kejahatan dan kezaliman manusia? Apakah putih tidak indah tanpa hitam? Mengapa Tuhan membiarkan iblis hidup jika malaikat-malaikat-Nya mampu mengeroyok iblis?

Sekali lagi, terlalu banyak pertanyaan kritis, tetapi tetap tak terjawab meski kita sudah belajar dan belajar. Pada dekade ini, kita terhitung beberapa kali geger akibat ulah segelintir orang pada penembakan brutal di berbagai negara, ada di Paris, Belgia, Amerika, Turki, Mesir, dan masih banyak lagi. Terutama peristiwa di Paris dengan label Charlie Hebdo-nya terkesan malah lebih geger lagi. Betapa tidak, hanya karena itu, pemimpin-pemimpin bangsa sampai harus berpawai di Prancis.

Padahal, yang tewas pada saat itu hanyalah dan tidak sampai dua puluhan orang. Ironisnya, mata kita mendadak buta melihat sisi lain dunia yang selalu direngkuh kematian seperti Suriah,  Palestina, Israel, Irak, Somalia, Nigeria, dan oh. Berapa juta yang mati di sana, apakah kita berpawai? Berapa juta pula anak-anak yang telantar, kurang gizi, yang lalu meninggal tanpa sepengetahuan dan perhatian kita, apakah kita berpawai untuk itu? Ya, kenyataan inilah yang kembali semakin meneguhkan, dunia telah dipatok virus paradoks.

Dan, sialnya, kita menyudutkan sekelompok orang seakan merekalah akar masalah ini semua. Islam, misalnya, menderita karena kini dicap sebagai agama teroris. Amerika pernah membuat survei selepas penembakan brutal di Charlie Hebdo, yaitu Islam “melegitimasi” kekerasan. Tanpa kita tanya, tujuan dari survei itu adalah, alangkah lebih damainya hidup ini kalau tanpa Islam. Inilah yang kemudian dikukuhkan dan dibaca secara keliru oleh Donald Trump. Donald Trump yang “buta” memandang bahwa dunia akan damai tanpa Islam.

Pandangan itu tentu adalah kebodohan. Buktinya, sesama Kristen (antara Katolik dan Protestan) pernah berperang. Bahkan, sesama Katolik melakukannya sehingga lahir istilah Katolik Roma dan Katolik lainnya. Jadi, inti persoalannya bukan pada ada atau tidaknya Muslim, begitu juga yang lain.

Masalahnya justru terletak pada bagaimana kita menjawab pertanyaan ini: apakah Anda mau dunia ini tanpa Islam, tanpa Nasrani, tanpa Budha, tanpa Hindu? Jika Anda mau, dipastikan Andalah sebenarnya yang membikin dunia ini semakin jauh dari kedamaian.

Maksud saya mengetengahkan ini adalah supaya kita mari jangan terprovokasi. Tidak berpikir sesempit Donald Trump, terutama tak sesempit para ekstremis yang kini mulai marak. Sesekali, mari jangan pernah membayangkan mereka yang lain dengan kita tidak ada.

Dunia ini rumah kita bersama, begitu kata Paus Fransiskus. Marilah belajar dari sejarah. Jangan lagi meruntuhkan diri sebagaimana dulu dua imperium: Sassania (Persia) dan Rumania (kemudian Bizantium) hancur. Dunia ini miliki kita bersama.

Karena itu, tanpa harus mencaci maki Donald Trump (saya yakin, di luar sana masih banyak juga orang yang sama, bahkan lebih), marilah memeluk dan mengasihi mereka. Mereka ini butuh belas kasih, bukan provokasi. Jangan biarkan mereka (terutama diri kita sendiri) terpenjara oleh kebencian dan dendam!

Pesan ini berat, tetapi begitulah cara kita merangkul dan hidup dalam damai: kasihilah musuhmu, seperti kau mengasihi dirimu. Saya yakin, jika Donald Trump yang bodoh dilawan dengan senapan, dia akan membalas dengan senapan. Sebaliknya, jika kita “mengasihinya”, dia akan balik mengasihi kita.

Kolom terkait:

Trump yang Songong, Palestina, dan Khilafah

Mengapa Indonesia Harus Aktif Menentang Trump

Doa dan Puisi untuk Palestina

Konflik Israel Palestina, Siapa Musuh Bersama Sebenarnya?

Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.