Kamis, Maret 28, 2024

Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa

Riza Multazam Luthfy
Riza Multazam Luthfy
Peneliti dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
Pedagang melayani konsumen pembeli beras di salah satu agen penjual beras yang masih menjual beras merk Maknyuss yang diduga palsu karena kandungan karbohidratnya, di kawasan Aren Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/7). Beras Maknyuss dijual dengan harga Rp 65 ribu per lima kilogram. ANTARA FOTO/Risky Andrianto

Publik tengah dikejutkan dengan temuan aparat kepolisian yang menyatakan bahwa sejumlah perusahaan diduga telah mengoplos beras subsidi menjadi beras premium, menggencarkan mis-selling, serta mencurangi konsumen dengan menjual produk berkualitas lebih rendah dari label kemasan. Bermerk “Maknyuss”.

Aksi nekat di atas merupakan upaya sejumlah oknum untuk menjalankan usaha dengan cara ilegal. Dengan cara mengotori iklim bisnis yang sehat sekaligus mengesampingkan keselamatan pembeli, mereka ingin meraup sebanyak mungkin keuntungan.

Peluang menjadikan beras sebagai sarana menggandakan laba berangkat dari kesadaran bahwa nasi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, terutama orang Jawa. Dalam kehidupan orang Jawa, nasi menduduki posisi penting dan tak tergantikan. Betapa nasi turut menentukan perkembangan sosio-kultural masyarakat Jawa. Nasi membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir masyarakat Jawa dari dahulu hingga sekarang.

Nasi menyuguhkan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi sosial. Hikayat tentang nasi menawarkan pemahaman tentang kearifan lokal, sehingga nilai-nilai budaya masyarakat Jawa bisa diwariskan. Legenda Jaka Tarub sebagai salah satu cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah Babad Tanah Jawi menyajikan secuplik kisah nasi.

Dikisahkan, Jaka Tarub gemar keluar masuk hutan untuk berburu. Tanpa sengaja, ia melihat tujuh bidadari sedang mandi di telaga, salah satunya Nawangwulan yang kemudian diperistri. Sebelum menikah, Nawangwulan mengingatkan Jaka Tarub untuk tidak sekali-kali menanyakan kebiasaannya menanak nasi dengan sebutir beras. Merasa penasaran, Jaka Tarub membuka tutup penanak nasi. Akibatnya, kesaktian Nawangwulan raib dan sejak itu ia menanak nasi lazimnya perempuan biasa.

Simbolisasi

Nasi menjadi simbol penting dalam selamatan. Ritual yang genap mendarah daging dalam masyarakat Jawa tersebut tak bisa terlepas dari akar sejarah kepercayaan yang mereka anut. Sebagai wujud rasa syukur, orang Jawa mengundang beberapa kerabat, teman, dan tetangga dengan menyajikan bermacam-macam hidangan. Tujuan utamanya adalah memperoleh keselamatan dan menghindarkan bencana.

Berbagai jenis ritual selamatan keluarga Jawa, semisal tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan, pitonan, sunat, perkawinan, dan kematian menyajikan tiga macam nasi, yaitu nasi putih, nasi merah dan bubur. Clifford Gerrtz (1969) menulis bahwa nasi putih ditaruh di sekeliling (bagian luar) dan nasi merah diletakkan di tengah-tengah meja. Putih menggambarkan pemuas ibu, merah adalah air bagi ayah, dan campuran keduanya berguna untuk menjauhkan roh-roh jahat.

Nasi merupakan prasyarat agar adat-istiadat Jawa bisa diterima. Nasi menjadi salah satu unsur digelarnya tradisi suran dalam rangka menyambut tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa. Tradisi yang semula milik elite dan kemudian menyebar di kalangan masyarakat jelata tersebut menggunakan nasi sebagai sesaji.

Dalam lingkup istana Surakarta, yang kental dengan kirap pusaka keraton dengan unsur magis dan mitologis, suran selalu menyertakan persembahan berupa nasi. Guna menuruti kegemaran penguasa Pantai Selatan Nyi Ratu Kidul, dibuatlah nasi putih berbentuk kerucut dengan telur di ujungnya (tumpeng megana dan tumpeng asahan).

Dalam peribahasa Jawa, ada ungkapan “ana dina ana upa” (ada hari ada sebutir nasi) yang memuat makna filosofis tinggi. Peribahasa ini sebagai gambaran orang Jawa yang bisa menerima keadaan dengan tetap memupuk optimisme. Masyarakat Jawa dianjurkan untuk senantiasa berusaha mencari rezeki agar terhindar dari musibah kelaparan. Dengan demikian, peribahasa ini memiliki hubungan dengan peribahasa Jawa lain, “sing sapa gelem obah bakal owah” (barang siapa mau bergerak, niscaya nasib juga berubah).

Mengutip pandangan Suwardi (2014), peribahasa di atas merupakan ungkapan berpikir positif yang menjadikan hidup orang Jawa semakin ringan. Pikiran positif mampu membuat jiwa manusia semakin tenang, sehingga tidak dibayang-bayangi oleh apa yang dikhawatirkan. Sebaliknya, pikiran negatif rentan membuyarkan tujuan yang ingin dicapai dan hanya menjadi beban hidup. Sayangnya, dalam perkembangannya, peribahasa ini mengalami salah tafsir. Sebagian masyarakat Jawa belum merasa makan jika perutnya belum terisi nasi, meski sudah kenyang menyantap makanan lain.

Pola Kuliner

Boleh jadi cara berpikir sebagian masyarakat Jawa terhadap nasi mulai bergeser seiring perubahan drastis pada aspek-aspek kehidupan di Nusantara pada 1870. Saat itu, orang-orang Belanda mengubah corak penyajian nasi lebih bermartabat. Identitas nasi sebagai makanan pribumi terangkat setelah mendapat atensi kaum kolonial.

Risttafel sebagai konsep modern pertama dalam sejarah kuliner Indonesia lahir dari proses akulturasi unsur budaya Jawa dan Eropa. Ketika makanan Eropa susah ditemukan, muncul sifat adaptif orang-orang Belanda yang bersedia mengonsumsi nasi. Kebiasaan dan pola konsumsi wong Londo berubah, sebab menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.

Kombinasi makanan pribumi dengan tata saji Barat menunjukkan perkembangan ragam penyajian dan variasi hidangan, sehingga makanan pribumi dapat hadir dalam gaya Eropa (Fadli Rahman, 2011: 90). Elemen budaya Nusantara, salah satunya Jawa, barangkali berperan melahirkan faktor penentu perkembangan risttafel dalam periode selanjutnya.

Nasi juga mengubah pola kuliner orang Jawa yang bermukim di perkotaan. Saat ini, kaum migran lebih suka memilih nasi tradisional dibanding hidangan cepat saji (fast food). Nasi tradisional menjadi makanan favorit guna mengganjal perut. Itulah mengapa di sejumlah pusat jajanan, restoran, bahkan kaki lima, tersedia aneka nasi tradisional.

Sebagai pemantik klangenan masa lalu, orang-orang urban membeli nasi bak moi (Semarang), nasi brongkos (Demak), nasi lengko (Brebes), nasi megono (Pekalongan), dan nasi pecel (Ponorogo). Dalam ragam nasi tradisional tersebut tersimpan citra kehidupan pedesaan yang asri, guyub, dan penuh keakraban. Ketika pola kehidupan urban semakin keras, mereka membutuhkan fantasi yang dapat menjinakkan berbagai tragedi. Yang ini tentu lebih maknyus dari beras merk Maknyuss, kan?

Baca juga:

Muslihat Liberalisasi Pasar Beras

Jokowi dan Pasar Beras

Ironi Beras dan Petani

Riza Multazam Luthfy
Riza Multazam Luthfy
Peneliti dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.