Menjelang Hari Raya Idul Fitri, banyak orang memilih jadi pedagang. Dalam rangka menyambut hari suci, umat Islam berbondong-bondong belanja persiapan Lebaran. Tak sedikit orang yang sudah menyiapkan dana jauh-jauh hari untuk berbelanja benda-benda yang dirasakan sebagai kebutuhan.
Belanja menjelang Lebaran seperti sudah membudaya. Seolah ia identik dengan kesucian dan kebaruan spiritual, masyarakat berbondong-bondong menghias diri dengan segala hal yang baru pula—dari pakaian hingga toples kue kering baru.
Menjelang Idul Fitri, lalu lintas barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi menunjukkan peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan hari biasa. Hal itu akibat dari meningkatnya transaksi jual beli di bisnis e-commerce. Peningkatan jumlah pengiriman yang signifikan di bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri rutin terjadi setiap tahun.
Seperti dilansir Sindo News, jumlah pengiriman pada high season tahun 2017 mencapai lebih dari 30% jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Tahun 2016, lonjakan pengiriman terjadi seminggu sebelum Lebaran atau H-7. Tapi 2017 ini, kenaikan sudah terjadi pada minggu kedua Ramadhan.
Usut punya usut, minat belanja tinggi menjelang Lebaran tak hanya terjadi di Indonesia. Ramadan tahun lalu, YouGov melakukan survei perubahan perilaku konsumen di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir. Kurang lebih 53 persen responden menyatakan berbelanja dan menghabiskan lebih banyak uang sepanjang Ramadan dan Lebaran. Sebanyak 68 persen responden mengaku dapat menutupi pengeluaran yang membengkak itu dengan menggunakan pendapatan reguler mereka. Namun, 29 persen responden sampai menyatakan akan merogoh kocek tabungan mereka.
Fenomena konsumsi yang tinggi ini sudah bukan rahasia lagi. Banyak orang mengakui betapa konsumtifnya mereka dalam menyambut hari raya. Celakanya, perilaku berlebihan itu tak dianggap sebagai masalah. Sementara itu, sebagian orang lain—yang menganggapnya sebagai masalah—banyak yang malah menyerah terbawa arus konsumerisme, bak ikan pingsan tak punya daya.
Dari mana sesungguhnya hasrat konsumsi berasal? Sebetulnya ia adalah hal yang purba, bahkan bisa dibilang niscaya. Meski terdengar buruk dan berlebihan, konsumerisme sebetulnya proses yang pasti akan dilalui sebuah peradaban. Prof. Dr. C.A van Peursen di tahun 1970-an merangkumnya dengan baik dalam Strategi Kebudayaan.
Vegetasi, Produksi, Konsumsi
Peradaban sempat berada pada masa vegetasi, ketika manusia semata-mata mengandalkan alam. Di masa itu, kehidupan manusia berada pada titik paling asali. Andalan untuk bertahan hidupnya adalah mencari apa saja yang bisa memperpanjang usianya. Perkara usia yang erat kaitannya dengan ketakutan terhadap mati diatasi dengan mencari cara memperlakukan manusia-manusia yang mati.
Selain kematian, dalam masa vegetasi, ada juga persoalan seksualitas dan dorongan untuk mengeksplorasi dunia yang belum dikenal. Akibat sosialnya—terutama dalam masyarakat pemburu dan agraris—terjadi pembentukan tingkat sosial beku. Golongan atas adalah pengejawantahan kedudukan dan kemenangan atas lapar serta maut. Kelas-kelas sosial mulai ajeg dan tak terima perubahan.
Lepas dari tahap vegetasi, manusia ingin berbuat sesuatu sehingga melakukan produksi. Manusia ingin berperan lebih banyak. Dorongan untuk mengeksplorasi dunia mulai dilampiaskan lewat pencarian-pencarian pengetahuan baru. Masyarakat yang tadinya feodal beranjak memikirkan kapital.
Kesejahteraan—yang tadinya tergantung pada sebuah golongan—berubah orientasi, menjadi tergantung pada kekayaan. Revolusi dan demokratisasi menyebabkan banyak orang ambil bagian dalam proses produksi. Manusia menangkap sinyal pasar. Kehidupan industri menyala. Kebudayaan dipikirkan masak-masak dalam rangka kaitannya dengan apa pun yang bisa diproduksi. Budaya singgah-menyinggahi pada saat Lebaran, misalnya, membuat produsen kue kering meningkat. Asumsinya, tiap rumah membutuhkan makanan ringan untuk ditawarkan pada tetamu.
Setelah itu, terciptalah sebuah kondisi, yaitu masyarakat yang makmur (the affluent society). Bersamaan dengan itu, peradaban akhirnya tiba pada sebuah tugas yang berat; yang kita rasakan kini. Manusia mulai berpikir cara menjalankan konsumsi—yang cenderung seenaknya. Ketika manusia mengkonsumsi dengan membabi buta, ketika itulah proses belajar dimulai. Masyarakat yang makmur menciptakan tanya, apakah manusia tidak perlu membatasi diri; menjadi lebih bertanggung jawab dalam mengkonsumsi?
Etika Interaksi
Maka, sebetulnya, konsumsi adalah penyaluran dan pembelokan daya-daya purba dalam diri manusia. Itu terdengar baik. Namun fakta menunjukkan, daya konsumsi masyarakat modern membabi buta. Ironisnya, konsumsi memuncak pada sebulan penuh hari suci, tempat spiritualitas diharapkan terasah dan umat melepas ketergantungan pada kemakmuran duniawi. Padahal, daya yang disebut ‘Tuhan’, ‘keadilan’, dan ‘perikemanusiaan’ harusnya berfungsi di dalam situasi yang manusiawi yang konkret sehingga sungguh menjadi relevan secara etis.
Pelan-pelan, di satu sisi, masyarakat tampak sudah sadar. Masyarakat ingin mengatasi konsumerisme yang membutakan. Namun di sisi lain, daya konsumsi yang tinggi itu diletakkan seolah-olah terjadi di luar kemauan manusia. Sebab, iklan-iklan terus diciptakan—menjaja jasa asuransi hingga jualan sirup. Jadi, masyarakat konsumtif karena iklan. Masyarakat berbelanja saat menjelang Lebaran adalah akibat dari menjamurnya lapak online dan diskon-diskon. Tentu bukan masyarakat modern namanya kalau tidak suka menyangkal.
Sangkal-menyangkal itulah yang idealnya menciptakan ruang skeptis dan refleksi lebih lanjut. Masyarakat hendaknya mulai sadar bahwa manusia tidak lagi bergantung pada daya di luar diri, melainkan daya yang ada dalam diri.
Alih-alih menyalahkan iklan dan dunia yang terasa baru terus, manusia sebetulnya punya daya untuk menganalisa: bagaimana sikap etis manusia terhadap dunia yang berkembang? Melalui pertanyaan itu, manusia mulai meraba kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai cara alternatif dalam mengkonsumsi.
Kesadaran etis yang dapat diangkat adalah etika interaksi. Ia adalah hubungan timbal balik antara kesadaran etis dengan masalah konkret. Etika interaksi membutuhkan pandangan terbuka untuk melihat bahwa di dunia telah terjadi sesuatu yang gawat. Kalau seseorang menganggap bahwa iklan adalah masalah, maka secara etis, kita dianjurkan untuk peka dalam memilih persahabatan dengan dunia; dengan iklan; dengan pandangan dunia yang kapitalistik. Kalau tidak, maka tahu sendiri, kita akan hanyut di dalam kegawatan itu.
Manusia modern arus utama adalah manusia yang belanja terus sampai mati; belanja terus sampai fitri—ketika manusia harusnya kembali pada kesucian. Konsumerisme merupakan bukti bahwa manusia bisa tenggelam dalam daya kekuatan alam dan masyarakat yang tak berwajah.
Dalam menangkal konsumerisme yang menggila, manusia memang perlu sebuah strategi kebudayaan dengan etika mutlak di dalamnya.