Jumat, April 26, 2024

Belajar dari Gerakan Women’s March Washington

Anna Christi Suwardi
Anna Christi Suwardi
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Massa yang tergabung dalam Women's March Jakarta melakukan aksi di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Sabtu (4/3). Mereka menuntut pemerintah untuk memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual dan identitas "gender" yang berbeda. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/17.
Massa yang tergabung dalam Women’s March Jakarta melakukan aksi di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Sabtu (4/3). Mereka menuntut pemerintah memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual dan identitas “gender” yang berbeda. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/17.

Tiba gilirannya suara perempuan Indonesia bergema, setelah awal tahun diawali dengan suara pergerakan perempuan yang massif dan menyeruak di berbagai penjuru dunia. Pada 4 Maret 2017 berlangsung aksi Women’s March di Jakarta guna memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2017. Aksi ini diinisiasi oleh Jaringan Jakarta Feminist Discussion Group dan Aliansi Damai Tanpa Diskriminasi.

Ada 8 tuntutan yang disuarakan dalam aksi tersebut. Pertama, menuntut Indonesia kembali ke toleransi dan keberagaman. Kedua, menuntut pemerintah mengadakan infrastruktur hukum yang berkeadilan gender. Ketiga, menuntut pemerintah dan masyarakat memenuhi hak kesehatan perempuan dan menghapus kekerasan terhadap perempuan. Keempat, menuntut pemerintah dan masyarakat melindungi lingkungan hidup dan pekerja perempuan.

Kelima, menuntut pemerintah membangun kebijakan publik yang pro-perempuan dan pro-kelompok marginal lain, termasuk perempuan difabel. Keenam, menuntut pemerintah dan partai politik meningkatkan keterwakilan dan keterlibatan perempuan di bidang politik.

Ketujuh, menuntut pemerintah dan masyarakat menghormati dan menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Dan kedelapan, menuntut pemerintah dan masyarakat lebih memperhatikan isu global yang berdampak pada perempuan, serta membangun solidaritas dengan perempuan di seluruh dunia.

Kedelapan tuntutan tersebut menjadi modalitas bagi penggerak aksi Women’s March untuk mendeklarasi suara tegas kaum perempuan agar keberadaannya tidak diperlakukan semena-mena di republik ini. Setidaknya, bila kedelapan tuntutan betul-betul bergulir dan digerakkan secara berkelanjutan akan menjadi gerakan sosial yang sangat berpengaruh. Namun demikian, untuk menguatkan gerakan sosial tersebut di Jakarta, ada baiknya belajar dari pengalaman gerakan sosial Women’s March yang berlangsung di Washinton pada 21/1/2017.

Women’s March di Washington
Selang beberapa jam sesudah pelantikan Presiden Amerika Serikat ke 45, Donald Trump, negara adidaya itu mendadak memerah muda. Aksi unjuk rasa yang dijuluki Women’s March dengan antribut merah muda (pink) membanjiri Washington D.C dan tersebar di seluruh penjuru Amerika hingga merambah ke berbagai negara. Women’s March melansir total jumlah demonstran yang hadir di D.C lebih dari satu juta orang dan sekitar 5 juta orang di seluruh dunia.

Aksi ini digawangi oleh empat inisiator perempuan, yaitu Tamika D. Mallory, seorang pemerhati keadilan sosial yang cukup dekat dengan pemerintahan Obama; Carmen Perez yang fokus terhadap isu-isu sosial seputar keadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan; Linda Sarsour, seorang Muslim Amerika berdarah Palestina yang vokal dalam membela hak-hak sipil dan isu ras; dan pengusaha muda Bob Bland yang mendobrak sistem industri busana di Amerika dengan mengutamakan aspek keadilan buruh, ramah lingkungan dan keberlanjutan.

Women’s March mengusung visi sangat mendasar dan inklusif yang berbunyi “Kita berdiri tegak dalam solidaritas bersama pendukung dan anak cucu kita untuk melindungi hak-hak kita, keselamatan kita, kesehatan kita, dan keluarga kita. Kita harus yakin bahwa semangat dan ragam komunitas kita adalah kekuatan untuk negara kita”. Diorganisir oleh sejumlah tokoh aktivis dari beragam latar belakang, unjuk rasa ini merupakan aksi massa terbesar di Amerika dalam kurun satu dekade terakhir.

Gerakan ini dilandasi prinsip-prinsip tuntutan yang meliputi; tuntutan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan langsung, struktural maupun kultural, hak reproduksi di mana perempuan (dan laki-laki) sepatutnya memiliki akses yang layak untuk kesehatan reproduksi, hak-hak kelompok LGBTIQ, hak buruh, hak sipil, hak bagi penyandang disabilitas, dan yang terakhir adalah keadilan lingkungan hidup.

Gerakan Women’s March tidak hanya berhenti pada 21/1 saja. Aksi ini akan dilanjutkan dengan program berkelanjutan yang dinamai 10 aksi dalam 100 hari. Aksi 1 yang telah diluncurkan adalah mengajak seluruh warga Amerika mengirimkan kartu pos yang ditujukan untuk Senator di wilayahnya masing-masing. Melalui kartu pos tersebut, dapat disampaikan hal-hal penting yang menjadi perhatian khusus, aspirasi dan tuntutan setiap individu.

Senator yang menjadi ujung tombak terdekat dengan pemerintah diharapkan mampu menyuarakan dan mengakomodasi aspirasi rakyat, seperti halnya isi-isi kampanye mereka. Komite nasional Women’s March menyebarkan sepuluh ribu kartu pos gratis dan merilis laman khusus di website https://www.womensmarch.com/ guna mengunggah video pengalaman berpartisipasi via kartu pos.

Aksi kolektif ini akan terus berlanjut hingga aksi ke 100. Koordinator aksi ini akan mengumumkan aksi-aksi selanjutnya secara bertahap. Tidak lupa, kampanye aksi mereka dilancarkan melalui sosial media. Berbagai has tag telah menjadi trending topik sejak dua pekan terakhir, seperti #Women’sMarch dan #WhyIMarch.

Bahkan, kabar yang dilansir The Huffington Post menyebutkan bahwa aksi massif 21/1 baru permulaan saja. Sekelompok aktivis dikabarkan akan melancarkan aksi masa yang jauh lebih besar. Menguatnya Women’s March tampaknya akan menjadi gerakan sosial yang sangat signifikan dan layak diperhitungkan di abad ini.

Dengan soliditas pergerakannya, gerakan sosial ini tidak mustahil akan menjadi tantangan tersendiri bagi Donald Trump selama masa kepemerintahannya. Apalagi, dalam sistem pergerakannya ditopang oleh kelompok penekan, kekuatan massa secara lintas batas dan lintas identitas, dan agenda-agenda yang terstruktur, massif, dan sistematis.

Dalam konteks pergerakan, ketika kaum perempuan Indonesia dapat disolidkan dalam satu naungan aksi massal bernama Women’s March Jakarta, gerakan ini terbilang dahsyat. Karenanya, agar aksi Women’s March ini tidak sekadar meresonansi di lingkup Indonesia, tetapi juga bertitik sambung dengan aksi Women’s March yang berlangsung di Washington, maka menjadi penting bagi penggerak aksi ini Jakarta untuk mengonsolidasikan gerakan sosialnya ini dengan jaringan Women’s March di Washington.

Setidaknya, melalui perjalinan ini aksi Women’s March di Jakarta bisa memperoleh tempat atau panggung di kancah global sekaligus mempunyai kekuatan baru untuk menjadi kelompok penekan terhadap pemerintah dan berbagai pihak yang selama ini dianggap mengabaikan kaum perempuan.

Women’s March Jakarta harus dijadikan sebagai titik masuk yang lebih strategis untuk mempertegas langkah-langkah perlawanan terhadap kesemena-menaan yang banyak merugikan kaum perempuan. Apalagi dalam Women’s March Jakarta sudah dirancang 8 tuntutan yang sangat fundamental bagi pemberdayaan perempuan. Dalam kaitan ini, ke-8 tuntutan tersebut harus benar-benar dijadikan sebagai panduan pergerakan perempuan di Indonesia agar apa yang selama ini diperjuangkan oleh perempuan secara berangsur-angsur bisa terwujud.

Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah bagaimana ke-8 tuntutan tersebut benar-benar bisa disosialisasikan dan digerakkan secara masif dan intens. Karena itu, sebagai benchmark, ada baiknya Women’s March Jakarta belajar kepada Women’s March Washington bagaimana merancang kegiatan tindak lanjut yang berkesinambungan. Semisal, apa yang dilakukan oleh Women’s March Washington dengan program berkelanjutan yang dinamai 10 aksi dalam 100 hari.

Melalui program ini, Women’s March Washington bisa menghimpun kekuatan lebih bersama-sama penggerak perempuan lainnya dan membangun konsistensi gerakan agar mereka betul-betul diperhitungkan oleh berbagai pihak. Pendeknya, pada titik ini, Women’s March Jakarta perlu merancang program secara berkelanjutan agar 8 tuntutan yang sudah dicanangkan benar-benar menjadi panduan gerakan sosial perempuan Indonesia ke depan.

Anna Christi Suwardi
Anna Christi Suwardi
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.