Menata Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar Tanah Abang adalah salah satu masalah sosial yang kini tengah menjadi concern Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setelah sempat ditertibkan di era pemerintah Ahok-Djarot, kini PKL Tanah Abang kembali memenuhi trotoar hingga mengganggu para pejalan kaki dan arus lalu lintas.
Upaya menata DKI Jakarta yang nyaman dan tertib harus diakui memang bukan hal mudah. Kehadiran sektor informal—mulai dari pedagang makanan-minuman, pedagang pakaian, asesoris handphone, dan lain-lain—yang menggelar dagangan di berbagai sudut kota ada indikasi makin sulit untuk dikendalikan. Jumlah PKL yang terus bertambah bukan hanya menempati lahan-lahan kosong di tengah kota yang seharusnya untuk pejalan kaki, tetapi juga tidak jarang memakan badan jalan hingga menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Tugas Pemprov DKI Jakarta untuk menata agar kehadiran PKL tidak ruwet dan lepas kendali. Tetapi, seperti dikatakan Wakil Gubernur Sandiaga Uno, upaya menata PKL Tanah Abang tidak bisa dilakukan tergesa-gesa, karena membutuhkan langkah terobosan dengan pendekatan yang berbeda untuk lebih menjamin efektivitas hasilnya.
Ketika Joko Widodo melantik pasangan Anies-Sandi, Presiden telah memberikan masukan khusus kepada Anies dan Sandi supaya mereka bisa segera menyelesaikan upaya penataan perkampungan kumuh dan PKL Tanah Abang. Sandiaga Uno telah menyadari bahwa upaya menata PKL Tanah Abang tidak mungkin dilakukan hanya dengan langkah-langkah penertiban. Melakukan razia dan kemudian merelokasi PKL ke tempat lain disadari hanya akan melahirkan aksi kucing-kucingan antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan PKL. Artinya, penertiban paksa bukan solusi satu-satunya cara mengendalikan kesemrawutan yang kini kembali terjadi di Pasar Tanah Abang.
Secara garis besar, paling-tidak ada tiga persoalan utama yang menjadi kendala Pemprov DKI Jakarta dalam menata PKL di Tanah Abang maupun sektor informal lain di daerah ibu kota negara ini. Pertama, PKL sesungguhnya adalah akibat (dan bukan sebab) dari kebijakan pembangunan daerah yang melahirkan ketimpangan dan proses marginalisasi masyarakat perdesaan. Dengan kata lain, kehadiran PKL di Jakarta pada dasarnya adalah salah satu bentuk respons migran dan masyarakat miskin di kota terhadap pembangunan antardaerah yang tidak merata, urbanisasi, meluasnya tingkat pengangguran, dan merebaknya tekanan kemiskinan.
Kehadiran dan perkembangan PKL di Jakarta bukan didorong oleh faktor internal dalam diri mereka sendiri, tetapi lebih merupakan akibat dari terjadinya bias urban dalam pembangunan. Karenanya bukan salah PKL jika mereka kemudian pergi ke kota besar untuk mengadu nasib mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Kedua, kehadiran PKL di DKI Jakarta sesungguhnya adalah implikasi dari ketidakmampuan kota itu sendiri untuk menyediakan fasilitas publik dan lapangan pekerjaan yang layak bagi kaum migran. Di Jakarta, kita bisa melihat, selain jumlah penganggur dan setengah menganggur yang meningkat pesat, yang mencemaskan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor industri kota nyaris tidak bertambah.
Bisa dibayangkan apa akibat yang bakal terjadi jika kesempatan kerja yang tersedia di kota-kota besar ternyata tidak sebanding dengan perkembangan jumlah migran. Selain terjadi pembengkakan secara terus-menerus jumlah migran yang bekerja di sektor informal, urbanisasi berlebih tak pelak akan membuat kota tumbuh kontradiktif: investasi dan modernisasi tumbuh dengan pesat, tetapi di saat yang sama kota juga dilanda proses kekumuhan dan pemiskinan.
Kehadiran PKL yang membuat DKI Jakarta makin semrawut adalah salah satu bukti yang memperlihatkan munculnya kontradiksi-kontradiksi di balik kemajuan Jakarta yang makin gemerlap dan megah.
Ketiga, sektor informal kota, khususnya PKL, merupakan salah satu tumpuan hidup bagi keluarga migran miskin. Kalau diperkenankan memilih, sepanjang di kota tersedia kesempatan kerja yang layak sebetulnya sebagian besar kaum migran lebih senang terserap di sana daripada bekerja pada sektor yang tidak terlindungi dan sering menjadi obyek penertiban kota yang dilakukan para tibum. Tetapi, karena arah investasi dan modernisasi yang bias urban terbukti menimbulkan enclave yang tidak ramah terhadap tenaga kerja migran yang tidak atau kurang berpendidikan, maka perkembangan sektor informal pun menjadi tak terhindarkan.
Meski dari kacamata hukum tindakan migran menggelar dagangan di ruang publik, seperti trotoar, pinggir jalan atau di stren-stren kali, jelas-jelas melanggar hukum, karena tiada alternatif lain yang dapat dilakukan, akhirnya sektor informal menjadi pilihan realistis bagi para migran. Dalam hal ini, perbedaan tingkat upah serta kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang mendorong angkatan kerja untuk pindah ke kota.
Bagi sebagian migran, bekerja sebagai PKL bukan berarti identik dengan kemiskinan. Bahkan, tidak jarang terjadi, sebagian migran yang bekerja sebagai PKL mampu menikmati hidup yang jauh lebih baik daripada kehidupan mereka di perdesaan. Kendati kebanyakan sektor informal punya kapasitas produksi yang rendah karena pemupukan modal dan investasinya kurang, distribusi penghasilan di sektor informal tidak selalu lebih rendah dari penghasilan di sektor formal. Kegiatan sektor informal di Malaysia, Peru, dan Tanzania, misalnya, justru menawarkan penghasilan yang lebih tinggi daripada sebagian buruh yang bekerja di sektor formal (Mazumbar, 1976; Sutinah, 2000).
Penghasilan di sektor informal juga cenderung lebih tinggi daripada penghasilan di sektor pertanian. Secara fisik mungkin seorang migran yang bekerja sebagai PKL hidup di permukiman yang kumuh dan tempat usaha yang jauh dari layak. Namun demikian, jangan kaget jika kadang omzet mereka mencapai angka jutaan bahkan puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di DKI Jakarta, ada baiknya jika Pemda DKI Jakarta tidak melulu terjebak pada pendekatan yang sifatnya represif, apalagi punitif. Tak keliru mencoba mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan. Di wilayah-wilayah atau ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL, sejak dini di sana harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Dengan demikian, sebelum jumlah PKL yang mangkal bertambah besar, maka pihak kelurahan dan kecamatan dapat segera mengambil langkah-langkah penindakan.
Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur membesar, biasanya langkah penindakan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan efektif jika pihak kelurahan atau minimal pihak kecamatan juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya. Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, jumlah satpol PP yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.
Upaya penataan PKL seyogianya tidak hanya berkutat pada bentuk-bentuk penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif —yang umumnya hanya melahirkan pembangkangan dan daya resistensi para PKL. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengkombinasikan antara fungsi pembinaan, fungsi pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus.
Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan Pemprov DKI Jakarta terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik. Sedangkan fungsi pengawasan adalah upaya Pemda DKI Jakarta untuk terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota dengan tujuan dapat diperoleh data yang akurat dan up to date tentang keadaan PKL di DKI Jakarta.
Fungsi preventif adalah upaya Pemda DKI Jakarta untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota dengan cara mengembangkan kerjasama dengan daerah hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota agar tidak makin menyolok. Adapun untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu yang dinilai sudah melewat batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum warga kota.
Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya. Artinya, dengan menyadari bahwa akar masalah sektor informal kota adalah akibat adanya kesenjangan desa-kota, maka strategi penanganan masalah ini mau tidak mau harus pada tingkat regional atau paling tidak melibatkan kerjasama dan dukungan kota-kabupaten yang lain—khususnya daerah-daerah yang menjadi hinterland DKI Jakarta.
Membiarkan DKI Jakarta harus menanggung sendirian beban persoalan PKL, selain tidak adil, juga membuat masalah ini menjadi kian sulit dipecahkan. Betapapun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih di DKI Jakarta adalah dampak dari persoalan-persoalan yang muncul di desa asal migran. Maka, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan “pintu tertutup” yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.
Nah, mampukah Anies-Sandi mengatasi masalah PKL ini?
Kolom terkait:
Gebrakan Ridwan Menata Pedagang Kaki Lima
Meikarta dan Wajah Pembangunan Kota yang Tidak Adil