Senin, Oktober 14, 2024

Anies dan Kebohongan Kita

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno saat akan memasuki kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/10). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Tak bisa dipungkiri dan sekaligus dinafikan bahwasanya kebohongan telah menjadi salah satu trademark manusia. Kebohongan bahkan telah berurat berakar dalam sendi-sendi kehidupan manusia, bahkan sejak dari awal mula penciptaan manusia itu sendiri. Kebohongan sudah benar-benar kita nikmati. Saking nikmatnya, kebohongan itu kita produksi berulang-ulang dan masif.

Hebatnya, kebohongan itu pun sudah berwarna suci, tidak lagi cemar. Tidak lagi “hitam”. Namun sudah putih. Maka, lahirlah yang disebut white lie. Berbohong demi kebenaran. Benarkah? Tentu hal ini bisa debatable.

Selain “kebohongan putih” itu, ada lagi kebohongan-kebohongan lain yang dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah kebohongan itu nyata, semisal hoax, fake news, dan alternative facts sebagai derivasinya. Dan yang lebih hebatnya lagi, pelaku kebohongan ini pun bukan hanya ranahnya orang awam semata, orang-orang intelek yang berpendidikan tinggi pun sudah tidak imun lagi.

Bohong Dulu dan Sekarang

Perihal kebohongan ini, saya sederhanakan saja menjadi dua: dulu dan sekarang. Apa bedanya. Kebohongan dulu–sebelum teknologi informasi begitu berkembang seperti sekarang–sangat sulit dideteksi dan dibuktikan karena minimnya fasilitas pembuktiannya. Informasi kebenaran dan sekaligus kebohongan itu tunggal di tangan penguasa, atau yang berkuasa.

Contoh, zaman ago seorang suami adalah orang yang berkuasa atas istrinya. Maka, jika ada kecurigaan bahwa si suami berbohong tentang sesuatu, akan sulitlah bagi si istri untuk mengetahuinya karena sang suami amat berkuasa, yang tidak menutup kemungkinan sang suami memanipulasi informasi yang dia punya. Begitu pula yang terjadi pada skala yang lebih luas dalam sendi-sendi kehidupan yang lainnya.

Lalu, bagaimana dengan kebohongan zaman milenial atau zaman now ini? Kebohongan versi now ini lebih cepat diketahui dan dikuak kepalsuannya. Karena apa? Sebab, media atau wahana pembuktiannya sudah sangat banyak. Kekuasaan informasi itu sudah aneka, tidak lagi tunggal. Buku, majalah, suratkabar, media online, dan internet adalah sumber-sumber informasi menguak dusta.

Dan terkait kebohongan zaman now itu, dalam beberapa hari ini kita masih disibukkan dengan ujaran kebohongan yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Saya sebut Anies berbohong karena beliau telah berpidato tidak seperti yang dituliskannya sendiri. Alih-alih dia malah berimprovisasi dengan kata “pribumi.” 

Saya sebut improvisasi karena dia mengubah pidato tulisannya, sebagaimana saya kutip dari situs Jakarta.bisnis.com, yang tersurat sebagai berikut… ”Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri” menjadi ucapan lisan yang berbunyi … ”Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka. Kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” (https://www.youtube.com/watch?v=UHXruKa7gj4)

Tampak jelas perbedaannya. Dalam isi pidato tertulisnya, konteksnya bolehlah diterima dalam fase penjajahan dulu. Namun, dalam ucapan lisannya maknanya sangat jauh berbeda dan berpotensi memicu gelombang cemoohan dan cibiran karena bernuansa SARA. Dan cemoohan, cibiran, bahkan aduan masyarakat terhadapnya pun sudah terjadi.

Untuk membuktikannya, mari kita dedah isi pidato improvisasi itu. Siapa yang dimaksud pribumi, siapa yang dimaksud kita. Siapa yang ditindas, dikalahkan. Siapa pula yang menindas dan mengalahkan.

Hal-hal tersebut di atas menjadi rancu karena dia tidak mengucapkan kata kolonialisme sebagai sasaran tembak. Karena tidak ada sasaran tembak, maka peluru yang ditembakkan lewat mulutnya itu menyasar ke mana-mana. Menghantam siapa saja. Mengusik keberadaan manusia-manusia lain penghuni kolong langit Indonesia.

Bicara pribumi, tidak ada yang benar-benar pribumi di alam semesta ini, konon lagi pribumi Indonesia. Intinya, kita semua adalah pendatang, di manapun kita berada. Jadi, klaim “pribumi” adalah ujaran yang “masuk angin” dan bohong belaka karena hal tersebut sudah terbantahkan dengan sendirinya.

Anies sudah berbohong dan melakukan tindak ahistorisitas atau contradictio in terminis atas Inpres No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Bohong kalau dia dan timnya tidak tahu-menahu tentang hal itu.

Kemudian, siapa kita? Jika yang dimaksud “kita” adalah dia dan golongannya, maka jelas-jelas dia telah “bermain-main” dan berbohong dengan teorinya Ferdinand de Saussure–binary opposition (oposisi biner) dan mulai “mengkotak-kotakkan” masyarakat Indonesia. Sayangnya, teori ini tidak bermaksud seperti itu. Sebab, sesungguhnya teori ini tidak bisa menegasikan satu sama lain.

Selanjutnya, siapa yang ditindas dan dikalahkan? Siapa pula yang menindas dan mengalahkan? Di zaman ago, semua rakyat Indonesia berjuang bersama-sama mengusir penjajah, yang memakai istilah pribumi (inlander) dan nonpribumi dalam politik pecah-belahnya, dari Bumi Pertiwi. Itu jelas. Akan tetapi di zaman sekarang, siapa penindas, yang ditindas, dan dikalahkan adalah kita sendiri.

Kitalah penjajah sekaligus jajahan itu sendiri. Kita yang korup. Kita pula yang jadi objek korupsi. Kita bandar dan sekaligus pemakai narkoba. Kita yang bilang kita bangsa majemuk, kita pula yang berencana mengingkarinya. Benar-benar kita telah menjadi pembohong bagi orang lain dan ironisnya kita pun telah membohongi diri kita sendiri.

Oleh karena itu, selama kita kerap melontarkan kebohongan, apa pun jubah dan tujuannya, maka selama itu pula kata merdeka dan berdaulat di rumah sendiri itu hanyalah ilusi belaka. Kebohongan akan terus beranak-pinak, sebab sesungguhnya kita semua adalah pembohong-pecandu kebohongan sejati, sebagaimana disampaikan oleh Seth Stephens-Davidowitz dalam bukunya Everybody Lies (2017).

Kolom terkait:

“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal

Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan

Kemiripan Anies dengan Trump: Rasisme dan Politik “Siulan Anjing”

Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur

Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.