Jumat, Maret 29, 2024

Ahok, Rizieq, dan Bencana Kata-kata

Makyun Subuki
Makyun Subuki
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ahok-Rizieq-ilustrasi
Habib Rizieq Shihab dan Gubernur Jakarta Ahok (Ilustrasi: SuratKabar.id)

Sidang Ahok dalam kasus penistaan agama yang disangkakan kepadanya, juga pemeriksaan terhadap Rizieq atas berbagai aduan kepada dirinya, membuka banyak hal tentang kehidupan kita. Ahok dilaporkan karena ucapannya di Pulau Seribu dianggap menistakan ajaran agama Islam. Pihak yang melaporkannya bahkan sampai melakukan dua kali demonstrasi (411/212) untuk memastikan kasus ini diproses secara hukum.

Sebagaimana kita tahu, Ahok seringkali bermasalah dengan bahasanya. Yang terbaru, Ahok dikritik banyak pihak karena bersikap kurang sopan terhadap Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin.

Di pihak yang berseberangan, yang menjadi motor demonstrasi terhadap Ahok, ada Habib Rizieq Shihab. Sebagai antitesis Ahok, mulut Rizieq ini tidak kalah mengerikan. Dia dilaporkan beberapa kelompok masyarakat akibat ucapan-ucapannya yang dianggap menyinggung kelompok lain.

Laporan terhadap dirinya bertubi-tubi datang, dari penistaan Pancasila, penistaan agama Kristen, bahkan hingga penistaan hansip. Yang terbaru, kalau memang benar, Rizieq kembali akan berhubungan dengan penegak hukum soal transkrip pornografi dalam skandal Firzagate. Sepertinya, pangkal dari lapor-melapor ini sebetulnya sederhana saja: bahasa yang buruk.

Ahok dan Rizieq Cermin Kita
Keburukan bahasa yang dimiliki Ahok dan Rizieq ini sebenarnya tidak begitu mengerikan apabila dibandingkan dengan apa yang dicerminkan dari keduanya. Seperti kita tahu, pendukung dua orang ini tidaklah sedikit. Orang yang menggilai Ahok dan Rizieq ini, yang bersedia mati-matian membutakan diri terhadap mulut kotor keduanya, mungkin sama banyaknya.

Kelakuan para penggemar dua orang ini besar kemungkinan akan membenar-benarkan keburukan mulut Rizieq dan Ahok. Lebih buruk lagi, bisa jadi mereka adalah manusia yang mulutnya berperangai sama dengan idolanya. Kata Nietzsche, “Massa adalah salinan kabur orang-orang besar.”

Kemungkinan bahwa mulut para penggemar Ahok dan Rizieq kurang-lebih sama dengan mereka tampaknya besar juga. Bahkan, alih-alih menggambarkan para pendukungnya, Ahok dan Rizieq ini bisa jadi juga menggambarkan perilaku berbahasa kita semua. Bukankah Ahok, Rizieq, dan para pendukung keduanya juga hidup bersama dan belajar bahasa bersama kita? Artinya, jangan-jangan, yang punya tabiat menista dan menghina sebenarnya bukan hanya Rizieq, Ahok, dan penggemarnya itu, melainkan juga kita semua.

Kita mungkin dapat tidak setuju dengan pengandaian ini, tetapi kenyataan berbahasa kita seringkali menunjukkannya demikian. Sebagai contoh, kita dapat melihat realitas berbahasa di jalan raya. Mana yang lebih mudah kita temui di sana, caci-maki atau puja-puji? Atau, yang juga mudah, mari kita daftar seluruh kata yang kita ketahui. Lalu bandingkan, mana yang lebih banyak, kata untuk memuji atau kata untuk memaki? Saya yakin, yang kedua lebih banyak. Bahkan, kata yang tergabung dalam medan makna PUJI dalam bahasa Indonesia sepertinya jauh lebih sedikit daripada kosakata yang tergabung dalam medan makna CACI.

Dengan rasa pahit, marilah kita akui bersama-sama bahwa caci-maki adalah bagian sah dari kebudayaan kita, yang kita jaga kelestariannya bersama-sama. Dengan berat hati, harus diakui pula bahwa dilihat dari cara kita berbahasa, saya membayangkan, seandainya Searle lahir dan besar di Indonesia, dia akan mengategorikan tindak-tutur (speech-act) menjadi enam, bukan lima. Tambahannya adalah memaki.

Salah Arah Pembelajaran Bahasa
Sebab dari kegemaran kita mencaci tentu saja sangat banyak dan tidak mungkin diuraikan seluruhnya di sini. Akan tetapi, salah satu penyebabnya adalah pembelajaran bahasa di lembaga pendidikan resmi. Sebab, ini sebenarnya tidak langsung, tetapi pengaruhnya cukup signifikan.

Sudah masyhur bahwa sejak Orde Baru berkuasa, penyeragaman dilakukan di sana-sini. Mulai dari penyeragaman panganan pokok menjadi nasi, hingga penyeragaman pikiran. Tentu saja, bahasa Indonesia dan pembelajarannya juga mengalami itu.

Sebagai warga negara Indonesia, bahasa kita diseragamkan melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar, cara kita menulis diseragamkan melalui Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan pemahaman kita terhadap kaidah distandarkan melalui Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Singkatnya, pemerintah menerapkan standar kita memperlakukan bahasa kita. Dan, sialnya, itu hanya terkait dengan urusan formal saja.

Tentu saja tidak ada yang salah dalam hal semacam itu. Yang menjadi masalah adalah nafsu penyeragamannya. Di sekolah-sekolah, siswa kita dididik untuk mempelajari bahasa Indonesia dengan nalar preskriptif negara terhadap bahasa. Penghayatan terhadap bahasa Indonesia di luar pemahaman resmi versi penguasa adalah subversif dan keliru. Sebab, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia versi penguasa.

Akibatnya, para pengajar bahasa sibuk mengajarkan hal-hal formal belaka dalam bahasa Indonesia. Padahal, semua pengajar itu tahu bahwa bahasa Indonesia semacam itu hanya bisa digunakan di dalam buku dan gedung.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah kita seringkali luput memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia secara aktual di dalam masyarakat. Bahasa Indonesia yang kita peroleh di sekolah adalah bahasa Indonesia yang penuh penertiban dan penyeragaman. Harus begini dan harus begitu. Hanya ini yang benar dan yang itu salah. Padahal, di luar sekolah setiap orang berbicara bahasa Indonesia dengan ciri khas dan–seringkali itu berupa–kesalahan yang tak mungkin dihindarkannya, dan dengan begitu setiap orang belajar menghargainya.

Ada aturan berbahasa yang berbeda di luar sekolah dan itu jarang sekali diakomodasi oleh kurikulum bahasa kita. Kurikulum bahasa kita lebih senang mengajari siswa kita soal subjek dan predikat ketimbang kesantunan. Padahal, kesantunan berbahasa jauh lebih berguna untuk dipelajari masyarakat, karena tingkat pemakaiannya yang lebih tinggi dalam pergaulan sehari-hari daripada pengetahuan mengenai subjek dan predikat.

Pada akhirnya, kita terbiasa bersikap untuk menghayati bahasa Indonesia dari segi formal. Kita lupa bahwa yang penting dari bahasa Indonesia itu bukan hanya kaidah formal saja, melainkan juga kaidah interaksional yang turut merawat kohesi sosial masyarakat kita. Karena itu, tidak mengherankan apabila cara kita berbahasa semakin hari semakin tidak menunjukkan keadaban kita sebagai bangsa.

Baca juga:

Bacot Ahok, Al-Maidah 51, dan Linguistik

Makyun Subuki
Makyun Subuki
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.