Jumat, April 19, 2024

Agar Spirit Pancasila Tumbuh dan Terawat

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Seorang mahasiswi berjalan di depan “banner” tokoh pejuang nasional seusai membubuhi tandatangan di sela-sela kegiatan Halaqah Kebangsaan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (23/5). ANTARA FOTO/Jojon

Akhir-akhir ini tema penguatan Pancasila menjadi diskursus yang ramai diperbincangkan. Berbagai ajang dan forum yang dilakukan oleh berbagai kelompok meresonansikan penguatan Pancasila sebagai pijakan untuk merejuvenasi semangat kebangsaan dan kebinekaan dalam lokus besar: keindonesiaan.

Pada 2 Mei 2017, sejumlah elemen masyarakat Yogyakarta menyelenggarakan petisi Yogya di halaman Pendopo Taman Siswa untuk menegaskan pentingnya penguatan Pancasila di berbagai arena kehidupan. Selain itu, partisipasi diri untuk meneguhkan pentingnya penguatan Pancasila diekspresikan pula oleh dua ormas besar, Muhammadiyah dan NU, yang secara bersama-sama mengadakan halaqah kebangsaan (19 mei 2017).

Dalam halaqah ini, NU dan Muhammadiyah mengingatkan kita semua agar tidak memalingkan diri dari Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara agar terjalin persatuan nasional. Tak ketinggalan pula, para tokoh masyarakat yang terdiri dari agamawan, budayawan, dan akademisi lintas agama menyelenggarakan pertemuan bersama di Universitas Gadjah Mada (26 Mei 2017) untuk menyerukan maklumat sesepuh bangsa yang menegaskan pentingnya mendudukkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Terlebih lagi seruan pemerintah yang tiada hentinya menegaskan pentingnya spirit Pancasila yang harus dirawat agar bangunan keindonesiaan yang dinafasi oleh Pancasila dan UUD 45 menjadi pandu kehidupan setiap rakyat. Bahkan, pemerintah merancang kegiatan Pekan Pancasila (29 Mei-4 Juni 2017) dengan tema “Saya Indonesia, Saya Pancasila” untuk memperingati hari lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni.

Dari sekian perhelatan dan seruan moral yang intens menekankan spirit Pancasila, muncul pertanyaan mendasar yang perlu direfleksikan bersama, yaitu bagaimanakah memanifestasikan spirit Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Melakoni Spirit Pancasila
Ada dua hal yang paling sederhana ketika kita ingin melakoni spirit Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, bagaimana menempatkan diri bersama orang lain yang berbeda latar belakang identitas. Kedua, bagaimana memperlakukan orang lain yang sedang khilaf dan menyikapi dengan bijaksana demi terjalinnya rasa kesetiakawanan dan semangat persatuan.

Untuk menjelaskan dua aspek tersebut, saya akan mengawali dengan sebuah kisah sederhana yang terjadi dalam sebuah keluarga yang selalu berproses untuk mengekspresikan semangat berpancasila dalam perilaku sehari-hari. Kisah ini bermula dari seorang anak beragama Islam yang masih duduk di bangku kelas IV SD, bernama Kuni Hanina Taqiya yang dalam keseharian senang bergaul dengan siapa pun.

Syahdan, Hani—demikian nama panggilannya—bermain dengan teman sebayanya yang beragama non-Muslim. Di saat interaksinya berjeda, tiba-tiba kawan lain yang bergama Islam menghampiri dirinya. “Mengapa Hani bermain bersama si fulan dan fulanah. Mereka kan non-muslim?” demikian tanyanya.

Hani menghela nafas sejenak dan sesaat kemudian menjawab “mengapa kita harus pilih-pilih teman karena agama”. Kawannya terdiam dan tak menyergahnya dengan pertanyaan lanjutan. Beberapa jam kemudian, bundanya tiba ke rumah seusai menjalankan kerja di kantornya.

Seperti biasa, begitu bundanya datang Hani menceritakan sebuah kejadian yang dialami sebelumnya. Setelah menceritakan peristiwanya, bundanya bertanya. “Siapa kawanmu yang melarang bergaul dengan fulan dan fulanah?” Dengan sigap Hani menjawab, “saya tidak mau membuka aib kawanku yang tadi mempertanyan pergaulanku dengan fulan dan fulanah. Itu rahasia. Yang penting aku sudah bermain dan aku senang.”

Sang bunda terdiam. Sesaat kemudian menyampaikan pandangannya, “Sayang, hari ini bunda memperoleh pelajaran berharga dari peristiwa yang dialami Hani. Sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, tiada alasan untuk membatasi pergaulan dengan latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Apa yang dilakukan oleh Hani adalah sikap yang tepat untuk mengamalkan ajaran Pancasila sekaligus ajaran agama.”

Nafas lega dihirupnya dan tak lupa mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. “Terimakasih ya Allah, Engkau telah menitipkan seorang anak yang memiliki komitmen untuk setia menjalankan hidupnya sebagai orang Indonesia dan taat menjalankan ajaran agama Islam yang Engkau turunkan melalui Nabi Muhammada SAW.”

Komitmen Diri
Kisah di atas adalah sepenggal cerita yang terjadi dalam keluarga saya yang mungkin bermanfaat untuk direfleksikan sebagai perwujudan komitmen diri menumbuhkan spirit Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Secara sosiologis, ada tiga rangkaian penting yang melingkupi diri seorang Hani: (i) berteman dengan fulan dan fulanah yang beda agama, (ii) menegur kawannya agar tidak pilih-pilih teman atas nama agama, (iii) menutupi aib kawan yang menyoal pertemanannya di hadapan bundanya dengan tanpa menyebut nama.

Ketiga rangkaian ini—dengan meminjam pandangan Erving Goffman—adalah mencerminkan pernyataan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk menumbuhkan komitmen sosial dalam membangun interaksi dengan cara pelibatan empatik. Berempati untuk berbagi kesenangan dalam menjalin pertemanan dan berempati untuk tidak menghujat sebuah kesalahan di hadapan orang lain.

Dalam sebuah interaksi, dua aspek di atas adalah kerangka utama untuk meleburkan berbagai pertalian identitas—baik agama, suku, ras, suku—ke dalam posisi diri sebagai orang Indonesia. Hal ini penting dilakukan agar bisa menjalankan fungsi sosial kita dalam menjalin hubungan dengan siapapun tanpa perlu menyoal apa latar belakangnya.

Dalam kaitan ini, pembauran diri ke dalam tindakan multikulturalisme mencerminkan sikap peneguhan tentang spirit Pancasila yang sejak dahulu telah mempersatukan semua rakyat di berbagai belahan kawasan yang merentang dari ujung Barat dan Ujung Timur Indonesia. Hal ini penting dilakukan agar kita tidak dirancukan oleh pandangan parsial yang oleh beberapa kalangan dipersempit menjadi politik identitas. Apalagi, di dalam politik identitas tersebut terdapat riak-riak “makar” yang diam-diam ingin mengoyak Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Di samping itu, ketika kesadaraan kebinekaan termanifestasi dalam interaksi sosial kita, pada saat bersamaan kita pun harus meneguhkan sifat humanitas ketika menghadapi sebuah kekeliruan tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Sebagai pribadi yang pancasilais, kita harus meresapi nilai-nilai kebijaksanaan dalam menempatkan diri secara adil dan proporsional dengan tanpa merasa paling benar, apalagi bertindak menyudutkan pihak lain hanya karena sebuah kekeliruan yang mungkin berangkat dari sebuah kealpaan.

Yang perlu dikedepankan adalah rasa kesetiakawanan dan semangat persatuan dalam merawat pondasi ke keindonesiaan secara bersama-sama.

Dengan demikian, spirit Pancasila yang terpatri dalam sanubari kita dan dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari akan berkontribusi besar bagi perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, aman, dan tentram (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.