Siapa yang tidak tahu Pramoedya, yang kerap disapa Pram? Kita baru saja memperingati kelahiran Pram pada 6 Febuari 2017 lalu. Bahkan Google juga ikut memperingatinya dengan menampilkan figur Pram lewat Google Doodle.
Kontribusinya yang besar dalam dunia kesusastran membuat bangsa ini banyak berutang budi kepadanya. Namun, Pram kini (hanya) dianggap seperti seorang aktor yang memainkan peran dalam episode sejarah republik ini. Pram hanyalah sepotong bagian dari sebuah cerita. Setelah itu, ia hilang. Padahal, sosok Pram menyimpan banyak misteri juga ambisi. Kesusastraanya yang terkait erat dengan sejarah Nusantara dan Indonesia adalah wujud nyata cintanya yang besar kepada negeri ini.
Membaca Pram dalam hal ini tentu bukanlah membaca semua karyanya yang jumlahnya puluhan itu sampai selesai. Lebih tepat jika kita menginterpretasikan karyanya bukan dari sudut pandang sastra semata, melainkan dari sudut pandang sejarah. Sehingga kita dapat menggali, memahami, sekaligus menghayati Pram sebagai Bapak yang berjuang dalam ruang pengertian manusia Indonesia dari sejarahnya sendiri.
Dapatkah kita memahami semangat akan sejarah dari Pram dengan budaya keberaksaraan dan literasi yang rendah saat ini? Jawaban atas pertanyaan ini sungguhlah sulit. Karena, terdapat konsekuensi logis dari upaya menggali pemikiran Pram.
Sosok Pram yang sangat nasionalis dan amat menjaga martabat Indonesia tampaknya akan sulit bertemu dengan perilaku generasi sekarang terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi dasar serta acuan berdirinya Indonesia.
Munculnya Zaskia Gotik dan Habib Rizieq Shihab yang “menghina” Pancasila adalah contoh kecil pemahaman dan pemaknaan akan sejarah Indonesia yang masih lemah. Tentu fenomena ini adalah konsekuensi logis dari (asumsi minimal) kurangnya minat baca.
Masalah dalam Membaca Sejarah
Bangsa kita kini sedang mengalami krisis keaksaraan dan literasi. Kita dapat melihat catatan UNESCO (2012) yang menyebutkan bahwa persentase minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001. Artinya, hanya terdapat 1 pembaca aktif dari 1.000 orang. Kenyataan ini sungguh kontraproduktif dengan apa yang dilakukan oleh Pram. Membaca dan menulis adalah keniscayaan.
Keanehan lainnya adalah bahwa saat ini kita hidup di era serba bebas. Seharusnya, era kebebasan dapat dimanfaatkan untuk membaca dan menulis yang lebih kritis lagi. Kita dapat belajar banyak dari era Pram, di mana menulis di bawah “todongan” senjata, di jeruji besi, dan di pengasingan jauh lebih sulit.
Pram sudah mengamanatkan kita sebagai generasi penerus—khususnya mahasiswa—untuk membuat sejarahnya sendiri. Berupaya memahami masa lalu sebagai cermin masa depan adalah bagian yang tak terpisahkan dari mencari identitas dan jati diri bangsa.
Di tengah kegamangan budaya dan literasi, memahami Pram dari polemik politik dan sastranya adalah suatu hal yang keliru. Warisan Pram jauh lebih besar dari itu. Sebagai saksi sejarah, Pram tentu punya ambisi dan motivasi. Menyaksikan Nusantara dihisap oleh bangsa dari Utara, Pram tidak tinggal diam. Warisan Pram adalah harapan dan cita-cita agar Indonesia tidak lagi menjadi bangsa nomor dua, tiga, inferior, atau dengan kata lain, dijajah.
Membaca riwayat hidup Pram seperti membaca riwayat orang kalah/tertindas. Gagal menerima penghargaan Ramon Magsaysay, menghabiskan hampir separuh hidupnya di pengasingan/penjara, banyak karyanya yang dibakar, dan masih banyak deretan fragmen hidup Pram yang menyedihkan.
Pram yang kita kenal tidak akan binasa oleh senapan dan tirani. Meski dipenjara, Pram tetap membela Indonesia dihadapan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Ia tetap menentang meski dengan hanya mesin tik. Terlepas produktivitas menulisnya, Pram jelas menderita.
Masa lalu kerap menjadi batu loncatan bagi perbaikan masa depan. Pengertian semacam ini tentu mengandung dua asumsi. Pertama, masa lalu erat kaitannya terhadap peristiwa-peristiwa positif yang berguna sebagai motivasi menyongsong masa depan yang lebih baik. Kedua, bahwa masa lalu (sejarah) erat kaitannya dengan tragedi-tragedi (penderitaan) tertentu, yang menjadi pelajaran berharga bagi masa depan. Sehingga sebisa mungkin tragedi tersebut tidak akan terulang.
Pengertian sejarah mengenai peristiwa akan masa lalu haruslah diubah. Karena, sejarah bukan hanya tentang peristiwa masa lalu, akan tetapi juga mencakup bagaimana kita bisa mengingat masa lalu, khususnya peristiwa-peristiwa itu.
Lewat wawancara dengan Tempo (1999), Pram mengatakan “sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.” Dari pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang tidak mengetahui masa lalu, maka tidak akan mengetahui masa depan.
Di sini, penderitaan Pram mengandung sebuah makna yang mendalam akan harapan tersebut. Sehingga penderitaan dan harapan seperti dua sisi uang logam yang tak dapat dipisahkan.
Dengan pengertian di atas, setidaknya kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa sejarah bukan merupakan suatu peristiwa an sich yang telah selesai, sebagaimana yang dikatakan oleh ilmu sejarah—dalam pemikiran Walter Benjamin.
Singkatnya, memahami sejarah dengan ingatan berarti memahami sejarah sebagai sesuatu yang memiliki relevansinya bagi subjek yang mengingatnya di masa kini. Dalam konteks tragedi orang menderita dan tertindas, justru ingatan menjadi sumber pengetahuan dalam mewujudkan cita-cita yang belum tuntas di masa lalu.
Lewat pengertian ingatan ini, Pram tidak (hanya) akan menjadi poster, lukisan, wallpaper, gambar kaos, dan pin yang berguna sebagai pajangan semata. Lebih jauh dari itu, harapan Pram, akan (Nusantara dan) Indonesia yang jaya mengalir dalam denyut nadi generasi saat ini. Sebab kita mengingatnya.
Dengan demikian, penderitaan Pram tidak sia-sia. Penderitaannya dapat berubah menjadi kebahagiaan dan orang kalah dapat menjadi pemenang dalam perjalanan sejarah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wiratmo Soekito, bahwa Pram adalah sosok Promethen.
Figur Prometheus yang tak kenal kompromi dalam menghadapi Zeus. Dan kita sebagai generasi baru Indonesia menjadi putri-putri Genesis, yang bukan menaruh belas kasihan pada Pram di lepas pantai Kaukasus, justru mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada sosok yang kerap merokok ini. Pram dapat tersenyum di alam bakanya.
Meneruskan Perjuangan Pram
Dengan menggali karya-karyanya, riwayat hidup, dan sikap politik Pram, kita dapat mengambil berkah yang luar biasa. Bahwa warisan dari Pram untuk Indonesia bukanlah Bumi Manusia, Arus Balik, Gadis Pantai, Larasati, atau Panggil Aku kartini Saja.
Warisan dari Pram untuk Indonesia adalah Pram itu sendiri, sebagai manusia yang amat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan integritas kerja yang luar biasa.
Hanya dengan membaca dan menulis kita dapat mengingat masa lalu. Tak ada jalan lain. Lewat cara ini, kita dapat menghindari belenggu stagnansi sejarah kita sendiri. Dengan membaca, mengingat, dan menulis, kita bekerja untuk keabadian. Keabadian masa lalu dan masa depan kita yang lebih baik. Dengan keyakinan bahwa arus harus berbalik dari Selatan ke Utara, dari Indonesia ke Eropa (dunia).