Jumat, April 26, 2024

2018: Kembali Pulang

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Saya pikir, pada tahun 2017 yang lalu, ada sesuatu yang gawat dari kita: hilangnya kesadaran. Apa itu kesadaran? Kesadaran, tentu saja, bukan sekadar deskripisi tubuh dengan mata terbuka dan telinga mendengar. Kesadaran paling hakiki adalah kedalaman berpikir kritis. Bahwa bumi ini mustahil ditumbuhi hanya oleh sejenis pepohonan, misalnya.

Kesadaran ini lalu merembes pada kedalaman berpikir lainnya, yaitu bahwa manusia mustahil sejenis: sama-sama berambut keriting, berkulit coklat, beragama sama.

Artinya, manakala ada pemikiran bahwa bumi ini harus homogen, saat itulah kita sudah tak sadarkan diri. Kita sudah pingsan. Tak bisa mendengar. Tak bisa melihat. Apalagi berpikir. Saat itulah kita tak ada bedanya dengan tumbuhan dan hewan, bahkan dengan benda-benda mati. Padahal, Sang Khalik mencipta manusia dengan satu keistimewaan utama: kecerdasan akal budi.

Karena itu, sebutan manusia tidak terletak pada seberapa lengkap pancaindera. Manusia dipanggil sebagai manusia semata berdasar pada seberapa berfungsinya akal dan budi.

Manusia yang serakah dan mau menguasai adalah titik akhir dari deskripsi manusia, karena pada saat itu akal dan budi sudah timpang. Manusia yang sejati tak menguasai tentu saja. Kajian literatur biblis menyebutkan bahwa ketika Adam dan Hawa mulai kerasukan untuk menguasai, bahkan ingin sama persis seperti Sang Khalik, saat itu manusia terempas dari aroma surgawi. Manusia keluar dari akal dan budinya. Selekas itu, dan sejarah menjadi saksi, pembantaian dan pembunuhan lalu terjadi berulang-ulang.

Mengular dan Mengalir

Sejak itulah berbagai imperium tumbang, berbagai negara kacau. Nyawa menjadi sebatas angka yang bisa dihitung, bukan lagi sebagai kata untuk dikaryakan. Itu semua terjadi karena manusia benar-benar meninggalkan kemanusiaannya. Inilah sebenarnya yang menjadi gejala awal kiamat kemanusiaan.

Sayangnya, sangat sedikit dari manusia yang ingin kembali menjadi benar-benar manusia. Jika Adam dan Hawa setelah dimurka Sang Khalik langsung malu dan ingin kembali, kini manusia cenderung tak mau lagi kembali.

Manusia selalu ingin pergi merantau lebih jauh hingga terasing dari dunianya seakan terus berlari adalah kebebasan. Tolehlah pada sekitar di mana manusia sudah hampir tanpa rasa malu. Manusia menjadi grasa-grusu: merasa benar dan merusuh yang benar. Inilah yang saya sebut di awal sebagai sesuatu yang sangat gawat. Kita berjalan begitu jauh hingga lupa untuk kembali (tersesat?). Kita seakan lahir dan hadir bukan untuk menciptakan kenangan, tetapi menerabas semua peristiwa.

Nasihat baik bahwa gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama (sejarah) pelan-pelan sudah mulai luntur. Kita terlupakan bahwa bekal menuju Langit Ketujuh bukan tombak dan senjata. Sebab, kita sama-sama tahu bahwa Tuhan bukan panglima perang.

Ironisnya, kita justru memperlakukan-Nya demikian. Kita membuat Tuhan menjadi alasan bagi syahwat pemuas perang. Inilah deskripsi tegas mengapa kini keindonesiaan kita mulai koyak-moyak. Sungguh sangat gawat, tetapi kita bersikap seolah tak ada masalah.

Kita berjalan begitu rupa untuk terjerembab pada jurang yang dalam. Di sana, di jurang itu ada jeruji dan senjata yang mematikan. Bentuknya terlihat dari maraknya paham hedonisme, vandalisme, kapitalisme, transnasionalisme, lalu yang populer belakangan: fobia pada orang lain.  Sebagai akibatnya, budaya gotong-royong dan paguyuban pun tesisih.

Sekali lagi, (harus ditegaskan berulang-ulang), ini sungguh sangat gawat. Betapa tidak, ini sama persis ibarat bagaimana kita merawat singa atau api di rumah: seakan tak berbahaya karena menguntungkan.

Sebab, ketika kecil, kita, misalnya, masih bisa berakrab ria dan bermain-main. Api masih bisa digunakan untuk memasak dan singa masih ibarat boneka. Kita tak sadar bahwa setelah besar kelak, singa itu akan menerkam tetangga dan api akan membakar rumah. Itulah yang sedang kita lakukan saat ini: beternak kebencian di sekolah, di rumah-rumah (ibadah), di perkumpulan beraroma primordialisme. Dampaknya saat ini memang masih bisa dikendalikan ibarat bagaimana kita memelihara anak singa.

Sayangnya, kita tak sadar bahwa ke depan, kita sama sekali tak bisa melarang singa untuk tidak menerkam tetangga dan melarang api untuk tidak membakar rumah karena singa dan api tak mengenal akal budi. Kebencian juga kiranya demikian. Tragisnya, fakta bahwa kini kebencian (yang tak berakal budi itu) di beberapa penduduk kita semakin mengular dan mengalir. Penduduk mulai kehilangan akal dan budinya. Pilkada Jakarta hanya contoh yang sangat kecil. Contoh-contoh kecil lainnya akan dan bahkan sedang berlangsung riuh.

Manusia Sejati

Beberapa waktu lalu, misalnya, Komnas HAM mengatakan bahwa saat ini sudah banyak siswa yang enggan dipimpin oleh orang yang berbeda agama. Melihat itu, terbayangkah oleh kita bagaimana mungkin sekolah sebagai pabrik kebaikan malah kini menuai kebencian?

Maksud saya, kini kita harus segera kembali ke kedalaman berpikir. Kembali adalah jalan pulang. Kembali adalah upaya untuk menerima apa yang didengar telinga. Apakah ada nama-nama lain selain nama kita? Apakah ada orang yang beda dengan kita?

Kalau ada, terimalah orang itu. Itulah jalan pulang.  Atau, dalam bahasa Kurnia JR, itulah jalan kembali ke kampung halaman Adam-Hawa, yaitu surga. Jalan ini memang terjal. Namun, mesti diingat bahwa kalau mampu melampaui jalan terjal, itu sama artinya mampu kembali pulang.

Jadi, jika kini Endang Turmudi (2016), peneliti senior dari LIPI, khawatir bahwa kita sedang melalui jalan terjal berupa adanya 84,8 persen setuju agar Pancasila ditukar, itu artinya bahwa kita sebenarnya bisa pulang dan kembali bersama keluarga.

Bagaiamanapun, negara ini harus pulang bersama. Pulang agar semua orang lain menjadi keluarga. Pulang agar tak ada lagi fobia. Seperti tutur Oscar Wilde (1854-1900), orang lain harus menjadi sesama. Atau, seperti kata Franz Magnis Suseno, bahwa melihat orang lain juga adalah dilihat orang lain pula. Begitulah kesadaran. Begitulah pulah manusia, apalagi manusia ber-Tuhan.

Satu-satunya fanatisme yang dimiliki oleh orang percaya Tuhan adalah belas kasih dan amal, begitu Paus Fransiskus menasihati. Fanatisme lainnya (seperti benci pada orang lain), lanjut Paus Fransiskus lagi, tidak datang dari Tuhan dan tidak akan menyenangkan hati Tuhan.

Baiklah, pada awal tahun ini, marilah sama-sama pulang ke kedalaman akal budi kita masing-masing. Kalau tak bisa pulang, saya khawatir bahwa Anda sebenarnya bukan manusia yang sejati. Atau memang, jangan-jangan Anda benar-benar bukan manusia? Kuharap semoga kita adalah manusia sejati!

Kolom terkait:

Kaleidoskop Diri: Bertahan Hidup di Dunia Gerlap yang Gelap

Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama

Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.