Senin, Desember 8, 2025

Solusi Gila Google untuk Krisis Energi AI: Membangun Pusat Data di Orbit

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Sebelum kita menyelami kisah yang akan datang, mari kita jeda sejenak untuk merenungkan sebuah misteri mendasar di era digital kita: Di mana sebenarnya harta karun data pribadi Anda berada—termasuk setiap pesan yang Anda kirim, video yang Anda tonton, atau hasil pencarian yang Anda ketikkan?

Secara intuitif, banyak dari kita membayangkan data tersebut mengapung tanpa bobot di ‘awan’ yang luas. Namun, realitasnya jauh lebih membumi, dan secara fisik, jauh lebih kolosal. Data Anda tidak tersimpan di udara, melainkan bersemayam dengan aman di dalam bangunan fisik raksasa yang sesak dengan barisan rak-rak berisi komputer—inilah yang kita sebut pusat data. Mereka adalah jantung yang berdetak kencang di balik dunia digital kita, pusat saraf global yang memungkinkan kehidupan online kita. Setiap kali Anda mengajukan pertanyaan kepada kecerdasan buatan, melakukan streaming film tanpa jeda, atau mengirim pesan teks, mesin-mesin ini langsung bergerak. Tugas mereka adalah menyimpan miliaran byte, memproses triliunan instruksi, dan memindahkan data secara kilat melintasi benua.

Namun, di balik keajaiban konektivitas ini, tersembunyi sebuah beban yang mengejutkan. Fasilitas-fasilitas vital ini adalah monster energi yang haus daya. Untuk mencegah deretan server yang bekerja keras dari overheating, mereka menuntut jutaan liter air untuk sistem pendingin yang terus beroperasi. Dampaknya terhadap planet kita sangat signifikan: pada tahun 2023 saja, pusat data global telah melahap hingga satu setengah persen dari total konsumsi listrik dunia.

Dan kini, ledakan kecerdasan buatan (AI boom) memperparah masalah lingkungan ini hingga ke tingkat yang mengkhawatirkan. Untuk melatih sistem AI yang semakin canggih, diperlukan ribuan chip pemrosesan berdaya tinggi yang harus menyala tanpa henti selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ancaman ini tidak akan surut; bahkan, ia diperkirakan akan memburuk di masa depan. Perkiraan tajam dari Goldman Sachs menyoroti kegentingan ini: permintaan daya listrik dari pusat data AI diperkirakan akan meroket hingga 165% dalam lima tahun ke depan, mencapai puncaknya yang mencengangkan pada tahun 2030.

Lantas, dari mana energi yang sangat besar ini dipasok? Jawabannya suram: sebagian besar masih berasal dari bahan bakar fosil, yang secara inheren mendorong perubahan iklim. Sadar akan jejak karbon yang besar ini, para raksasa teknologi kini sedang dalam perlombaan sengit untuk menemukan jalan keluar yang berkelanjutan. Perusahaan seperti Google, Microsoft, dan Amazon semuanya telah mengalihkan miliaran dolar investasi untuk mengembangkan ladang tenaga surya dan angin demi menenagai jaringan mereka secara langsung. Beberapa perusahaan bahkan mulai menjajaki opsi yang lebih radikal, seperti penggunaan reaktor nuklir skala kecil sebagai sumber daya yang padat dan rendah karbon.

Namun, sumber daya di planet kita memiliki batas yang tak terhindarkan. Kita menghadapi kenyataan pahit bahwa lahan yang tersedia semakin terbatas, pasokan air bersih kian menipis, dan Bumi hanya bisa menopang beban konsumsi energi yang begitu besar. Di bawah tekanan ekologis dan operasional yang ekstrem ini, para raksasa teknologi, dipimpin oleh kebutuhan mendesak untuk menemukan solusi baru, mulai mengalihkan pandangan mereka ke tempat yang tidak terduga: mereka mendongak, secara harfiah, menuju kosmos.

Teknologi terbesar di dunia kini melihat ke luar angkasa sebagai lokasi utama untuk infrastruktur masa depan mereka. Ide revolusioner yang muncul adalah: alih-alih terus memperluas pusat data yang haus sumber daya di daratan kita yang padat, mengapa tidak membangunnya di atas planet kita?

Google, yang dikenal karena ambisi besarnya, telah merumuskan sebuah inisiatif avant-garde yang disebut Project Suncatcher.

Konsep di baliknya sangat elegan dalam kesederhanaannya, namun berani dalam implementasinya: mengirimkan hardware komputasi yang memberi daya pada kecerdasan buatan langsung ke orbit Bumi. Bayangkan, armada satelit-satelit kecil yang membawa komputer-komputer ini, berputar mengelilingi planet kita. Mereka akan terjalin dalam jaringan komunikasi orbital yang mulus, mampu berbagi data dengan kecepatan cahaya—hanya dalam hitungan detik. Dan yang paling penting, mereka akan ditenagai oleh sumber energi yang tak terbatas: Matahari. Inilah cetak biru yang sedang mereka kembangkan.

Mengapa orbit? Alasannya terletak pada fisika angkasa luar. Di atas atmosfer, panel surya bekerja dalam kondisi yang ideal dan tiada duanya. Tidak ada lagi siklus malam yang gelap, tidak ada awan tebal yang menghalangi, tidak ada gejolak cuaca yang mengganggu. Yang ada hanyalah sinar matahari yang konstan dan tak terputus. Kondisi “siang abadi” ini secara teoritis akan memberikan pasokan energi yang cukup untuk mengoperasikan pusat data luar angkasa tersebut tanpa pernah berhenti.

- Advertisement -

Google menyatakan optimisme yang kuat terhadap potensi ini. Mereka memperkirakan bahwa panel surya yang diposisikan di ruang angkasa memiliki kemampuan untuk menghasilkan energi hingga delapan kali lipat dari panel surya yang dipasang di permukaan Bumi. Kekuatan yang melimpah ini dapat mendorong lahirnya generasi baru pusat data yang secara harfiah mengapung di atas atmosfer kita, membebaskan Bumi dari beban energinya yang terus meningkat.

Rencana besar Google untuk mengubah infrastruktur komputasi ini akan segera memasuki fase yang sangat konkret. Mereka telah menjadwalkan peluncuran dua satelit uji coba kecil pada tahun 2027, sebuah leap of faith yang menandai langkah awal dan krusial menuju pembentukan jaringan data sentral yang jauh lebih besar.

Namun, Google jelas tidak sendirian dalam ambisi kosmik ini. Konsep pusat data di orbit (in-orbit data centers) kini telah berevolusi dari sekadar ide fiksi ilmiah menjadi sektor industri yang nyata. Pasar ini tidak hanya terbentuk, tetapi juga menunjukkan proyeksi pertumbuhan yang luar biasa eksplosif. Para analis memperkirakan nilainya akan melonjak menjadi sekitar $1,77 miliar pada tahun 2029 dan kemudian meroket hingga melampaui $39 miliar pada tahun 2035! Proyeksi finansial yang spektakuler inilah yang menjelaskan mengapa para raksasa teknologi global bergerak dengan kecepatan warp di ranah antariksa ini.

Salah satu pemain utama yang bergerak agresif adalah Elon Musk, yang kini secara terang-terangan bertaruh besar pada Starlink sebagai platform infrastruktur komputasi. Melalui SpaceX, Musk telah menyatakan niatnya untuk membangun pusat data orbital terintegrasi yang memanfaatkan kapabilitas jaringan satelit Starlink yang sudah ada.

Selain itu, gelombang baru perusahaan rintisan (startup) yang inovatif juga ikut memanaskan persaingan di perlombaan antariksa data ini. Sebuah perusahaan bernama Star Cloud telah menjalin kerja sama strategis dengan Nvidia untuk misi ambisius mengirimkan chip AI berperforma tinggi langsung ke luar angkasa. Sementara itu, Lumen Orbit berfokus pada pengembangan komputer kecil dan tangguh yang dirancang untuk memiliki kemampuan memproses data secara langsung di orbit, memotong kebutuhan untuk selalu mengirimkannya kembali ke Bumi.

Singkatnya, janji dari komputasi luar angkasa ini sangatlah besar dan revolusioner: ia menawarkan harapan akan energi bersih yang tak terbatas berkat sinar matahari abadi, ruang fisik yang secara virtual tidak terbatas, dan yang paling krusial, potensi untuk secara drastis mengurangi jejak lingkungan yang selama ini membebani sumber daya darat dan air kita.

Meskipun visi surga data orbital ini menjanjikan surga, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa tantangan yang menghadang sama besarnya, bahkan mungkin lebih besar, daripada janji yang ditawarkan. Para insinyur dan perusahaan harus mengatasi tiga kendala raksasa.

Pertama, dilema lingkungan dari roket. Ironisnya, untuk mencapai solusi lingkungan yang lebih bersih, kita harus menciptakan polusi yang signifikan di awal. Setiap peluncuran roket tunggal ke orbit melepaskan ratusan ton karbon dioksida ke atmosfer, yang secara langsung berkontribusi terhadap emisi global dan kekhawatiran lingkungan. Ini adalah dilema “ayam atau telur” yang harus dipecahkan.

Kedua, kekejaman lingkungan antariksa. Peralatan yang beroperasi di luar angkasa harus bertahan dalam kondisi yang jauh lebih ekstrem daripada di Bumi. Satelit data harus menghadapi radiasi kosmik yang parah dan perubahan suhu yang sangat ekstrem—beralih dari beku ke panas membakar dalam hitungan menit. Begitu terjadi kerusakan, perbaikan atau pemeliharaan peralatan di orbit akan menjadi tugas yang sangat sulit, mahal, dan berisiko; tidak ada teknisi yang bisa datang dengan obeng.

Ketiga, ancaman puing-puing antariksa. Setiap komponen baru yang kita kirimkan ke luar angkasa berkontribusi pada masalah yang semakin membesar dari puing-puing antariksa (space debris). Setiap satelit baru meningkatkan risiko tabrakan dahsyat di atas Bumi, yang dapat memicu reaksi berantai yang berpotensi melumpuhkan jaringan orbital kita—sebuah skenario yang dikenal sebagai Kessler Syndrome.

Terlepas dari semua rintangan yang menggentarkan ini, momentum di balik komputasi luar angkasa terus meningkat dengan pesat. Perusahaan-perusahaan tidak hanya bermimpi, mereka telah mengambil langkah-langkah mitigasi yang nyata. Misalnya, Google telah melakukan pengujian yang mengungkapkan bahwa chip AI mereka berhasil bertahan di bawah paparan radiasi tinggi yang ekstrem.

Lebih lanjut, optimisme besar tertumpu pada keyakinan bahwa biaya peluncuran ke luar angkasa akan menurun drastis di masa depan. Saat ini, biaya pengiriman muatan ke orbit masih berada di sekitar $1.500 per kilogram, namun para ahli memperkirakan bahwa inovasi dan persaingan akan mendorong angka itu anjlok menjadi sekitar $200 pada tahun 2035. Penurunan biaya yang luar biasa ini adalah kunci utama yang dapat menjadikan data center antariksa layak secara finansial dan, pada akhirnya, membebaskan planet Bumi dari beban infrastruktur digitalnya.

Maka, kita ditinggalkan dengan pertanyaan yang mendebarkan: Apakah Project Suncatcher dan inisiatif sejenisnya merupakan cetak biru untuk masa depan abadi kecerdasan buatan, atau apakah ini hanya moonshot—mimpi yang terlalu ambisius? Apa pun jawabannya, upaya kolektif ini secara jelas menunjukkan seberapa jauh peradaban kita bersedia melangkah—melampaui batas planet kita sendiri—untuk terus memberi daya pada perkembangan AI yang tak terhentikan.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.