Rabu, April 24, 2024

Sikap India atas Islam, Fathul Mu’in, dan Cermin Kita

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

India adalah salah satu bangsa di dunia yang memiliki kedekatan tertentu dengan umat Islam Indonesia. Kedekatan ini bukan karena kita mengadopsi sebagian musik India ke dalam musik dangdut, bukan juga karena sebagian kita pemuja film Bollywood, namun lebih dari semua itu.

Wilayah yang bernama Gujarat, bagian dari India, adalah daerah dimana Islam di Indonesia berasal. Sebagian sejarawan menempatkan Gujarat sebagai wilayah yang menjadi asal usul dimana Islam dibawa ke Nusantara (Lihat Ibrahim Ahmad, Sharon Siddique, Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, ISEAS: Singapore, 1985).

Tulisan ini akan mengemukakan dua fragmen. Pertama, fragmen hubungan India dan Islam yang mengalami pasang surut dalam sejarah sejak ratusan tahun lalu. Kedua, satu fragmen proses kreatif-keilmuan-keislaman yang sangat dihormati di kalangan umat Islam Indonesia yang berasal dari tanah India.

India dan Islam

Di dalam sejarah dunia, India memang dikenal negara besar dan merupakan peradaban tertua dunia dari belahan Asia Selatan. India bahkan bisa disejajarkan dengan peradaban besar dunia seperti Mesir Kuno, Mesapotamia (Iraq) dan Yunani.

Islam sendiri bukanlah agama yang berasal dari India. Agama orang-orang India, Hindu, konon sudah muncul sejak 1500 SM. Islam baru muncul abad 7 M di tanah Arab. Karena bukan agama asal maka masyarakat Islam di India juga masyarakat migran, berasal dari negara lain.

Islam melakukan agresi ke India dan berhasil melakukan dominasi pada wilayah ini pada abad pertengahan mulai abad 7 M juga. Bagi kalangan Muslim, penaklukan India adalah salah satu keberhasilan umat Islam terbesar dalam sejarah dunia.

Selain keberhasilan membangun peradaban fisik yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan, Islam dianggap sukses menghapuskan kasta yang menjadi tradisi panjang di India. Di mana-mana, keunggulan Islam sebagai agama yang mengajarkan kesetaraan, antara lain menolak kasta, inilah yang menjadi memori keberhasilan Islam di pelbagai kawasan di India (Baca Muzaffar Alam, The Languages of Political Islam: India, 1200-1800, London: C. Hurst & Co, 2004).

Namun bagi orang India sendiri, keberhasilan Islam di atas itu dilihat secara berbeda. Justru, keberhasilan Islam dianggap sebagai memori buruk bagi orang India. Di tambah lagi pemisahan Pakistan dari India pada masa kolonialisme Inggris semakin menambah beban sejarah bagi orang India.

Meskipun itu terjadi sudah lama, namun peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai salah satu sumber konflik antara umat Islam dan Hindu di negara ini. Terlebih, meskipun pernah beraja, pada akhirnya, Islam dianggap sebagai pihak yang kalah di India.

Sampai saat sekarang, kekerasan atas umat Islam banyak terjadi di India terutama di kawasan-kawasan Bihar, Jammu, Calcutta, Gujarat dan lain sebagainya. Kekerasan-kekerasan yang terjadi tersebut oleh banyak kalangan India sendiri dianggap sebagai kekerasan sektarian dan gejala Islamophobia. Bahkan, banyak orang Hindu India yang juga menjadi korban.

Fathul Mu’in

Pada sisi yang lain, tidak hanya karena sejarah kedatangan Islam melalui Gujarat, bagi kalangan santri, India adalah sangat dekat. Banyak kalangan yang tidak tahu, bahkan santri itu sendiri, bahwa pemikiran kosmologi keislaman pesantren, salah satunya banyak dibentuk oleh karya ulama klasik yang berasal dari India.

Di kalangan pesantren, ada sebuah kitab fikih yang begitu fenomenal keberadaannya, karena kitab ini dibaca oleh hampir seluruh santri yang benar-benar santri. Kitab ini berjudul Fat’hul Mu’in yang merupakan penjelasan dari kitab Qurratul Ayn.

Fathul Mu’in ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa di kalangan santri tradisional karena ini merupakan kitab penanda kompetensi santri dalam penguasaan pembacaan Arab gundul.

Kitab itu menjadi standar kompetensi karena tingkat kecanggihan dan kerumitan redaksi bahasanya. Untuk membaca kitab ini sendiri, tanpa I’anatut Thalibin Khasiyat Fat’ul Mu’in karangan Abu Bakar Syatta (ulama Mesir) adalah hal yang sulit. Sebenarnya, selain I’anutut Thalibin, kitab penjelas Fathul Mu’in lainya adalah Tarsyihul mustafidin, karya Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf (w. 1916).

Pendek kata, santri yang belum bisa menguasai kitab ini kompetensi bahasa Arab mereka dianggap kurang advance (maju). Fathul Mu’in yang merupakan karangan ulama India ini memang merupakan kebanggaan tersendiri bagi kaum santri.

Pengarang kitab Fathul Mu’in ini adalah Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Malabar, w. 1567). Sebenarnya, Kitab Qurratul Ayn (matan dari Fathul Mu’in) adalah karya al-Malibari sendiri. Al-Malibari ini lahir di daerah sekitar negara bagian Kerala, India. Dia belajar agama dengan orang tua dan pamannya lalu pergi ke Mekkah selama sepuluh tahun.

Dalam catatan sejarah, di Mekkah inilah al-Malibari ini pernah belajar kepada Syihabuddin Ibn Hajar al-Haytami, mufti tanah Haramayn saat itu. Ibn Hajar al-Haytami juga pernah berkunjung sebentar ke Kerala untuk menjenguk muridnya ini. Setelah belajar di Mekkah, al-Malibari balik ke Kerala dan menjadi mufti selama 36 tahun di masjid Ponnani.

Kitab-kitab lain yang beken di kalangan pesantren dari ulama asal India ini antara lain adalah Irsyadul Ibad ila Syabilir Rasyad.

Sebagian besar proses kreatif al-Malibari dalam mewujudkan karya-karya monumentalnya dilakukan di tanah kelahirannya. Meskipun dia hidup pada masa puncak rezim Islam di India, namun di sini, unsur lokal turut serta menjadi kesadaran pengetahuannya dalam menulis karya-karyanya.

Cermin Kita

Pertama-tama, kita harus mengutuk rezim Narendra Modi yang mempersekusi minoritas Muslim di India. Namun, konflik sektarian India sebenarnya juga bagus buat kita sebagai umat Islam mayoritas untuk bercermin. Bahkan sebagai mayoritas, umat Islam Indonesia tidak hanya menjadi ancaman bagi kalangan mayoritas non-Islam, namun juga bagi kalangan minoritas-Islam sendiri seperti pada Syiah dan Ahmadiyah sebagaimana yang selama ini telah dilakukan oleh kaum takfiri dan ekstremis.

Karenanya, saya tidak sependapat dengan usulan beberapa kalangan agar perlakuan rezim Narendra Modi atas masyarakat Muslim kini harus dibalas secara setimpal bahkan lebih berat lagi. Jika jalur ini yang ditempuh, maka kita malah akan meniru perilaku buruk Narendra Modi. Kita tidak mau dicap seperti Narendra Modi namun melakukan hal yang sama atau dalam bahasa ilmu psikologis disebut dengan istilah violence mimicry.

Pertanyaan bagi kita semua, apakah kita mau meniru mayoritas India yang demikian? Justru letak persoalan yang membedakan perlakuan rezim Narendra Modi dan umat Islam di Indonesia di sini.

Sebagai mayoritas, Islam Indonesia bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh rezim Modi saat ini, namun hal itu janganlah sampai dilakukan. Meskipun Modi terpilih secara demokratis dan mayoritas, namun dia tidak menjalankan rezimnya secara toleran.

Dari dua fragmen di atas, India memang cermin bagi kita umat Islam. Cermin untuk berkaca agar kita sebagai mayoritas yang sehat tidak melakukan hal yang sama apalagi meniru dari India. Lalu apakah kita dipandang lemah? Justru kekuatan Islam Indonesia adalah jika kita mampu menahan diri untuk tidak meniru India saat ini.

Sebagai catatan, betapapun buruk gambar India modern atas perlakuan umat Islam, namun India pada masanya pernah melahirkan Fathul Mu’in yang sampai saat ini menjadi bacaan yang bermutu di kalangan santri Indonesia.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.