Pada 25 September 1971, ketika majalah Tempo baru terbit pada tahun pertama, dan usia rezim Soeharto masih seumur jagung, jurnalis dan sastrawan muda Goenawan Mohamad (GM) dalam artikelnya berjudul “Dari Kisah ‘The Mafia Berkeley’” memberikan pembelaan terhadap para teknokrat Orde Baru yang digugat oleh David Ransom dalam karyanya “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre” sebagai aktor-aktor yang bersama dengan para jenderal bertanggung jawab atas jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno dan kembalinya Indonesia ke dalam pelukan imperialisme.
Dengan semangat GM muda menyatakan, ulasan Ransom atas terbangunnya aliansi tentara dan teknokrat untuk menjatuhkan Soekarno itu tak lebih dari cerita takhayul yang ditulis secara semena-mena. Di dalam artikel itu, jejak kebencian GM terhadap wacana kiri jelas terbaca. Tidak saja terhadap David Ransom sebagai pihak yang tengah ia antisipasi dalam gugatannya atas kalangan teknokrat Orde Baru, bahkan kepada para akademisi lain seperti Wertheim yang tengah solider dengan pembantaian terhadap kaum miskin rakyat Indonesia, GM juga mempertanyakan sikap kemanusiaan dalam komitmen tulisan-tulisannya.
Dalam teks ini kita tidak menemukan wajah humanisme universal dan pembelaan terhadap hak asasi manusia seperti yang biasa kita dengar dalam tulisan dan komentarnya. Yang kita temukan adalah pembelaan khas suara populisme kanan yang menggunakan slogan rakyat dan masyarakat untuk membela tampilnya kekuatan kelas dominan baru yang berkuasa dengan menghancurkan basis politik dan perlawanan akar rumput di atas puing-puing runtuhnya cita-cita sosialisme Indonesia, cita-cita yang dikumandangkan semenjak Proklamasi 1945.
Untuk memberikan penilaian yang seksama tentang sejarah Indonesia Orde Baru, kita akan masuk dalam perdebatan akademik terkait kepentingan politik global, struktur ekonomi-politik Indonesia, dan pembangunan Indonesia yang berlangsung kala itu. Yang saya ingin bahas di sini adalah problem keberulangan sejarah.
Hampir 45 tahun setelah munculnya artikel GM yang membela “Mafia Berkeley”, pada 12 April 2016 jam 1.10 pm, GM berkicau di akun Twitter-nya, “Siapakah yang sebenarnya sah mewakili orang miskin? Tidak mungkinkah mereka sendiri yang berbicara? Can’t the subaltern speak?”
Mungkin ada yang berdalih, bukankah the author is already dead, meminjam istilah teoritisi Roland Barthes yang menjelaskan bahwa kita harus memisahkan antara teks dan penulis, untuk membebaskan teks dari tafsir tiranik penulis agar dapat dimaknai secara lebih terbuka.
Kalau demikian, saya bertanya-tanya bagaimana GM kini merespons tulisan lamanya itu, ketika ia sedang membela kaum teknokrat. Siapakah yang sebenarnya sah mewakili kaum teknokrat? Tidak mungkinkah mereka sendiri yang berbicara? Can’t the technocrat speak?
Ada perbedaan dan persamaan antara dua pernyataan sikap yang ditulis GM dalam jarak waktu hampir 45 tahun itu. Perbedaannya adalah pada karya pertamanya, GM muda sedang mewakili kaum teknokrat dari kecaman serius tentang keterlibatan mereka bersama militer dalam aliansi politik yang menjatuhkan rezim Soekarno, dengan menggunakan pula propaganda hegemoni kultural yang tengah dipakai Orde Baru dalam masa awalnya.
Patut diketahui, tentang Mafia Berkeley, GM menstereotype pemuda berambut gondrong sebagai sosok revolusioner, sebuah narasi yang pada awal era Soeharto sengaja ditanamkan sebagai strategi pendisiplinan mahasiswa, kampus, dan orang muda (Aria Wiratma Yudhistira, 2010). Hal ini terjadi ketika Orde Baru baru lahir.
Sementara pada kicauan terbarunya di Twitter GM sedang mempertanyakan pihak-pihak yang ia anggap ingin mewakili orang miskin, sambil mempertanyakan apakah tidak mungkin orang miskin sendiri yang berbicara?
Pernyataan tersebut ditulisnya ketika banyak pihak mulai peduli terhadap berbagai persoalan kemiskinan dan implikasi sosial ekologis dari praktek-praktek penggusuran dan reklamasi pantai yang tengah berlangsung di Jakarta. Sementara itu, persamaannya adalah baik artikel yang ditulis di Catatan Pinggirnya berpuluh tahun lampau maupun kicauan Twitter-nya hadir dalam karakter kekuasaan teknokratik tengah menghadapi gugatan-gugatan kritisnya.
Pada saat GM membela kaum teknokrat di hadapan gugatan David Ransom pada 1971, kala itu para ekonom teknokrat tengah mengintrodusir gagasan-gagasannya di dalam pemerintahan rezim Soeharto, agar desain platform ekonomi pasar dijalankan dan mendapatkan perlindungan dari rezim otoritarian. Secara ekonomi-politik, upaya membangun desain teknokratik ekonomi pasar membutuhkan suasana ketenangan politik di bawah kendali kekuasaan koersif untuk merealisasikan tujuan utamanya.
Dalam konstruksi kekuasaan pada awal rezime Orde Baru, tulisan dalam Catatan Pinggir tahun 1971 GM muda yang mewakili aspirasi kaum teknokrat berperan menisbikan setiap kritik dan kecurigaan atas karakter kepentingan dan kuasa politik dominan. Kepentingan dan kuasa yang beroperasi di balik paradigma teknokratik ekonomi yang pada fase awal Orde Baru tengah berbulan madu dengan kekuasaan militeristik.
Yang absen dalam teks tersebut adalah politik tangan besi dan perburuan terhadap elemen-elemen kekuatan akar rumput yang berlangsung pada era awal Orde Baru di tengah antusiasme awal membangun ekonomi pasar. Teks Catatan Pinggir GM pada era 1971 memperlihatkan secara gamblang betapa kekuatan militer sebagai aparat negara koersif menghancurkan kekuatan politik kaum miskin di Indonesia dengan pembantaian dan penjara. Sementara artikel Catatan Pinggir dari GM berperan sebagai instrumen ideologis yang menggempur setiap gugatan intelektual yang mencoba menguak praktik kebiadaban tersebut.
Teknokratik Masa Kini
Konteks ekonomi-politik dari kicauan GM kali ini berbeda. Rezim demokrasi yang diharapkan memberi prakondisi terbaik bagi bergulirnya ekonomi pasar dan realisasi politik liberal ternyata melahirkan sebuah perkawinan yang janggal. Ekonomi terbuka yang terpisah dari proses pelembagaan demokrasi tidak tumbuh. Yang terjadi kemudian, proses implementasi pasar bebas bertemu dengan aliansi bisnis-politik warisan era Orde Baru masih menggantungkan otoritas dan akses kepada kelembagaan negara bagi perburuan di antara kekuatan-kekuatan sosial yang saling bertarung.
Skema kekuasaan teknokratik predatoris yang didorong oleh kepentingan bisnis seperti dalam kasus kebijakan reklamasi pantai Jakarta menghadapi gugatan dari suara-suara politik rakyat miskin. Narasi GM dalam kicauan akun Twitter maupun Catatan Pinggirnya berjudul Subaltern, yang menyitir Gayatri Chakravorty Spivak (2010) dalam Can the Subaltern Speak, berusaha mempertanyakan keabsahan pembela orang miskin. Sebuah pernyataan yang dalam ujaran Spivak dimaksudkan memproblematisir model-model pengetahuan kaum akademisi yang merepresentasikan kaum marjinal, namun kerap terjebak dalam narasi kekuasaan eurosentris maupun patriarkis di India.
Gagasan Spivak bukanlah sebuah narasi yang mempertanyakan politik solidaritas lintas kelompok yang tengah tumbuh menghadapi implikasi sosial dari sebuah kebijakan teknokratik yang rentan praktik kolusi kekuasaan.
Kedua pernyataan sikap yang ditulis GM di atas menampilkan persoalan yang jarang terelaborasi secara jernih. Persoalannya adalah kita kerapkali tidak sensitif melihat bagaimana suara intelektual seringkali dengan gamblang menjadi pembela bagi kekuaasaan, namun terburu-buru mencurigai dan mempertanyakan keabsahan berbagai pembelaan terhadap mereka yang miskin.
Bukankah pihak yang terakhir sudah seharusnya membutuhkan solidaritas karena keterbatasan akses mereka terhadap media, modal, dan kekuasaan.