Kata “ulil amri” kerap dikaitkan dengan kepemimpinan tokoh agama atau ulama. Menjelang pelantikan pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, judul kolom seperti ini mudah dihubungkan dengan situasi politik mutakhir. Itu salah karena kolom ini semata menjelaskan terma “ulil amri” yang muncul dua kali dalam Qur’an (Q 4:59 dan 83).
Ayat pertama tertulis: “Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di kalangan kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Hal itu paling utama dan baik akibatnya.”
Ketertarikan saya pada ayat ulil amri ini bermula setelah menulis buku Polemik Kitab Suci (Scriptural Polemics). Buku itu mendiskusikan polemik Qur’an terhadap penganut agama di luar Islam. Setelah menulis buku tersebut, saya berpikir hendak menulis polemik internal di kalangan Muslim sendiri, dan tak ada tema yang mewakili polemik internal, terutama antara Sunni dan Syi’ah, lebih menonjol dari penafsiran ayat-ayat kekuasaan/otoritas/kepemimpinan.
Maka, saya mengidentifikasi ayat-ayat kekuasaan tersebut untuk proyek penulisan buku teologi politik dalam Qur’an. Sayangnya, proyek buku itu terbengkalai karena saya tergoda pada kesarjanaan revisionis. Namun, setelah naskah buku yang mendialogkan Islam revisionis dan tradisionalis diserahkan ke penerbit beberapa bulan lalu, saya membuka kembali catatan tentang teologi politik Qur’an.
Salah satu bab dalam rancangan buku teologi politik Qur’an ialah pembahasan siapa ulil amri yang dimaksud dalam ayat di atas. Sebenarnya draf kasar bab ini sudah selesai. Saya membagi dua tulisan.
Pertama, fokus ke tafsir Sunni dan Syi’ah periode awal, yakni 600 tahun pertama sejarah Islam, meliputi periode Khulafa Rasyidun, Umayyah, dan Abbasiyah. Dari tradisi Sunni, saya bahas tafsir Mujahid (w. 104) hingga Ibn Jauzi (w. 597), dan dalam Syi’ah dari Qummi (w. 307) hingga Tabrisi (w. 548).
Tulisan kedua mendiskusikan tafsir Abad Pertengahan hingga modern. Yakni, dimulai dari tafsir Ibn Katsir (w. 774/1373) hingga mufasir modern seperti Rasyid Rida (w. 1935) dan Tabataba’i (w. 1981). Kenapa dimulai dari Ibn Katsir, karena dia mewakili puncak ortodoksi dalam tradisi tafsir. Kolom ini merupakan ringkasan dari tulisan pertama dalam bab tentang ulil amri tersebut.
Ayat Ulil Amri dalam Konstelasi Hukum dan Politik
Mungkin tak banyak orang menyadari betapa pentingnya ayat ulil amri dalam diskursus hukum dan politik Islam. Saya menjadi sadar sentralitas ayat tersebut setelah membaca karya besar Ibn Hazm (w. 456) berjudul al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Ibn Hazm menulis begini:
“Saya teliti ayat tersebut dan mendapatkannya komprehensif menyangkut setiap yang dibicarakan orang dari awal hingga akhir, apa yang mereka sepakati dan perselisihkan, dari aspek hukum hingga ibadah” (jilid 1, halaman 9).
Kesan pertama saya, wow, betulkah? Lebih jauh, Ibn Hazm mengatakan kitab masterpiece-nya itu sengaja ditulis untuk menjelaskan kandungan ayat tersebut. Walaupun definisi ulil amri tidak ditemukan dalam buku yang terbit dalam 8 jilid itu, ada diskusi panjang lebar tentang para fuqaha (ahli fikih) dan ijtihad mereka. Barangkali Ibn Hazm memaknai ulil amri sebagai fuqaha dan ulama.
Kenyataannya, buku-buku fikih memang menjadikan ayat ulil amri (Q 4:59) sebagai dalil dalam hampir semua masalah prinsipil. Soal kehujjahan Qur’an dan hadits, misalnya, mereka berdalih dengan “Taatilah Allah dan taatilah Rasul” dalam arti taati Qur’an dan taati hadits. Karena, kata “taati” disebutkan sebelum Allah dan Rasul, sebagian fuqaha berargumen hadits bisa menetapkan hukum terpisah dari Qur’an.
Demikian juga soal sumber-sumber hukum lain, seperti ijma’ (konsensus), qiyas (analogi) atau ijtihad secara umum, para fuqaha merujuk ke ayat ulil amri itu. Tentu, dengan perspektif deduktif yang disebut istidlal. Bahkan, dalam membolehkan taqlid (mengikuti pendapat orang lain), ayat itu dikutip sebagai dalil.
Dalam teori politik Islam, ayat ulil amri itu juga ditempatkan sangat penting. Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, salah satu buku teori politik Islam paling awal, Mawardi mengutip ayat tersebut untuk menegaskan keharusan adanya pemimpin.
Pandangan Mawardi ini diamini oleh generasi ulama berikutnya yang menulis buku politik Islam, seperti Ghazali, Ibn Khaldun atau Ibn Taimiyah. Terlebih di kalangan Syi’ah, sentralitas ayat ulil amri bagi konsep imamah (kepemimpinan) ahlul bait begitu jelas.
Segera tampak bahwa makna ulil amri dalam literatur fikih dan politik syariah (siyasah syar’iyah) cukup stabil. Yakni, ulil amri adalah fuqaha/ulama (dalam diskursus fikih) dan penguasa/pemimpin politik (dalam teori politik). Dalam karya tafsirlah negosiasi otoritas ulil amri antara dimensi agama dan kekuasaan duniawi terus berlangsung.
Ulil Amri dalam Tafsir Sunni dan Syi’ah Awal
Sungguh menarik (dan nikmat!) menelusuri perkembangan makna ulil amri dalam karya tafsir. Sejak awal para mufasir sudah mengajukan makna berbeda. Mujahid mengidentifikasi ulil amri sebagai “mereka yang memiliki pemahaman dalam agama dan akal.” Dhahhak (w. 105) menyebut “Sahabat Nabi.” Dua tafsir ini mewakili model awal tafsir, yang biasanya disebut “paraphrastic exegesis.”
Tafsir Hasan Basri (w. 110) lebih kompleks. Sebab, ia memaknai ulil amri sebagai ulama, tapi mengaitkan ayat itu dengan pengangkatan Hakam bin Amru sebagai komandan perang. Penyebutan konteks historis (asbab nuzul) ayat ulil amri dimunculkan oleh Suddi (w. 122) dan Muqatil (w. 150), yakni pengiriman ekspedisi perang zaman Nabi yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang ditemani oleh Ammar bin Yasir.
Ringkas cerita: Ammar memberi amnesti kepada seseorang dalam penyerbuan itu, tanpa sepengetahuan Khalid. Mereka bersetegang dan melaporkan kepada Nabi. Disebutkan, Nabi mengabulkan amnesti Ammar, tapi memperingatkan kelak jangan berikan amnesti kecuali atas perintah pimpinan.
Tafsir Suddi dan Muqatil yang menyertakan asbab nuzul ini biasanya dikategorikan “narrative exegesis.” Tafsir abad ketiga seperti Ibn Qutaibah (w. 276), Abu Ubaidah (w. 210) atau Farra’ (w. 207) menekankan aspek linguistik.
Baru pada abad keempat dan kelima produksi makna mengalami proliferasi, seperti dapat dibaca dalam tafsir Tabari (w. 310) dan Tsa’labi (w. 427). Tabari menyebut empat pendapat lengkap dengan siapa dari generasi terdahulu yang mengatakannya. Yakni, ulil amr adalah komandan perang atau ulama atau Sahabat Nabi atau khusus Abu Bakar dan Umar.
Tidak munculnya nama Usman dan Ali dalam riwayat yang disitir Tabari menarik perhatian Tsa’labi. Mufasir ini memulai tafsirnya dengan menyuguhkan argumen yang melatari penyebutan Abu Bakar dan Umar secara khusus. Tapi, dia juga menegaskan adanya riwayat lain yang memperluas cakupan ulil amri mencakup semua sahabat dari muhajirun dan anshar, lengkap dengan dalil dari Qur’an.
Keragaman makna ulil amri mulai disistematisasikan pada akhir abad kelima dan keenam, seperti dilakukan oleh Mawardi dan Ibn Jauzi. Kedua mufasir ini memberikan perhatian khusus pada pemaknaan ulil amri sebagai khulafa rasyidun, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Bukan tidak mungkin penegasan ini mengandung polemik secara implisit terhadap kelompok lain, terutama Syi’ah, yang tidak menerima kepemimpinan selain Ali.
Dalam tafsir Syi’ah, dinamika identitas ulil amri juga terlihat jelas. Walaupun kerap diasumsikan bahwa yang berhak menafsirkan Qur’an hanya para imam, kenyataannya tafsir Syi’ah memperlihatkan keragaman, minimal, karena dua sebab. Pertama, para mufasir merujuk pada imam berbeda atau, kedua, pendapat berbeda diatribusikan pada satu imam.
Sayang sekali, tafsir generasi awal Syi’ah tidak dapat dilacak alias hilang. Tafsir paling awal yang bisa kita rujuk ialah Qummi, yang menafsirkan ulil amri sebagai amirul mukminin (pemimpin kaum beriman). Qummi tidak menjelaskan siapa amirul mukminin, mungkin karena pembacanya sudah pasti memahaminya sebagai Ali bin Abi Thalib.
Dua mufasir terkemuka abad keempat ialah Furat (w. 310) dan Ayyasyi (w. 320). Tafsir Furat menekankan keterkaitan ayat tersebut dengan Ali dengan sumber utama, yakni Ja’far bin Muhammad, dikenal sebagai Ja’far al-Shadiq. Diriwayatkan, imam keenam ini berkata: “Taat kepada Ali berarti taat kepada Rasul.”
Furat mengutip banyak hadits tentang keutamaan Ali. Dalam tafsir Ayyasyi, perhatiannya lebih untuk memperluas ulil amri meliputi para imam dari Ali hingga Ja’far. Bisa dipahami kenapa Ayyasyi tidak menyebut seluruh imam Syi’ah karena ia menulis tafsirnya sebelum peristiwa “ghaybah kubra”, keghaiban imam keduabelas pada 329/941.
Dari tafsir Ayyasyi ini kita sudah bisa deteksi argumen polemik terhadap mereka yang menolak imamah Ali dan keturunannya. Misalnya, dia mengutip pernyataan Abu Abdullah: “Demi Allah, tidak ada kebaikan bagi mereka yang menentang kami.”
Aspek polemik tafsir Syi’ah lebih kentara lagi terlihat dalam karya Mufid (w. 413) dan muridnya, Syarif Mustadha (w. 436). Keduanya menekankan kepemimpinan sekaligus kemaksuman Ali dan para imam berikutnya. Memang, teori kemaksuman para imam sudah muncul sebelumnya, namun penekanan aspek kemaksuman pada masa itu kerap dibarengi dengan argumen polemik terhadap para penolaknya, yang biasanya disebut mukhalifun. Ketika reaksi (baca: polemik) keluar begitu kuat, maka tafsir ulil amri dalam Syi’ah tampak begitu eksklusif.
Pada pertengahan abad kelima dan keenam, intonasi polemik ini berkurang secara signifikan seiring dengan penggunaan sumber-sumber Sunni dalam tafsir Syi’ah. Karya Tusi (w. 460) dan Tabrisi adalah contoh bagus di mana keduanya mengutip pendapat kalangan Sunni dalam memaknai ulil amri. Memang, kedua mufasir ini tetap menguatkan pamahaman ulil amri sebagai para imam Syi’ah, namun pandangan tafsir Sunni juga disuguhkan.
Dua pelajaran penting. Pertama, identitas ulil amri dalam tradisi tafsir itu cukup dinamis, berbeda dari satu mufasir ke mufasir lain, berkembang dan bahkan mengalami pergeseran karena konteks berbeda. Kedua, trajektori tafsir Sunni dan Syi’ah tampaknya berbeda. Sementara tafsir Sunni cenderung bergelut secara internal, tafsir Syi’ah berpolemik secara eksternal.
Jika Anda berminat menyelami lebih detail siapa ulil amri sebagai pemegang otoritas dengan berbagai nuansanya, sebaiknya bersabar menunggu saya selesai menulis buku teologi politik Qur’an ini. Doakan saya tidak tergoda menggarap tema lain lagi.
Bacaan terkait
Memaknai Kekalahan Politik dalam Lintasan Sejarah Islam
Khalifah Sentris atau Ummah Sentris?
Memahami Hadits Khilafah dan Imam Mahdi dalam Perspektif Lintas Disiplin