Kisah tentang ratusan orang Indonesia di Suriah menimbulkan rasa duka sekaligus dilema bagi publik dalam menyikapi masalah ini; dilema antara memilih aspek kemanusiaan atau keamanan. Di antara mereka ada anak-anak, perempuan atau janda yang ditinggalkan suaminya yang dulu bergabung dengan militan Negara Islam Irak dan Syria (ISIS).
ISIS telah dikalahkan pada Maret lalu oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), dan saat ini keluarga ISIS asal Indonesia tersebut ditampung di selter pengungsian milik lembaga kemanusiaan internasional di Al Hawl, Suriah. Sementara itu, kaum laki-lakinya ditahan di penjara. Tidak ada angka pasti berapa jumlah mereka, Majalah Tempo baru-baru ini melaporkan—dari pengakuan salah satu perempuan ISIS penghuni kamp saat wawancara—bahwa ada sekitar 200 orang Indonesia di kamp Hawl. Bila angka tersebut valid, artinya itu masih belum termasuk jumlah laki-laki yang ada di penjara SDF.
SDF saat ini merupakan penguasa de facto di Suriah utara. Sebagai “aktor non-negara” dalam konflik Suriah, sebenarnya Pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki akses langsung dengan SDF, bahkan banyak pihak melabelinya sebagai kelompok pemberontak atau separatis Kurdi.
Pihak SDF jauh hari telah memohon kepada dunia internasional agar negara-negara asal keluarga ISIS memulangkannya. Seorang keluarga teroris asal Indonesia yang diwawancarai Tempo itu pun berharap kemungkinan dirinya bisa kembali ke tanah air.
Sekarang keputusan ada di tangan pemerintah. Kabar terkini tersiar ada sinyal bahwa Pemerintah RI akan membantu kepulangan keluarga ISIS tersebut. Dan langkah ini rupanya juga mendapat dukungan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), Komnas HAM, dan ormas Islam.
Terus terang saya punya pandangan berbeda, pemerintah lebih baik mengabaikan permintaan mereka pulang ke Indonesia. Mereka telah membuat keputusan secara sadar untuk melakukan perjalanan ke sana dan bergabung dengan teroris. Apalagi semua kaum laki-laki yang sedang ditahan di penjara adalah para kombatan, biarlah otoritas penegak hukum setempat mengadili mereka menurut hukum yang berlaku di sana.
ISIS mungkin telah kehilangan negara khilafah, namun belum tentu kehilangan kesetiaan. Siapa pun yang menyaksikan tayangan video di media nasional maupun internasional yang mewawancarai keluarga ISIS tahu dan bisa menilai bahwa sama sekali tidak ada penyesalan atau rasa bersalah, mereka hanya mengasihani diri mereka sendiri, apalagi kalau bukan karena situasi mereka saat ini di penampungan.
Jadi, untuk apa repot-repot membantu kepulangannya, mereka ini bukan returnis, orang-orang yang membelot dari ISIS yang kabur lalu menyerahkan diri, meminta pertolongan—seperti kasus-kasus sebelumnya yang pernah ditangani pemerintah—di mana saat itu ISIS masih berkuasa di kota-kota Suriah dan Irak. Kejadian kali ini sama sekali berbeda.
Mereka ini bukan pula deportan, yakni orang-orang yang belum sempat merasakan hidup bersama ISIS di Suriah, tak punya pengalaman jadi kombatan, karena keburu tertangkap di tengah perjalanan, lantas dideportasi kembali ke Indonesia.
Tapi, mereka ini adalah orang-orang yang telah hidup bersama teroris selama bertahun-tahun. Selama berkuasa ISIS menanamkan keyakinan ketat yang disebutnya syariah, menggambarkan syariah yang ketat merupakan satu-satunya cara memerintah masyarakat untuk menghilangkan penindasan yang sesuai perintah Tuhan. Orang-orang Indonesia yang bergabung ISIS meyakini sedang berjuang untuk ini.
Jadi, mereka ini bukan orang yang main-main ke Suriah. Demi pergi ke sana mereka telah menjual aset harta, melakukan ikrar setia mengkhianati ideologi bangsa, dan memang sudah berniat bertempur di Suriah yang tingkat kekerasannya tinggi.
Maka, apabila pemerintah, misalnya, masih mau mengindentifikasi atau memverifikasi apakah mereka terlibat teroris atau tidak, itu konyol namanya. Di mata saya, mereka bukan sekadar “Alumni Suriah”, tapi lebih tepatnya “Alumni Teroris”.
Terlebih lagi orang-orang ini sebenarnya dalam kondisi marah, setelah proyek negara khilafah impiannya di sana sirna. Namun, andaikata di antara mereka sekarang berubah pikiran, saya ingin bilang, siapa suruh gabung ISIS?