Di pengujung Mei 2015, tepat satu tahun lalu, mata dunia tertuju pada sebuah kota bernama Palmyra di Suriah. Perang berkecamuk di pinggiran sebuah kota yang dikelilingi gurun pasir antara tentara Suriah dan ISIS yang bernafsu mencaplok kota itu. Masyarakat internasional sebelumnya sudah khawatir dengan pergerakan militan Negara Islam (ISIS) yang terus mendekati kota Palmyra.
Kota Palmyra terletak kira-kira 200 kilometer sebelah timur Damaskus. Palmyra merupakan kota kuno bersejarah ribuan tahun sebagaimana disebut dalam situs resmi UNESCO. Menurut para sejarawan, reruntuhan bangunan di kota Palmyra berasal dari abad pertama dan kedua Masehi. Peradaban kuno terlihat dari campuran gaya arsitektur di antara kuil dan pilar-pilarnya. Keindahan kota ini dipuji sebagai “pengantin padang pasir”.
Semua mencemaskan nasib Palmyra seandainya nanti benar-benar jatuh ke tangan ISIS. Kecemasan itu cukup beralasan. Sebab, ISIS ketika itu belum lama melakukan penghancurkan peninggalan bersejarah kota kuno Nimrud di Irak yang membuat syok siapa pun yang menonton rekaman videonya. Bagi saya, ancaman penghancuran Palmyra tidak hanya berarti kehilangan bagi Suriah, tapi seluruh dunia.
Apa yang dikhawatirkan masyarakat dunia menjadi kenyataan. ISIS berhasil merebut kota Palmyra setelah tentara Suriah kewalahan menghadapi gempuran ISIS dan menarik mundur pasukannya. Satu hari sebelum ISIS memasuki Palmyra banyak penduduk memilih mengungsi menyelamatkan diri ke kota Homs, sebagian lain memilih bertahan karena tidak punya pilihan.
Palmyra berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Kota Pohon Palem”. Orang-orang Suriah menyebutnya kota Tadmur, berasal dari bahasa Aram yang artinya “Kota yang tidak tunduk”.
Kota Tadmur sendiri dulu terletak di antara dua daerah kekuasaan besar, yaitu daerah kekuasaan Persia (Dinasti Sassanid) yang berada di sebelah timur, dan daerah kekuasaan Kerajaan Romawi yang terletak di sebelah barat. Pada saat itu pula Kerajaan Persia menguasai Irak, dan Kerajaan Romawi menguasai Syam (Suriah Raya). Kerajaan Persia dan Romawi merupakan dua kerajaan raksasa yang saling bermusuhan saat itu.
Singkat kata, Tadmur akhirnya tunduk di bawah Kerajaan Romawi pada permulaan abad ke-1 Masehi. Namun, orang-orang Tadmur tetap memiliki kebebasan dalam urusan dalam negeri. Kaisar Valerian mengangkat Udzainah (Odaenathus) sebagai konsul Roma di Tadmur.
Dalam sejarah Suriah, kota kuno Palmyra menyimpan kisah sosok ratu yang masyhur bernama Zenobia. Zenobia tak lain adalah istri Udzainah. Dia tak hanya dikenal sebagai seorang ratu dengan kecerdasannya yang menonjol pada masa itu, tapi juga sikap politiknya yang ingin memerdekakan Tadmur dari Kekaisaran Romawi dan mendirikan kerajaan sendiri bernama Kerajaan Palmyra. Hingga akhirnya diserang oleh bala tentara Romawi di bawah komando Kaisar Aurelianus.
Bagi orang-orang Suriah, Palmyra tak bisa dipisahkan dari sejarah Ratu Zenobia. Pemerintah Suriah bahkan mengabadikan wajah Ratu Zenobia dalam uang kertas Suriah.
ISIS memasuki Palmyra pada Mei 2015. Kemudian pada Juli 2015, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, ISIS membuat pertunjukan mengerikan di Palmyra: menggunakan panggung teater peninggalan Roma di Palmyra sebagai tempat eksekusi massal.
Pada Agustus 2015 ISIS kembali membuat dunia naik pitam karena ulahnya meledakkan sebuah bangunan kuil kuno di Palmyra. ISIS juga memenggal seorang arkeolog bernama Khaled al-Assad yang mengabdikan hidupnya demi melindungi Palmyra. Kerusakan demi kerusakan terus mengancam keberadaan Palmyra di bawah ISIS.
Dua bulan lalu, Maret 2016, akhirnya ISIS berhasil diusir dari Palmyra setelah digempur pasukan darat Suriah dibantu angkatan udara Rusia. ISIS menderita kekalahan, meski telah mengobral bom bunuh diri dan menanam ribuan ranjau di jalan-jalan Palmyra.
Tidak seperti kota-kota lain, hingga tulisan ini dibuat, ISIS dikabarkan masih melancarkan serangan di pinggiran kota Palmyra. Letak kota ini memang strategis sehingga wajar ISIS ingin kembali merebut kota ini. Apalagi ISIS memang dikenal memiliki reputasi sebagai militan yang tak hanya hobi menjajah daerah yang kaya ladang minyak, tapi juga daerah yang menyimpan warisan purbakala seperti Palmyra.
Di balik propagandanya yang mempertontonkan penghancuran benda purbakala dengan alasan memusnahkan berhala, sesungguhnya ISIS memperoleh keuntungan finansial dari benda-benda yang mereka katakan berhala itu. “Penghancuran berhala” hanyalah kamuflase menutupi praktik perdagangan benda-benda antik yang ISIS lakukan. ISIS telah melakukan kejahatan demi menutupi kejahatan yang lain.
Mei setahun yang lalu, peristiwa jatuhnya kota Palmyra atau Tadmur ke tangan ISIS mungkin akan dikenang sepanjang masa sebagai peristiwa pahit yang terjadi di era negara modern. Akan tetapi perlu dicatat juga bahwa keberhasilan kota ini melawan penjajahan ISIS, sekali lagi membuktikan bahwa kota ini sesuai dengan nama yang diberikan, yaitu kota Tadmur: “Kota yang tidak tunduk”.