Untuk memberikan pendidikan karakter yang memadai kepada anak didik di sekolah-sekolah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melontarkan gagasan kemungkinan penerapan sistem belajar-mengajar dengan sekolah sehari penuh (Full Day School).
Kata Menteri Muhadjir, FDS ini tidak berarti peserta didik belajar seharian penuh di sekolah, tetapi memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Menurut Muhadjir, FDS dapat membendung pengaruh-pengaruh buruk yang diterima anak saat orang tua sibuk bekerja dan tak sempat mengawasi. Selama satu hari di sekolah, banyak hal yang bisa dipelajari anak-anak untuk menambah wawasan mereka.
Tapi, di luar dugaan, gagasan Menteri Muhadjir mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, dari orang awam hingga cendekiawan. Imam Prasodjo menyebut pernyataan Mendikbud membuat dahi mengkerut; Luthfi Assyaukanie menyebut Mendikbud blunder; Denis Maltoha (filsuf?) menyebut Mendikbud sesat pikir dan kejam (Quereta, 9/8/2016); dan masih banyak lagi kritik-kritik yang jauh lebih tajam bahkan cenderung kasar (di antaranya dalam bentuk meme). Uniknya, tidak sedikit dari para pengritik itu (disadari atau tidak) merupakan “eks anak didik” FDS.
Pada dasarnya FDS sudah diterapkan di banyak sekolah di negeri ini, baik secara tersirat maupun tersurat. Yang tersirat seperti boarding school, pesantren, pendidikan seminari, dan sekolah-sekolah kedinasan yang pada umumnya bahkan menerapkan full day and night school.
Yang tersurat seperti SMA A. Wahid Hasyim (Jombang, Jawa Timur), SMA Internasional Budi Kartini (Surabaya, Jawa Timur), SMA Tunas Luhur Paiton (Probolinggo, Jawa Timur), SMP-SMA Al-Mamoen (Cianjur, Jawa Barat), dan lain-lain.
Mencermati kritik-kritik terhadap FDS, saya teringat Imam Ghazali yang membagi manusia menjadi empat golongan (tipe). Pertama, rajulun yandri wa yadri annahu yadri (orang yang tahu dan tahu dirinya tahu). Kedua, rajulun yadri wa la yadri annahu yadri (orang yang tahu dan tidak tahu dirinya tahu).
Ketiga, rajulun la yadri wa yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu). Keempat, rajulun la yadri wa la yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu).
Dengan meminjam kategorisasi Imam Ghazali, saya ingin melihat tipe-tipe kritik yang dilontarkan publik terhadap FDS. Pertama, mereka yang tahu apa dan bagaimana FDS dan tahu plus minusnya jika FDS diterapkan. Mereka gencar mengritik FDS karena dilandasi pengetahuan yang cukup tentang pendidikan. Tapi mungkin karena perbedaan perspektif dalam melihat FDS (antara dirinya dan sang Menteri) sehingga tidak ada titik temu. Perhatikan, misalnya, komentar Imam Prasodjo berikut ini:
“Ketahuilah Pak Menteri bahwa terlalu banyak sekolah yang tak layak sebagai lingkungan belajar, atau bahkan tak layak hanya sebagai tempat sekadar berkumpul. Lihatlah kondisi SD dan SMP di banyak wilayah, apalagi daerah terpencil. Angka statistik di Kemendikbud pasti tersedia yang menunjukkan berapa banyak sekolah yang rusak, tak ada toilet, tak ada halaman bermain, atau bahkan sudah masuk kategori zona berbahaya.”
Jelas ada perspektif yang berbeda antara apa yang dipikirkan Menteri Muhadjir dan yang dipikirkan Imam Prasodjo. Aktivis Nurani Dunia ini melihat kemungkinan penerapan FDS dari sudut pandang negatif, yakni untuk sekolah-sekolah yang dari sudut pandang Menteri Muhadjir pun sebenarnya tidak mungkin akan menjadi tempat penerapan FDS.
Kedua, mereka yang pada dasarnya memahami apa dan bagaimana FDS, namun (mungkin karena alasan-alasan subjektif) mereka tidak tahu bahwa dirinya paham. Termasuk katagori ini adalah mereka yang sudah lama bergerak di dunia pendidikan (guru, dosen) dan sebagian merupakan alumni (produk) dari pesantren dan atau boardong school. Mereka menjadi kritikus terdepan seolah-olah tidak pernah merasakan manfaat dari FDS. Psikolog Yayah Khisbiyah menyebut mereka ini sebagai great pretender. Orang-orang yang sejatinya mengerti tapi penuh kepura-puraan.
Ketiga, mereka yang benar-benar tidak tahu FDS dan tahu dirinya tidak tahu. Mereka ini bisa dari kalangan awam, bisa juga dari kalangan cerdik pandai yang bukan ahli pendidikan. Prinsipnya kritik dulu, mencermati kemudian. Mengritik mungkin karena mengikuti arus, tapi karena sadar dirinya tidak tahu, maka tetap berusaha mencari tahu apa dan bagaimana FDS. Orang-orang seperti ini biasanya mau menerima penjelasan karena sadar akan ketidaktahuan dirinya. Setelah tahu, bisa berubah mendukung, bisa juga tetap mengkritik.
Keempat, mereka yang tidak tahu FDS dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ini kelompok yang paling buruk. Mengkritik seolah-olah tahu, padahal tidak tahu. Bisa dari kalangan awam, bisa juga dari kalangan orang-orang ternama tapi bukan ahli di bidang pendidikan.
Mereka tidak tahu diri atau sok tahu. Atau bisa juga waton suloyo (asal mencela) untuk sekadar mencari popularitas. Termasuk dalam tipe ini adalah kalangan artis yang tiba-tiba jadi pengamat pendidikan dengan kritik-kritiknya yang tajam seperti Deddy Corbuzier, Sophia Latjuba, Rossa, Tyas Mirasih, dan Julia Perez.
“Gagasan program Full Day School belum tepat diterapkan di Indonesia karena memang secara filosofis dan praktis, gagasan tersebut bermasalah,” kata Anamg Hermansyah.
“Dunia pendidikan kita ini jangan dijadikan kelinci percobaan. Ini bukan waktunya untuk menjadi kelinci percobaan, dan siswa-siswa kita juga bukan kelinci percobaan,” kata Fadli Zon.
Jika anggota Komisi X DPR RI dan Wakil Ketua DPR RI ini mau memahami penjelasan Mendikbud, keduanya bisa masuk kritikus tipe ketiga, tapi jika tidak mau tahu, mungkin termasuk tipe keempat. Wallahu’alam!
Yang menarik, di luar kritik-kritik keras yang berkembang di media dan (terutama) media sosial, FDS justru mendapat apresiasi dan dukungan dari para pendidik kenamaan seperti Arif Rachman, Rhenald Kasali, dan Komaruddin Hidayat.