Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kemarin resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan penistaan agama. Ahok ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lalu, bagaimana kelanjutannya?
Kesalahan Penerapan Ketentuan Pidana
Sekilas tak ada masalah serius terkait dengan peraturan pidana yang disangkakan pada Ahok. Apalagi Pasal 156 a KUHP menjadi sangkaan utamanya. Saya telah mengulas detail penodaan agama dalam perspektif hukum pidana pada kolom Geotimes (“Memahami Substansi Delik Penodanaan Agama”, 15/11). Namun, bila dicermati hal ini masih menyisakan masalah pelik, sebab penyidik Bareskrim Polri mengikutsertakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Masuknya ketentuan ini mengindikasikan bahwa penyidik meyakini ada sarana elektronik yang digunakan tersangka untuk melakukan penodaan agama. Benarkah demikian?
Agar tidak bias, berikut saya kutip Pasal 28 ayat (2) UU ITE: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)”.
Adapun bestandeel delik pasal a quo adalah pertama, dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi. Kedua, untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Jadi, ketentuan ini pada dasarnya hendak menghukum orang yang menyebarkan informasi melalui sarana elektronik untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Dalam konteks kasus Ahok, penyebaran informasi dilakukan oleh pihak lain, yakni Pemerintah Provinsi DKI melalui Youtube. Video yang di-upload lewat Youtube ini kemudian diedit oleh Buni Yani yang selanjutnya disebarkan secara viral ke berbagai media sosial. Itu artinya yang dengan sengaja menyebarkan informasi melalui transaksi elektronik bukan Ahok melainkan Pemprov DKI dan Buni Yani.
Pendeknya, jika penyebaran informasi yang menggunakan sarana elktronik itu dikategorikan sebagai tindak pidana oleh penyidik Polri, seharusnya pasal itu tidak ditujukan pada Ahok melainkan yang meng-upload video tersebut. Jadi, bila penyidik Polri ingin menerapkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, seharusnya yang diperiksa terlebih dahulu adalah Buni Yani. Dan jika terbukti ia mengedit video tersebut, maka pada titik inilah ia secara sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang mengandung permusuhan, kebencian antara individu, masyarakat dan antara golongan SARA melalui sarana elektronik.
Karenanya, saya berpandangan bahwa penyidik Polri telah keliru menerapkan ketentuan pidana. Idealnya, yang dapat dikenakan kepada Ahok adalah Pasal 156 a KUHP ihwal penodaan agama. Jika Pasal 28 ayat (2) UU ITE tetap dipertahankan oleh penyidik, saya hakul yakin ketentuan ini tidak dapat dibuktikan di pengadilan. Sebab, secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Ahok hanya berpidato, namun ada pihak lain yang memvideokan dan menyebarkannya melalui sarana elektronik. Intinya, pihak lain itulah yang seharusnya diganjar dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Memilih Langkah Hukum
Setelah Ahok ditersangkakan, paling tidak tensi politik menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 akan berkurang, bahkan juga pada level nasional. Meskipun harus diakui belum ada survei atau kajian akademik yang mendalam soal itu, turunnya tensi politik ini juga bisa mendinginkan hawa politik Jakarta yang sepertinya kian hari kian panas.
Terlepas dari tensi politik itu, menarik dicermati adalah upaya hukum Ahok pasca ditersangkakan oleh Bareskrim Polri. Sembari mengulas soal itu, perlu ditegaskan di sini bahwa meski Ahok telah ditersangkakan, hal itu tidak membatalkan statusnya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Hal ini terkonfirmasi melalui Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota, bahwa salah satu syarat calon kepala daerah adalah tidak pernah ditetapkan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2016 disebutkan bahwa pembatalan dapat dilakukan apabila calon terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum hari pemungutan suara.
Poin penting dari kedua peraturan a quo adalah seorang calon kepala daerah hanya dapat dibatalkan pencalonannya ketika ia melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun lebih, terbukti di persidangan, dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dengan demikin, selama perkaranya belum berkekuatan hukum tetap, hal itu tidak dapat membatalkan pencalonan seseorang.
Kembali ke upaya hukum, dalam bayangan saya saat ini ada dua pilihan yang tersedia bagi Ahok dalam menyikapi kasusnya. Pertama, Ahok mengajukan praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh Bareskrim Polri. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tentang perluasan objek praperadilan menurut Pasal 77 KUHAP.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penetapan tersangka telah menjadi salah satu objek praperadilan. Artinya, Ahok akan menguji apakah penetapan tersangkanya telah sesuai dengan Pasal 1 butir 14 jo Pasal 17 KUHAP. Pasalnya, kedua ketentuan ini menegaskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yakni berdasarkan pada dua alat bukti.
Kedua, tidak mengajukan praperadilan sama sekali tetapi fokus pada pengumpulan alat-alat bukti (evidence) yang akan digunakan sebagai bahan pledoi di pengadilan. Inilah yang menjadi titik krusial bagi Ahok. Sebab, bila ia tidak mampu menunjukkan bukti bahwa ia tidak punya niat jahat (mens rea) dalam menyebut surat al-Maidah ayat 51, maka sudah pasti ia akan dijatuhi pidana (actori incumbit onus probandi). Tetapi jika alat bukti yang diajukannya dapat membantah dakwan penuntut umum dan mampu meyakinkan majelis hakim, maka ia akan dibebaskan.
Hal ini selaras dengan asas actore non probante reus absolvitur, artinya bila penuntut umum tidak dapat membuktikan tuduhannya, maka terdakwa dibebaskan. Terakhir, penting saya tegaskan di sini bahwa saya bukan pembela Ahok ataupun juga penentangnya. Saya berdiri kokoh secara netral berbarengan dengan gagasan saya bahwa dalam kasus Ahok hukum mesti menjadi panglima (supremacy of law).