Milan kalah lagi. Kali ini dari Juventus. Tentu saja tak ada yang terlalu mengejutkan; memang kapan kita terakhir mendengar Milan mengalahkan Juve?
(Kalau tidak tahu, saya beri tahu: dua tahun lalu, dan enam tahun lalu; total, Milan hanya pernah mengalahkan Juve dua kali di Serie A sejak mereka merebut gelar Serie A terakhirnya di musim 2011.)
Ini kekalahan Milan yang ketiga dalam dua belas pekan Serie A. Jika dibandingkan, bahwa itu juga jumlah kekalahan yang diderita Inter dan Roma sejauh ini, para Milanisti yang paling optimistis akan menyebutnya tak jelek-jelek amat. Tapi, kalau ditelisik lagi dari mana tiga kekalahan itu datang (Napoli di pekan kedua, lalu Inter di pekan kedelapan, kemudian Juve akhir pekan lalu), terutama bagaimana cara mereka kalah, maka sudah bisa diraba di mana tempat terbaik yang bisa mereka dapat di akhir musim nanti.
Jika masih terlalu optimistik—katakanlah dengan menyebut bahwa dua dari tiga kekalahan itu terjadi di luar kandang, misalnya—coba lihat di mana level permainan Milan ketika berhadapan dengan Real Betis di Liga Eropa. Di hadapan tim Spanyol berperingkat 12 La Liga itu, Milan keteteran (kalah di kandang dan imbang di tandang). Mereka mungkin akan lolos ke babak berikutnya sebagai peringkat kedua, tentu saja jika mampu bersaing dengan Olympiakos—dan punya cukup keberuntungan. Dan kalaupun mereka lolos ke babak berikutnya, klub-klub buangan Liga Champions akan menunggu mereka. Untuk saat ini, jelas sekali, Milan tidak berada di level itu.
Dalam kalimat lain yang lebih gamblang: Milan sepertinya akan melanjutkan musim-musim semenjananya.
Dengan kalimat yang lebih bijak, daripada mengutuk pemilik dan pemain, apalagi diri sendiri, sebaiknya para pendukung Milan mulai belajar untuk mengambil hikmah.
Berharap berlebih adalah sebuah dosa, itu hikmah pertama. Lepas dari pemilik yang misterius macam Yonghong Li, kemudian jatuh ke tangan sebuah perusahaan penalang utang Amerika, dan mereka tampak sepertinya tak hanya ambisius tetapi juga serius, para Milanisti mungkin mengendus sejenis kebangkitan. Milan menjadi salah satu dari tiga tim yang membayar pemainnya sangat tinggi di Serie A, selain Juve dan Inter. Pengeluaran itu tampak sepadan ketika mereka tiba-tiba menyodok ke empat besar, setelah bulan-bulan pertama kompetisi tampak seperti sedang memesan tempatnya di 10 bawah tangga klasemen. Tapi, sekali lagi, lihat level permainan Milan di hadapan para pesaingnya.
“Itu terlalu mudah,” begitu si komentator bilang dalam bahasa Inggris ketika Mario Mandzukic mencetak gol pertama untuk Juve. Secara keseluruhan, demikianlah gambaran seluruh pertandingan.
Mereka masih ada di urutan kelima. Dan hanya Milanisti yang tak tahu terima kasih yang tak mensyukuri hal itu. Tapi, bahwa mereka kalah dari semua tim yang berpotensi merebut gelar (Napoli, lalu Inter, dan kini Juve), Milan sepertinya tak akan bisa bersaing dengan tim-tim itu di sepanjang sisa musim.
Jika pendukung Milan masih bertahan dengan optimismenya, menganggap bahwa peringkat keempat di akhir musim, misalnya, adalah lompatan hebat jika dibanding musim lalu, dan musim-musim sebelumnya, maka pandangan mereka sangat cocok dengan para pemegang kebijakan di meja direksi Milan.
Ivan Gazidis akan menjadi Chief Executive Milan mulai 1 Desember tahun ini, setelah ditunjuk pada pertengahan September. Menduduki jabatan yang sama di Arsenal, Gazidis adalah nama selain Arsene Wenger yang identik dengan stabilitas keuangan Arsenal dalam 10 tahun terakhir. Ia juga sosok penting bagi berdiri dan stabilnya Major League Soccer (MLS) di AS.
Penunjukan Gazidis memberi gambaran bahwa pemilik Milan saat ini, Grup Elliot, ingin menunjukkan keseriusannya dalam membenahi keuangan Milan yang bertahun-tahun amburadul. Gazidis, dengan apa yang dilakukannya di Arsenal, jelas pilihan tepat. Lagi pula, selain paling realistis, jelas ini langkah paling bijak untuk Milan.
Tapi, yang perlu dicatat, Gazidis tak sehebat itu. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari rezim Arsenal yang gagal mempersembahkan gelar Liga sejak 2004. Ia, bersama Wenger, dianggap oleh para banyak pengamat, tapi terutama para pendukung Arsenal sendiri, main aman dan kurang ambisius. Dari musim ke musim, mereka hanya mengincar empat besar, bukannya gelar.
Menghubungkan Gazidis dan masa lalu Arsenalnya bagi Milan ke depan bukan sekadar perbandingan. Sebab, naga-naganya, Gazidis akan meng-Arsenal-kan Milan. Telah berembus kabar bahwa Arsene Wenger akan bergabung dengan Gazidis untuk mengisi posisi tertentu di meja direksi Milan. Sementara, di lapangan, Aaron Ramsey mungkin akan menyusul di pertengahan musim.
Jadi, para pemuja Diavolo Rosso, jika kalian selama ini sudah cukup sabar, tak ada salahnya untuk belajar lebih sabar lagi dari para pendukung Arsenal. Itu hikmah berikutnya.
***
“Bersiap menghadapi kesemenjanan atau biarkan Jose Mourinho merombak skuatnya.”
Begitulah kurang lebih yang ditulis Jamie Jackson, seorang wartawan The Guardian yang dikenal sebagai penggemar MU, usai derbi Manchester. Pernyataan itu sebenarnya sebuah pertanyaan, tapi saya sengaja menghilangkan tanda tanyanya, agar kalimat itu lebih terdengar sebagai peringatan. Dan, memang itu tujuan Jackson.
Subtansi dari kalimat Jackson ini bisa diperdebatkan, tapi konklusinya jelas-jelas salah. MU tidak sedang bersiap menghadapi kesemenjanaan, tapi telah mengalaminya. Kalau Jamie Jackson terlalu malas menghitungnya, saya akan bantu menghitungnya: sudah lima musim MU mengalaminya.
Persisnya, sejak Sir Alex Ferguson mempersembahkan gelar terakhirnya untuk MU di musim 2013 sebelum kemudian pensiun.
Para pembela Mourinho, dan terutama para penggemar MU yang masih saja menolak kenyataan, mungkin saja akan berpegang kuat pada pendapat Mou atas prestasinya: peringkat dua di musim lalu adalah capaian yang hebat. Tapi, kesemenjanaan tak selalu berkait peringkat; jurang nilai menunjukkan, MU jelas jauh dari kata bersaing dengan Manchester City.
Jurang itu jelas semakin melebar musim ini. Di pekan keduabelas, MU sudah tertinggal 12 poin dari City. Dan Jackson, di tulisannya yang lain, menyebut bahwa kekalahan di derbi Manchester sepenuhnya membunuh harapan MU untuk ikut bersaing merebut gelar musim ini.
Lagi-lagi Jackson salah. Bukan kekalahan dari City di pekan keduabelas yang membunuh harapan juara MU musim ini, tapi perkataan Mourinho sejak sebelum musim ini dimulai.
Seperti sudah berkali-kali ditulis di kolom ini, Mou dan MU memulai musim ini dengan muka masam. Mou uring-uringan kepada Chief Executive MU, Ed Woodward, karena tak menunjukkan cukup dukungan untuk belanja pemain yang dibutuhkannya. Di sebuah pertandingan setengah liburan di Amerika, ia menjelek-jelekkan timnya sendiri di depan publik. Anthony Martial yang ogah-ogahan diserangnya, yang berbuntut isu penjualannya—meski belakangan justru menjadi salah satu pemain paling diandalkan. Dua kekalahan di tiga pertandingan pertama memperjelas persoalan di lapangan dan ruang ganti. Kemudian datang masalah Pogba, setelah ia secara eksplisit tidak menyepakati cara bermain yang dipilih Mou untuk MU.
Mungkin masalah ini terlihat terlalu dikorek-korek jika mengingat tren positif MU belakangan, setidaknya sejak kekalahan dari West Ham di pekan ketujuh. Apalagi ketika mereka tampak sangat kompetitif ketika berhasil memaksakan hasil imbang atas Chelsea di Stamford Bridge. Dan, puncaknya, tentu saja kemenangan mereka atas Juve di Liga Champions, tengah pekan lalu.
Maka, tak kurang-kurang, bahkan Mou sendiri menolak kenyataan bahwa timnya terlihat medioker. Dalam jumpa pers setelah kekalahan dari City, ia menolak anggapan bahwa timnya bermain bertahan—“dalam sekian menit, kami bermain terbuka,” tangkis Mou. Ia tak sepakat dengan gambaran statistik bahwa timnya sepenuhnya terdominasi. “Cuma orang yang tidak mengerti bola yang merujuk statistik,” katanya, sengak.
Tentu saja. Dengan tidak melihat statistik, ia tak akan melihat bahwa tim yang diklaimnya bermain terbuka hanya menguasai 36 persen penguasaan bola (atau angka itu memang sudah cukup tinggi untuk MU?). Ia tak perlu tahu bahwa tak sekali pun timnya berhasil membidik gawang Ederson Moraes, kecuali saat Martial mencetak gol lewat titik penalti. Dan, tentu saja, tidak jadi soal bahwa MU adalah satu-satunya tim di 10 besar klasemen yang selisih golnya minus. Atau, jangan-jangan, tidak terlalu penting bahwa MU kini ada di peringkat kedelapan, di bawah Bournemouth dan Watford?
Baiklah, peringkat delapan itu tentu saja sementara. Ini baru pekan keduabelas. Jarak dari Arsenal di peringkat keempat hanya empat angka. Jadi, tak ada yang mustahil untuk masuk ke zona Liga Champions.
Tepat di situ. Ketika sebuah tim hanya bisa mengincar empat besar, dan bukannya gelar, itulah kesemenjanaan.
“Kami tak seburuk itu. Kami nyaris unggul di kandang Chelsea dan dengan gemilang membalikkan keadaan di kandang Juve!” Seseorang mungkin akan meneriakkannya.
Di Serie A, satu-satunya hasil minor Juve adalah hasil imbang di kandang melawan Genoa, tim berperingkat 14. Di La Liga, dua kekalahan Barcelona didapat dari Leganes dan Real Betis, yang masing-masing berperingkat 18 dan 12.
Setan Merah jelas tak seburuk Genoa atau Leganes, bahkan Betis. Tapi jelas, MU saat ini tidak berada di level yang sama dengan City, Liverpool, Chelsea, bahkan Spurs.