“Sistem hukum di Indonesia ‘terlalu liberal’,” demikian Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam sidang pendahuluan uji materi tiga pasal KUHP No. 1 Tahun 1964 pada 24 Agustus lalu. Padahal, lanjut Patrialis, kebebasan kita terbatasi oleh nilai moral dan agama. Sebab, menurutnya, Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler.
“Bukan negara agama, bukan negara sekuler” pada dasarnya adalah frase tak bermakna. Bukan negara agama, seharusnya ia adalah negara sekuler. Tetapi kita tidak mau disebut negara sekuler. Apabila bukan negara sekuler, seharusnya ia merupakan negara agama. Tetapi kita juga tidak mau disebut negara agama. Merujuk KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, negara Indonesia ini memang “negara bukan-bukan”.
Patut diduga frase ini akal-akalan kita saja agar nampak berbeda dari negara lain. Kita ingin menegaskan kepada dunia bahwa Indonesia tak seperti Arab Saudi, Iran atau Vatikan, yang berlandaskan agama. Pada saat yang sama, Indonesia juga tak seperti Prancis, Turki atau Amerika yang sementara ini dipersepsi sekuler nan anti-agama.
Sejatinya, cara pandang yang menghadap-hadapkan negara sekuler dan negara agama secara hitam-putih ini tidak berdasar sekaligus sesat pikir.
Soal negara sekuler atau bukan, saya teringat klasifikasi yang dibuat profesor keturunan Turki di San Diago State University, Ahmet T. Kuru, dalam artikel berjudul Passive and Assertive Secularism (2011). Menurut Kuru, ada empat jenis negara: negara agama; negara dengan satu agama resmi; negara sekuler; dan, negara anti-agama.
Pertama, negara agama. Negara ini menjadikan agama sebagai dasar negara dan memiliki satu agama resmi. Kuru mencatat 10 negara telah mengadopsi model ini, tiga di antaranya: Arab Saudi, Iran, dan Vatikan.
Kedua, negara dengan satu agama resmi. Secara konstitusi negara ini sekuler, tetapi memiliki satu agama resmi. Misalnya, Yunani, Inggris, dan Denmark. Selain ketiganya, masih ada 100 negara lain yang sejenis.
Ketiga, negara sekuler. Negara ini, seperti kita kenal, berkonstitusi sekuler sekaligus tidak memiliki satu pun agama resmi. Kuru mencatat ada 95 negara yang berada di barisan jenis ini. Tiga di antaranya: Amerika, Prancis, dan Turki. Indonesia, menurut kategori Kuru, masuk sebagai negara sekuler.
Terakhir, negara anti-agama. Negara jenis ini memiliki konstitusi sekuler. Pada saat yang sama, ia memusuhi agama. Di dunia ini, ada 22 negara berjenis kelamin seperti ini. China, Kuba, dan Korea Utara adalah contoh negara anti-agama.
Data ini menunjukkan bahwa perbedaan negara sekuler dan negara agama tidak se-hitam-putih yang kita duga. Ada gradasi dan variasi di antara keduanya. Bahkan pada satu jenis kategori saja, jika ditelisik lebih dalam, akan nampak perbedaan-perbedaannya.
Mari kita lihat lebih rinci Amerika Serikat, Prancis, dan Turki yang digolongkan sebagai negara sekuler. Ketiganya, sama-sama berkonstitusi sekuler. Ketiganya juga tidak memiliki agama resmi. Namun, ketiganya memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.
Amerika Serikat adalah negara sekuler yang meletakkan kata Tuhan pada mata uang resminya dan nama Tuhan pun disebut-sebut saat presiden ambil sumpah jabatan. Negeri Paman Sam juga tidak melarang keberadaan sekolah agama swasta. Hanya saja, negara ini tidak ikut mendanai sekolah agama swasta. Pada saat yang sama, ia melarang kegiatan ibadah di sekolah karena dinilai akan menimbulkan koersi psikologis terhadap siswa agama minoritas.
Berbeda dengan Amerika, Prancis melarang simbol-simbol agama di sekolah maupun di ruang publik. Baru-baru ini Prancis melarang penduduk Muslim mengenakan pakaian burkini, jenis pakaian renang yang menutupi seluruh badan, kecuali muka, telapak tangan dan kaki, di pantai. Negara ini juga tidak mengajarkan agama di sekolah negeri. Pelajaran agama hanya mungkin di sekolah swasta. Uniknya, Prancis adalah satu di antara negara sekuler yang turut membiayai sekolah agama swasta.
Sementara itu, Turki tak jauh berbeda dari Prancis. Melarang simbol agama di sekolah publik; tidak ada pernyataan atas nama Tuhan di sekolah umum; dan melarang mereka yang mengorganisir ibadah di sekolah negeri. Pada saat yang sama, negara ini melarang sekolah agama swasta lantaran ia menyeponsori pendidikan agama di sekolah negeri. Tentu saja di bawah pengawasan pemerintah.
Pertanyaannya, kenapa ketiganya bisa berbeda, padahal sama-sama sekuler? Menurut Kuru, dominasi jenis aktor-aktornya di ketiga negara tersebut beragam. Kuru membedakan dua jenis kelompok, yang berdebat tentang kebijakan-kebijakan terkait agama di ruang publik. Ada kelompok sekuler pasif yang lebih akomodatif, mempersilakan dan memungkinkan simbol agama tampi di ruang publik. Kelompok lainnya, sekuler asertif yang tegas dalam menempatkan agama di ruang publik dan tidak boleh muncul ke permukaan.
Berdasarkan pengamatannya, Kuru melihat di Amerika kelompok sekuler pasif lebih dominan daripada sekuler asertif. Hal ini nampak pada perdebatan-perdebatan di antara keduanya dalam banyak hal, misalnya, pro-pilihan (choice) atau pro-kehidupan (live) dalam kasus aborsi. Sebaliknya, sepanjang perdebatan yang tercatat, para sekuler asertif mendominasi debat-debat di Prancis dan Turki mengenai peran agama di ruang publik.
Kenapa bisa demikian? Ketiga negara tersebut, menurut Kuru, memiliki latar belakang sejarah yang berbeda yang sangat menentukan. Sekulernya jenis Amerika Serikat merupakan hasil “konsensus” elite imigran sekuler macam Thomas Jefferson, James Madison, atau George Washington.
Meski sekuler, mereka tidak hendak mengeliminasi monarki ataupun dominasi agama. Sebab, mereka tidak mengalami riwayat buruk dari perkawinan dua jenis kekuatan itu sebelumnya. Tidak heran jika hasil konsensusnya dimenangkan oleh kaum sekuler yang pasif, yang cenderung mengakomodasi agama di ruang publik.
Sementara itu, Prancis dan Turki memiliki sejarah mengerikan akibat persekutuan negara monarki dan agama. Persekutuan itu telah memakan korban jutaan jiwa di Prancis. Masa itu dikenal sebagai abad kegelapan Eropa. Tatkala simbol agama tampil kembali masa kini di ruang publik, imajinasi mereka tentang abad kegelapan segera muncul. Itulah kenapa mereka ingin melepaskan diri dari dominasi keduanya, dengan cara menghancurkan monarki dan mendudukkan agama di ruang paling kecil dan privat.
Demikian juga rekaman perkawinan monarki Usmani dan agama Islam di Turki telah menimbulkan trauma lawan-lawan politiknya. Ketika mereka berubah jadi negara Republik, saat itulah mereka berusaha mengeliminasi monarki dan simbol agama dari ruang publik. Mereka menggantikannya dengan sistem yang sema sekali tidak memainkan dan menampilkan agama dalam tata kelola berbangsa dan bernegara. Betapapun demikian, politik Turki hari ini semakin banyak memainkan sentimen dan simbol agama.
Berangkat dari penjelasan Kuru itu, Indonesia sejatinya adalah negara sekuler, dengan catatan akomodatif terhadap agama. Konstitusi kita pada dasarnya sekuler. Segala macam urusan tata negara kita diatur tidak berdasarkan agama tertentu, apalagi satu agama. Layaknya Amerika, Indonesia meletakkan ketuhanan sebagai prinsip pertama. Kepala negara maupun pelantikan pejabat negara Indonesia juga disumpah berdasarkan agama dan keyakinannya.
Jenis negara sekuler yang akomodatif itu, merujuk sejarah bangsa kita, merupakan hasil negosiasi dan kompromi para bapak bangsa kita. Kita tidak punya trauma dipimpin negara monarki yang bersekutu dengan rezim agama. Kita justru lahir dari rahim bapak bangsa yang sebagiannya para pemimpin agama. Mereka berdebat panjang saat pembentukan awal negara kita.
Beruntung bapak bangsa kita memutuskan ide Piagam Jakarta tidak masuk dalam konstitusi kita. Seandainya Piagam Jakarta berlaku dan negara kita menjalankan sistem pemerintahan atas dasar syariah Islam, mungkin negara kesatuan seperti hari tak dapat kita nikmati. Jika saat itu diakomodasi di konstitusi, mungkin Maluku tidak bersama kita saat ini.
Kita juga beruntung, wajah negara kita masih tetap sekuler hingga saat ini. Amandemen kedua tahun 2001 pasca reformasi menunjukkan hal itu. Upaya mendesakkan ajaran agama menjadi dasar negara pada saat amandemen itu mental. Karenanya, negara kita masih merupakan negara sekuler, dengan catatan dengan tetap mengakomodasi kepentingan agama-agama di dalamnya.
Adalah hasil negosiasi dan kompromi pula kita memiliki departemen yang mengurusi hal-hal terkait kehidupan keagamaan, belakangan disebut kementerian agama. Kementerian ini mengakomodasi penganut agama-agama yang dominan dari masa ke masa. Setelah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha, belakangan kementerian ini mempunyai dirjen Konghucu.
Dengan demikian, sungguh tak berdasar pernyataan bahwa Indonesia bukan negara sekuler juga bukan negara agama. Negara kita pada dasarnya sekuler, namun sangat terbuka menerima usulan agamawan turut serta mengelola negara. Hanya saja dosisnya saat ini agak berlebihan. Jika di masa lalu agama yang tampil adalah nilai-nilainya yang universal, belakangan usulan-usulannya sudah merepresentasikan fiqh mazhab tertentu.
Kita harus turut mengawasi dengan jeli apakah uji materi tiga pasal dalam KUHP Nomor 1 Tahun 1964 bertujuan untuk mengakomodasi nilai agama yang universal atau justru mendesakkan tafsir mazhab tertentu ke dalam tata kelola negara. Jika yang kedua, maka kita sebetulnya sedang bergerak menjadi negara agama.
Cukuplah ISIS di Suriah memberi kita contoh, betapa buruknya jika agama mazhab tertentu menjadi landasan kita hidup bersama di atas keragaman suku agama dan budaya.