Jumat, April 26, 2024

Sentimen Anti-Cina dan Tren Kawin

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Seorang santri melintas di depan poskamling sebuah Pondok Pesantren di Kampung Wisata Pecinan, Lasem, Jawa Tengah, Senin (19/12). Bangunan kuno serta riwayat sejarah yang membentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa di kawasan tersebut membuat kampung wisata pecinan tersebut mempunyai ciri khas tersendiri sehingga sering dikunjungi wisatawan. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww/16.
Seorang santri melintas di depan poskamling sebuah Pondok Pesantren di Kampung Wisata Pecinan, Lasem, Jawa Tengah, Senin (19/12). Bangunan kuno serta riwayat sejarah yang membentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa di kawasan tersebut membuat kampung wisata pecinan tersebut mempunyai ciri khas tersendiri sehingga sering dikunjungi wisatawan. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww/16.

Menjelang akhir Desember 2016 lalu berhembus isu bahwa Indonesia kedatangan 10 juta pekerja asal Cina. Taksiran angka 10 juta cukup fantastis mengingat jumlah tenaga kerja Indonesia ke luar negeri hanya 200 ribuan. Dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk DKI Jakarta yang bersiap menghadapi pilkada yang panas ini saja kurang lebih tujuh juta orang, lantas dari mana angka 10 juta ini?

Usut punya usut, angka ini adalah pelintiran dari semangat pemerintah menggenjot turis Tiongkok sebanyak 10 juta, yang kemudian kata turis dimodifikasi oleh pihak tidak bertanggungjawab menjadi tenaga kerja.

Masyarakat Indonesia yang baru saja terbiasa dengan gadget yang berisi koneksi internet menyadari bahwa ada dunia lain berbasis virtual di mana mereka bisa berinteraksi dengan orang yang jauh dan memahami tentang apa yang sesungguhnya terjadi di luar dunia nyatanya yang biasa.

Kebaruan ini membuat kita tidak bisa memisahkan apakah yang dia baca di dunia virtual ini sebagai realitas tunggal atau hanya satu dari sekian realitas. Tidak hanya masyarakat yang “gagap gempita” menyambut dunia virtual ini, tapi juga pemerintah yang memunculkan keadaan genting dalam dunia maya dengan istilah “proxy war”.

Jika kita wrap apa yang populer di tahun 2016 ini, buat saya adalah polaritas informasi dan gagap teknologi. Pesatnya penggunaan smartphone dan semakin murah dan mudah memperoleh jaringan internet demi memperoleh informasi membawa serta segregasi masyarakat virtual berdasarkan pilihan informasi. Kita hanya memilih informasi dan fakta yang mau dan cocok, kemudian berkelompok dengan yang sama.

Esai ini hendak memaparkan dampak politik identitas dan lonjakan pertumbuhan penduduk dalam sentimen antipekerja asing, khususnya Cina.

Pelestarian Politik Identitas dalam Ruang Virtual
Apakah kita punya sentimen anti-Tionghoa? Menurut Dr. Thung Ju Luan, ahli studi Cina di Universitas Indonesia, dalam diskusi Serikat Jurnalis Keberagaman [SEJUK] (29/12) menyatakan masyarakat Indonesia punya sentimen terhadap Cina. Terbukti untuk isu tenaga kerja asing, kata yang dipakai adalah tenaga kerja asal Cina atau “tenaga kerja Cina”, walau presiden kita yang lalu, Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keppres tahun 2014 telah mengubah kata Cina menjadi Tionghoa, toh upaya tersebut tidak berhasil menghilangkan sentimen pribumi dan bukan pribumi.

Sentimen anti-Cina bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Dalam pemerintahan Kolonial Belanda, orang-orang Cina diletakkan dalam warga negara kelas dua yang ambigu. Sedangkan masa kemerdekaan di bawah era Orde Lama dan Orde Baru melalui serangkaian kebijakan memaksa Tionghoa untuk melebur, entah dalam konsep integrasi ataupun asimilasi dengan pelarangan nama Tionghoa ataupun pelarangan tinggal di desa-desa.

Wacana Cina sebagai di luar gagasan keindonesiaan ini dilestarikan dan dibuat jurang semakin lebar melalui media virtual. Front Pembela Islam dan teman-temannya, misalnya, percaya ada jaringan elite antar orang Cina dan pilihan pemerintah yang merapat ke negara Tiongkok (sebuah teori konspirasi yang membuat pribumi terus miskin dan tereskploitasi, sedangkan Cina menguasai sumber daya alam, juga pekerjaan).

Sentimen ini tidak mau mengangkat fakta utuh bahwa orang Cina di Indonesia tidak hanya berasal dari kelompok elite, tapi juga ada cina miskin seperti cina benteng atau cina petani di Singkawang.

Kehebatan dunia virtual dalam mensegregasi masyarakat dengan politik identitas terejawantahkan dalam demonstrasi 411 dan 212 yang mengusung propaganda melalui video yang diedit kemudian ditayangkan di Youtube. Video tersebut disebarkan melalui link pendek dari satu grup Whatsapp ke grup Whatsapp lainnya, dengan narasi tambahan sebagai pengantar dan masyarakat yang mengganggu masyarakat Islam.

Di samping kelompok yang merasa identitasnya diganggu, ada pula kelompok tandingannya yang menggunakan kata “bhinneka” tetapi melalui wadah yang sama: demonstrasi dan media sosial. Dua-duanya punya dasar pikiran yang sama, yakni bahwa dunia virtual yang diwakili oleh layar handphone masing-masing menjadi kenyataan yang tunggal dan sebenar-benarnya.

Reproduksi Seksual dan Perebutan Sumber Daya
Jika kita telaah, sebenarnya apa yang membuat kita ketakutan terhadap pekerja asing? Saya menduga masalah yang lebih mendasar—sehubungan dengan nasib saya yang beranjak dewasa di usia duapuluhan awal menyaksikan status Facebook teman-teman saya yang mengeluh sulitnya mendapat pekerjaan, sementara yang lainnya menyelenggarakan resepsi pernikahan—adalah lonjakan penduduk dan kesulitan mencari pekerjaan.

Indonesia sudah dicurigai mengalami ledakan penduduk dalam lima belas tahun ke depan sebanyak kira-kira seratus ribu. Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), dari jumlah penduduk tahun 2015 sebanyak 255 ribu akan meningkat menjadi kurang lebih 305 ribu.

Ledakan penduduk ini disokong oleh beberapa hal terkait pemahaman seks yang sebatas tujuan reproduksi yakni: (1). Berakhirnya program Keluarga Berencana (KB) yang dulu digalakan oleh pemerintahan Orde Baru, (2). Keengganan menuntaskan masalah kemiskinan dan perkawinan anak dan (3). Doktrin agama untuk menikah muda dan memperbanyak jumlah anak.

Dengan pertumbuhan penduduk dan banyaknya penduduk usia produktif, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi semakin sulit. Di sini, isu politik identitas dimainkan bukan untuk menyelesaikan permasalahan kependudukan atau membuka lapangan pekerjaan, tetapi justru dibelokkan dengan isu pekerja asing yang hendak mengambil “jatah” pekerjaan yang seharusnya ditempati oleh orang-orang “asli” Indonesia.

Posisi orang-orang Cina yang ambigu dalam masyarakat Indonesia, Cina semakin mudah dieksklusi dari gagasan tentang keindonesiaan. Sikap frustasi semakin sulitnya mendapat pekerjaan dialihkan dengan membenci sesuatu yang dianggap telah merampas apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Di sisi lain, tren menikah muda dan memiliki banyak anak juga dilempar dari kubu yang juga menyatakan bahwa Cina bukan bagian dari keindonesiaan.

Penyebaran informasi yang menyebabkan polaritas di masyarakat dan sentimen elite-Cina versus pribumi-miskin dilestarikan sepanjang sejarah. Internet menyediakan informasi lengkap tentang keadaan pribumi elite ataupun Cina miskin tapi kita enggan menerima kenyataan utuh tersebut. Dan parahnya, politik identitas yang semakin dimainkan ini justru mengaburkan kita dalam melihat masalah sebenarnya seperti kesenjangan sosial, ledakan penduduk atau bahkan seks dan reproduksi melalui perkawinan.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.