Belakangan ini hingga sekarang, kampus-kampus ternama di negeri ini sedang mengadakan rangkaian penerimaan mahasiswa baru. Rangkaian penerimaan ini biasanya berjenjang mulai dari tingkat Universitas, Fakultas, dan Program Studi. Ada satu istilah yang diketahui oleh golongan lintas zaman tentang penamaan kegiatan ini─”ospek.”
Ospek secara bahasa merupakan sebuah akronim dari “orientasi studi dan pengenalan kampus.” Ospek pada tingkatan perguruan tinggi secara lazim dimaknai sebagai proses pengenalan mahasiswa baru terhadap sistem pendidikan tinggi, cara belajar mandiri dan suasana rumah yang baru─setidaknya selama kuliah. Setiap perguruan tinggi memiliki ciri khasnya masing-masing dalam mengadakan ospek dan tentunya “harus” diikuti oleh mahasiswanya.
Secara historis ospek diadakan di Indonesia sejak 1960-an dan hadir dengan nama masa prabakti mahasiswa (mapram). Dikarenakan adanya tindak kekerasan dan banyak korban yang jatuh─dalam kasus ini penyiraman soda api oleh mahasiswa senior pada juniornya di Institut Teknologi Sepuluh November─pada tahun 1971 muncul SK Menteri P dan K No.043 yang isinya menghapus nama mapram menjadi pekan orientasi studi (POS).
Waktu berjalan, penyebutan untuk kegiatan ini pun berubah-ubah dan menjadi beragam. Tentunya kita sering mendengar dari orang tua kita tentang seringnya ekses terjadi dalam kegiatan ini, namun pemerintah Indonesia seolah menutup mata pada sektor ini, seolah-olah ospek memang bukanlah bagian strategis dalam proses pendidikan (Noviana, 2010).
Dewasa ini tindak kekerasan dalam kegiatan ospek di Indonesia sudah mulai berkurang, walau begitu masih ada saja oknum-oknum bandel yang melestarikan budaya buruk ini. Tahun 2019 lalu, berita kurang nyaman datang dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara. Wajah-wajah baru yang harusnya dibimbing untuk mengenal kampusnya malah dijadikan mainan oleh para seniornya─dipaksa meminum air yang dicampur ludah.
Di luar tindakan semacam itu, masih ada kekerasan dalam bentuk lain seperti kekerasan ekonomi maupun psikologis─wujud paling nyatanya ialah bentakan yang irelevan terhadap mahasiswa baru yang melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Itu semua dilakukan atas nama “kedisiplinan.”
Teori liminalitas yang dikemukakan oleh Victor Turner mengatakan bahwa perubahan seseorang dikarenakan pengaruh kebudayaan yang berbeda dari tempat asalnya yang menimbulkan seseorang tidak mengikuti baik tempat asal maupun tempat baru yang ditempati.
Dalam teori ini ada tiga tahapan yakni praliminal, liminal dan post liminal. Pada fase praliminal para subjek masih berada dalam struktur masyarakat dan norma-norma yang berlaku di tempat asal, kemudian fase kedua yakni fase liminal merupakan tahap di mana si subjek mengalami suatu keadaan ambigu.
Keadaan ambigu ini menjadi ciri khas tahap ini. Victor Turner menggambarkan keadaan ini dengan ruang. Dua ruang dibatasi oleh pintu tertutup. Liminal artinya ambang pintu. Berarti dia tidak di sini dan juga tidak di sana. Setiap anggota masyarakat diharapkan dapat melewati semua tahapan untuk memasuki tahap selanjutnya.
Teori liminalitas ini selalu dijadikan landasan untuk pelaksanaan ritus inisiasi ini─termasuk juga ospek─sebagai proses penghilangan keambiguan para mahasiswa baru dan penerimaan di tempat baru. Namun perlu dipertanyakan juga tentang mahasiswa seperti apa yang ingin dibentuk dari ritus ini? apakah mahasiswa yang siap untuk mendengarkan segala ucapan seniornya dengan berdalih kedisiplinan?
Fenomena kekerasan terhadap mahasiswa baru dapat diamati secara teoritis dari perspektif relasi kekuasaan menurut Foucault. Ia mengemukakan teorinya tentang wacana sebagai pengetahuan yang terstruktur: aturan, praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada satu rentang historis tertentu.
Kekuasaan bukan milik siapapun, mengartikan kekuasaan ada di mana-mana, ia sendiri menautkan kekuasaan dengan pengetahuan; sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan, melainkan juga normalisasi dan regulasi (Sutrisno, 2005).
Masuk dan diakui sebagai anggota komunitas adalah motif yang menghegemoni para mahasiswa baru untuk menerima segala tindakan seniornya. Pada umumnya seorang mahasiswa baru haruslah menaati segala macam aturan yang dibuat oleh senior, harus sopan, menghargai dan menghormati para senior mereka. Sehingga secara tidak langsung menjadi terkonstruksi bahwa mahasiwa baru memang seharusnya menaati dan selalu tunduk kepada seniornya.
Intinya posisi mahasiswa baru selalu berada di bawah kekuasaan seniornya. Sehingga apabila mahasiswa baru tidak melakukan hal-hal yang sebagaimana diharapkan oleh seniornya berbagai macam hukuman menjadi sesuatu yang seakan-akan sah-sah saja diterima oleh mahasiswa baru.
Mahasiswa baru juga merasa bersalah apabila tidak dapat melakukan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh seniornya sehingga tidak melakukan protes atas perilaku kekerasan yang diterima oleh mereka. Itu berarti mahasiswa baru selalu dipojokkan dengan tuntutan bahwa mereka sendirilah yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan yang menimpa dirinya─tentunya dibalut atas nama “kedisiplinan.”
Setelah memaparkan teori-teori di atas dan kenyataan yang ada, marilah kita merenungkan pertanyaan ini, “apakah ospek dengan metode baris-berbaris yang erat dengan relasi kuasa masih relevan hari ini?” mungkin artikel ini dipenuhi dengan subjektivitas saya, namun agaknya pertanyaan yang saya lontarkan tadi sangat patut kita refleksikan bersama.
Apakah ospek tanpa metode yang berbau feodal seperti di atas bisa tetap menyenangkan? Mental apa yang ingin dibentuk dari kegiatan mempermalukan orang dan merendahkan harkat maba? Mental pembalas dan pendendam? Mental pembenci kampus sendiri? Apakah ada ospek yang lebih menyenangkan?
Di tengah masa pandemi seperti ini, mustahil untuk mengadakan kegiatan berskala masif secara tatap muka─termasuk rangkaian penerimaan mahasiswa baru. Untuk orang-orang di luar sana yang sependapat dengan saya, inilah momentum untuk memutus rantai kebencian yang serupa ouroboros (ular yang menggigit ekornya sendiri) tersebut. Saat ini, hanya saat ini dan tidak ada lain kali.
Barangkali dengan momentum ini kita─mahasiswa─sebagai golongan terpelajar bisa merumuskan hal-hal yang lebih relevan dengan jiwa zaman kita dalam kegiatan ospek ini. Misalkan: bagaimana cara mendaftar jadi anggota perpustakaan, cara meminjam buku, dan mengenal workstation, tempat mana yang diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas guna mengerjakan tugas atau bikin skripsi kelak.
Tentunya hal ini tidak bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan, dalam proses transformasi budaya ini tentunya akan ada pertentangan dari berbagai pihak. Satu hal yang perlu diingat, cinta tidak akan dan tidak pernah lahir dari bentakan, hukuman, serta paksaan. Cinta lahir dari perhatian dan penghargaan akan keberadaan orang lain.