Kawan saya Idrus Shahab mengingatkan kita bahwa hari ini adalah tanggal kelahiran Ludwig van Beethoven (Bonn, 17 Desember 1770), lalu memori saya memencar ke berbagai arah di seputar legenda abadi musik modern itu. Idrus menyinggung soal elitisme musik klasik, dan membahas dengan baik aspek-aspek teknis Simfoni ke-5. Saya teringat saat menonton Qatar Youth Orchestra di Doha belasan tahun lalu — sebuah orkes yang kuat, himpunan anak-anak muda berbakat dari berbagai negara, dipimpin seorang konduktor Jerman.
Kami datang terburu-buru ke gedung konser, dan tak sempat membaca buku program. Ternyata lagu pembuka adalah Simfoni ke-5. Tanpa sadar saya meremas keras tangan kawan di samping kiri (bukan tangan Dubes Rozy Munir di sebelah kanan), ketika koor biola menghentak (konon pembuka 1st movement itu bernada begitu karena suatu sore, saat Beethoven melamun di ruang tengah rumahnya, tiba-tiba pintu rumahnya digedor seseorang; ia sangat terkejut, dan gedoran itulah yang diterjemahkan menjadi fanfare pembuka Simfoni ke-5).
Tapi saya sebenarnya tak pernah sanggup untuk mendengar komposisi itu sampai tuntas; rasanya di Doha itu pun pikiran saya segera melayang entah ke mana, setelah mendengar bagian-bagian tertentu Simfoni ke-5, terutama rintihan koor biolanya yang benar-benar seperti lolong ratapan; entah bagaimana Beethoven membuatnya.
Saya juga tak pernah tuntas mendengarkan Simfoni ke-6. Kata Idrus, kadang-kadang ekspresi kita hanya bisa diungkapkan dengan airmata — dan saya memang selalu, selalu menangis, tak pernah mampu membendung airmata, setiap mendengar kedua simfoni itu (juga yang ke-9!).
Dari sejumlah komposer yang kadang saya dengar, hanya Beethoven yang membuat saya terbisu dan mematung. Baiklah, Mozart, Bach, Brahms, Berlioz, bahkan Vivaldi dan Paganini, sangat memikat. Tapi Beethoven melampaui semua kategori. Beethoven adalah sesuatu yang tak terkatakan.
Kebisuan itu pula yang terjadi pada awal 1979, ketika saya menonton resital piano Mariama Djiwa Jenie di Jogja (Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka). Ia tampil dengan gaun panjang jingga, dengan rambut tergerai sampai ke pinggang. Saya belum pernah menonton konser musik klasik, dan sama sekali tak tahu lagu “Das Lebewohl” yang disebut akan dibawakan pianis Indonesia yang menetap di Austria itu (dan saat itu dinyatakan jadwal konsernya penuh hingga dua tahun ke depan).
Sonata itu, yang juga sering disebut dalam judul Prancis “Les Adieux”, benar-benar menyuarakan kepedihan hati karena perpisahan; membuat saya yakin: suara piano itu lebih fasih dibanding lirik yang mungkin disusun untuk lagu itu. Atas permintaan penonton, Mariama kembali muncul di panggung seusai pertunjukan, dan ia tentu paham apa yang harus ia berikan sebagai kado penutup: Fur Elise.
Tiga puluh lima tahun kemudian, ketika saya temui Mariama seusai konsernya di Salihara — dia memainkan begitu banyak komposisi rumit tanpa membaca partitur, termasuk dari jagoan kontemporer Aaron Copland — saya mengingatkan dia tentang konsernya di Jogja itu. Dia terbelalak, lalu mengaku ingat — dan saya tak yakin apakah ia perlu mengingat satu konser kecil di Jalan Sudirman Jogja di antara ratusan konsernya di seluruh dunia.
Beethoven juga mengingatkan saya pada Gus Dur, yang menggandrungi Simfoni ke-9 dan punya banyak rekaman versinya, berkat pemberian sahabat-sahabatnya. Beberapa bulan menjelang kematiannya (2005), kritikus Edward Said, profesor sastra yang juga pianis dan menulis buku tentang piano, menulis resensi 3 buku terbaru tentang simfoni itu di majalah The Nation. Sekali lagi: tiga buku tebal akademis tentang hanya satu lagu.
Simfoni ke-9 memang melahirkan banyak cerita, juga sejumlah kontroversi, karena ia dijadikan himne oleh beberapa negara, termasuk negara otoriter; juga menjadi semacam kebanggaan Nazi Hitler.
Di tengah proses pembuatannya, penyakit telinga Beethoven mencapai puncaknya dan ia tuli total. Bagaimana ia melanjutkan penyelesaian komposisi setengah-jadi itu? Hanya ada satu cara: dengan meraba-raba kemungkinan bunyi yang dia inginkan. Tidak ada cara lain. Saya berulang kali membayangkan cara kerja ini, dan selalu gagal — dan tak habis mengerti bagaimana ia menuntaskannya dengan sempurna; dengan menyelaraskan bunyi-bunyi baru ke dalam himpunan nada yang sudah ada, lalu menjadikannya sebagai komposisi utuh.
Ketika karya itu dipentaskan pertama kali di Wina, Beethoven hanya diam terduduk. Ratusan penonton berdiri untuk menghormati karya akbar itu sambil tak putus bertepuk tangan. Beethoven hanya terdiam dengan mata terbuka lebar — ia pasti mendengar gemuruh tepukan itu lebih jernih dengan hatinya ketimbang dengan telinganya.
Raksasa sejati itu belakangan diketahui tak menyadari bahaya air yang sehari-hari ia gunakan untuk minum dan mandi. Tanda-tanda di tubuh dan rambutnya menunjukkan bahwa ia menua sebelum waktunya. Jejak zat beracun masih terlihat di lima belas lembar rambutnya yang disimpan di pusat studi Beethoven di Universitas Colorado, Amerika (mereka membelinya dari pelelangan). Sebelum usia 57, ia berhenti; menyimpan begitu banyak nada ajaib yang dengan gelisah hanya bisa dibawanya ke liang lahat, tanpa pernah mampu lagi ia keluarkan.
Pernah saya menulis surat tentang dia kepada Alma Sophia untuk kado ulang tahunnya yang ke-10. Maksud saya agar ia mengapresiasi dan mengerti apa yang disebut musik. Alma membaca saran itu, dan ia tampaknya punya pendapat lain. Ia memilih sejumlah penyanyi dan musisi segenerasinya, dan saat ini menempatkan sang juara di antara mereka semua sebagai pujaannya: Billie Eilish. Tak mengapa. Jenius belia berambut hijau itu juga hebat dan sangat kreatif — sampai diminta menulis lagu tema untuk serial terbaru James Bond.
Siapa tahu Alma kelak mau menyimak Beethoven — lalu mengerti definisi musik. ***