Berita kegagalan ratusan murid SMA Negeri 3 Semarang merebut kursi impian di perguruan tinggi negeri favorit melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2016 memicu kemarahan para wali murid. Penyebabnya diduga terkait dengan sistem input data di Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS).
Belum terverifikasi di mana sumber masalahnya. Namun, kegagalan itu mengundang tanda tanya besar, karena seluruh siswa Jurusan IPA yang berjumlah 380 tak satu pun lolos. Suara iba dan empati banyak muncul dari masyarakat luas. Terlebih lagi sekolah itu sudah kondang sebagai sekolah unggulan.
Dalam iklim kompetisi yang sudah tersistematisasi begitu rapi semacam SNMPTN akan terdengar ganjil jika ada yang bertanya mengapa tak ada yang menaruh iba, misalnya, pada 22 ribuan anak-anak di SMA-SMA lain di Semarang? Bagaimana dengan anak-anak lulusan SMA di Kecamatan Juwangi, Boyolali, yang tidak terkenal, atau di pelosok Gunungkidul yang terpencil?
Ya, sistem kompetisi telah menetapkan strata-strata “nasib” yang bisa dijangkau anak berdasarkan asal sekolahnya. Kesempatan terbaik ada di sekolah-sekolah terbaik. Karena yang terbaik selalu minoritas, maka harus ada kompetisi. Kalau tidak mau kompetisi, siapkan saja uang banyak untuk masuk sekolah swasta elite berkilau yang bertaraf dan bertarif elite juga. Tidak sanggup? Cukup terima saja realita dan nasib; tak ada alasan menunggu tersedianya sekolah berkualitas dalam jumlah yang layak.
Bukan hanya lama, paradigma selective system of schooling tidak bergegas mengarah ke sana karena dua hal. Pertama, paradigma itu meniscayakan konsentrasi kompetisi lebih pada satu arus besar ketimbang distribusi ke banyak arus yang variatif. Anak-anak di Boyolali maupun di Gunungkidul bersaing di medan yang sama bukan hanya dengan rekan-rekan mereka dari SMA 3 Semarang jauh lebih keren, tapi dari seluruh Indonesia.
Yang terbaik dari luar Jawa juga ikut mengadu nasib di perguruan tinggi negeri di Jawa, karena di Jawa-lah pusat perguruan tinggi terbaik. Di luar Jawa, banyak perguruan tinggi, tapi semua adalah varian-varian yang sama dengan yang di Jawa pada strata yang berbeda.
Kedua, paradigma selektif meniscayakan pengutamaan “seleksi produk akhir” ketimbang penguatan elemen-elemen yang menentukan kualitas produk akhir tersebut. Ini sangat terlihat jelas dengan titik berat evaluasi pendidikan pada Ujian Nasional (UN), yang dalam terminologi konsep standar mutu pendidikan pemerintah menempati urutan pertama, yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Ada kecenderungan kuat ketujuh standar lainnya, yakni isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, keuangan, dan evaluasi, hanya menjadi pelengkap untuk sebatas menuju angka-angka hasil UN, bukan SKL yang sesungguhnya. Sehingga, evaluasi maupun kalibrasi terhadap ketujuh unsur itu, sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, tidak akan pernah setara hebohnya dengan UN.
UN telah dianggap sebagai indikator pokok (kalau bukan satu-satunya) keberhasilan pendidikan, sehingga UN dipandang sebagai representasi dari ketujuh unsur tersebut. Dengan kata lain, memang tak ada desain program yang jelas mengarah kepada tujuan semua sekolah yang diselenggarakan pemerintah (di mana pun tempatnya) adalah sekolah unggulan.
Masyarakat sebagai pemangku utama kepentingan atas pendidikan, kalau bukan tak mendapat akses memadai, tidak peduli pada hal-hal yang terkait dengan bagaimana ketujuh unsur tadi dievaluasi pemerintah. Sebab, urusan nasib yang ditentukan UN sudah cukup merepotkan dan menyita perhatian. Ikut kompetisi? Silakan. Tidak mau? Minggir.
Bukan kebetulan bahwa istilah “kurikulum” yang menjadi urat nadi penyelenggaraan pendidikan di sekolah formal berasal dari kata curriculum dalam bahasa Yunani, yang berarti “jarak tempuh pelari”, dengan kemungkinan akar kata curir (pelari) atau curere (tempat balapan lari).
Istilah kurikulum mulai diadopsi ke dunia pendidikan pada abad ke-17 oleh University of Glasgow, Inggris, untuk merujuk ke pengertian program pembelajaran yang direncanakan atau diarahkan oleh institusi pendidikan.
Walaupun telah melalui proses panjang modernisasi, semangat dasar “pacuan” yang melekat dalam istilah itu terbawa abadi sampai kini. Bahwa, dalam belajar anak harus dipacu, dikompetisikan dan diperbandingkan, baik dengan sesamanya maupun dengan target yang sudah ditetapkan atau distandarkan.
Di satu sisi, standardisasi memudahkan pengukuran secara massal, cepat, dan murah. Tapi dalam praktiknya, sering standardisasi yang semestinya menjadi alat bantu, menjadi begitu perkasa sehingga mengorbankan bagian yang sangat mendasar dan mahal: terberangusnya potensi keunikan, keragaman, kreativitas, dan imajinasi.
Mari resapi contoh ilustrasi situasional berikut ini:
Di sebuah kelas Sekolah Dasar dengan tema laut, guru menerangkan berbagai pengetahuan tentang laut sebagaimana tertulis di buku dan ditetapkan dalam kurikulum. Lalu, pada akhir pelajaran, guru mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan sejenis: “Sebutkan empat tingkat zona laut.” Anak menjawab tepat dengan istilah-istilah asingnya: “Litoral, Neritik, Batial, Abisal.” Tercapailah “target” pembelajaran.
Di kelas lain, guru memulai dengan pertanyaan, “Apakah kamu pernah pergi ke laut?”; “Apa saja yang kamu lihat di sana?”; “Apa yang bisa kamu lakukan dengan hewan atau benda-benda yang kamu lihat di laut?” dan seterusnya. Jawabannya bisa sangat beragam. Berbagai pengetahuan tentang laut dialirkan guru, mengiringi antusiasme dan minat anak-anak dalam suasana interaktif yang menyenangkan.
Sangat mungkin “target” pengetahuan dalam buku tidak semuanya terserap anak, karena dalam evaluasi, guru pun idak fokus semata-mata pada benar-salah jawaban anak sesuai buku. Dan, karena itu, tidak praktis mengukurnya, apalagi mengkompetisikannya.
Namun, pengalaman dalam kelas menginspirasi anak untuk mencari banyak pengetahuan tentang laut, membangun impian-impian terkait dengan laut, mengembangkan imajinasi, memupuk bibit kreativitas, dan lain-lain. Bisa muncul ekspresi ceria anak yang terinspirasi ingin menjadi pengusaha nugget ikan, masuk Angkatan Laut, menjadi kapten kapal, ahli biota laut, … apa saja.
Situasi pertama akan cocok dengan paradigma selektif-kompetitif, memudahkan guru, sekolah dan otoritas pendidikan mengukur “pencapaian” belajar. Sedangkan situasi kedua, hasilnya tidak akan bisa diproses oleh mesin komputer dalam sistem UN atau SNMPTN. Situasi kedua akan lebih cocok pada paradigma comprehensive system of schooling, yang semakin banyak dianut negara-negara maju, terutama di Eropa. Sistem ini menanggalkan tes terstandarkan bertaruhan tinggi (high-stake standardized testing) sebagaimana UN.
Pada situasi pertama seorang Menteri Pendidikan akan mudah dan cepat mengklaim keberhasilan pendidikan dengan angka 90 atau 100 persen lulus UN. Tapi, pada situasi kedua, Menteri Pendidikan baru bisa tersenyum atau murung 10-20 tahun lagi ketika anak-anak telah mendapatkan peran kehidupannya.
Sekarang tinggal pilih, pendidikan untuk masa depan anak-anak atau kepuasan Menteri Pendidikan beserta jajarannya? Larut meratapi kegagalan anak-anak SMA Negeri 3 Semarang, atau mulai menyiapkan cakrawala luas bagi cita-cita anak-anak Indonesia. Cita-cita yang mungkin tak terjangkau definisi target kurikulum.