Jumat, Maret 29, 2024

Sekolah Ibu, Sebuah Tameng Keangkuhan Laki-Laki

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.

Sebagian warganet gerah membaca unggahan media sosial Wakil Bupati Bandung Barat, Hengky Kurniawan pada 27 Desember 2018 lalu terkait Sekolah Ibu yang digadang-gadangnya. Gagasan ini didahuluinya dengan latar belakang kasus perceraian di wilayah tempatnya bertugas yang mencapai 244 buah. Kata Hengky, dalam program Sekolah Ibu tersebut, perempuan akan diberikan pemahaman tentang berumah tangga. Perempuan juga akan diberi pengarahan tentang cara bersikap menghadapi suami serta berkomunikasi dengan anak-anak.

Ujaran Hengky ini ditangkap bernada misoginis oleh warganet-warganet tadi, termasuk saya. Gatal rasanya melihat pejabat laki-laki mengutarakan gagasannya yang menyudutkan perempuan, lalu mendikte bagaimana seharusnya mereka berlaku. Jika gagasan Sekolah Ibu ini ditempelkan dengan latar belakang angka perceraian di Kabupaten Bandung Barat, saya menangkap adanya sikap menyalahkan perempuan atas kegagalan rumah tangga mereka—sekalipun dalam caption Hengky yang sudah direvisi, ia menegaskan bahwa tidak bermaksud melakukan hal tersebut. Justifikasi yang dibawa-bawa Hengky—soal suksesnya program Sekolah Ibu di Bogor, apresiasi dari Gubernur Jawa Barat, serta pemateri yang terdiri dari para profesional—tidak serta merta membersihkan gagasannya dari selimut patriarki.

Boleh saja dia mengaku tidak berintensi menyerang perempuan, tetapi narasinya tetap gagal menyembunyikan hal buruk tersebut. Menyuruh perempuan mengikuti Sekolah Ibu sementara hal serupa tidak diberlakukan untuk para laki-laki atau suami jelas mengindikasikan adanya ketimpangan posisi di mana perempuan menjadi yang inferior. Perempuan yang dianggap ‘kurang terdidik’ dibanding laki-laki dalam hal mengurus rumah tangga.

Gagasan Hengky sebelas dua belas intinya dengan yang pernah dicuitkan Mahfud MD tepat pada Hari Ibu lalu. Katanya, baik buruk negara ditentukan kaum ibu dan banyak tokoh besar yang jatuh lantaran istrinya tamak; anaknya sesat karena ibunya tidak benar. Keduanya menurut saya sama-sama bentuk mansplaining yang menjadi salah satu pupuk ketidakadilan terhadap perempuan.

Lebih lanjut, pesan Hengky meneguhkan peran gender tradisional yang tidak adil bagi perempuan. Lagi-lagi, perempuan yang dilekatkan dengan peran domestik seperti mengurus anak. Lantas laki-laki sudah sejak dari sananya mengerti bagaimana mengurus atau berkomunikasi dengan anak, begitu? Pekerjaan mendidik anak tidak sepatutnya diletakkan di bahu perempuan tok. Lha wong keputusan untuk berkeluarga dan beranak-pinak diambil laki-laki dan perempuan. Lalu mau konsekuensinya dilepehkan laki-laki ke perempuan saja?

Bagian pesan yang menyinggung ‘menghadapi suami’ memperjelas dikte tidak adil terhadap perempuan. Gagasan ini paling konyol menurut saya karena perihal menghadapi pasangan adalah tugas setiap orang yang memutuskan hidup bersama. Kalau mau adil, ya terapkan sekolah atau kursus berumah tangga buat kedua gender. Lalu, hal lain yang saya kritik adalah kesan bahwa laki-laki seperti sesuatu yang saklek dan egois. Saklek seolah-olah dialah sang matahari dan pasangannya yang berputar mengelilinginya. Egois dalam artian ia bisa berlaku seperti apa pun, sementara perempuan mesti putar otak atau bahkan jumpalitan buat menghadapinya. Relasi sehat tidak pernah berjalan seperti itu. Tidak ada satu orang pun yang pantas menjadi sentral dan diperlakukan lebih istimewa dibanding lainnya.

Lalu, jika saya kaitkan pesan ‘menghadapi suami’ dengan konteks perceraian, alternatif solusinya bukan sekolah yang timpang gender macam ini. Memang susah bagi sebagian orang, tapi pertama-tama yang bisa dilakukan adalah latihan berkomunikasi jujur kepada satu sama lain. Banyak perempuan yang manut dan takut sama suami berkat doktrin laki-laki adalah kepala, dependensi secara finansial, alasan demi anak, atau hal-hal lainnya. Namun, bak menyimpan bangkai lama-lama, sikap tersebut cuma bakal mengundang penyakit pada akhirnya, baik bagi diri si perempuan sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Konsultasi relasi dengan psikolog seperti yang digembar-gemborkan Hengky boleh-boleh saja, bagus malah, tapi bukan hanya ditujukan buat para perempuan. Kenapa tidak menjajal datang berdua? Apa memang benar, ada gengsi bagi laki-laki untuk datang ke psikolog dan mengekspresikan emosinya di hadapan orang asing?

Kembali lagi, yang menggerakkan relasi adalah dua pihak sehingga menjadi suatu kecurangan kalau yang berusaha cuma perempuan saja.

Pikiran macam Hengky atau Mahfud tadi tidak eksklusif punya laki-laki saja. Jauh sebelum merdeka, pada era pemerintahan Suharto, sampai sekarang pun, banyak perempuan yang sejalan dengan mereka. Akhir tahun 1920-an, R.A. Soekonto, seorang ibu kalangan atas utusan Wanito Utomo dalam Kongres Perempuan I, menyatakan ada setidaknya tiga belas hal yang patut dilakukan perempuan (harus rajin, cekatan, bersih, sabar tapi jangan lamban, dll). Soal perempuan harus rajin, ia menjabarkan lebih lanjut bahwa jika perempuan bangun lebih pagi, ia mesti langsung membersihkan rumah dan mandi. Kalau sudah bersuami, dia harus membuat sarapan dan minuman buat suami dan anaknya, serta menjalankan macam-macam tugas domestik lainnya.

Semasa Orde Baru, peran gender tradisional dilanggengkan lewat Panca Dharma Wanita dan diamini serta dipromosikan oleh banyak perempuan. Masa kini, hal tersebut masih juga digaungkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Salah satu caranya dengan menggandeng narasi-narasi religius sehingga harapannya, perempuan lebih nrimo ‘kodratnya’.

Tekanan dari kedua gender, laki-laki dan sesama perempuan sendiri, menggandakan ganjalan untuk mewujudkan sikap adil kepada perempuan. Bersuara menentang dikte-dikte misonginis menjadi semakin susah dilakukan perempuan ketika dikte tersebut datang dari yang punya otoritas atau dipandang tinggi oleh masyarakat. Kalaupun seorang pejabat bisa segera ditekan sebagian orang untuk tidak bersikap misoginis, butuh perjuangan lebih besar dan waktu lebih lama untuk mendorong sebagian orang lainnya untuk melepaskan pola pikir menyalahkan perempuan.

Kesadaran akan sesuatu tidak pernah jatuh begitu saja dari langit. Walau panjang dan terjal, jalan satu-satunya yang bisa para perempuan tempuh saat ini untuk menghadapi sikap misoginis ialah menggandeng orang-orang yang sama-sama gerah terhadap hal tersebut untuk terus buka suara. Tak mengapa baru sejengkal langkah yang bisa diambil. Usaha bersama yang terus dijalankan bisa mengamplifikasi kesadaran untuk bersikap adil terhadap semua gender, hingga akhirnya dapat menolong mereka yang masih tersudutkan doktrin dan sikap diskriminatif sebagian masyarakat.

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.