Untuk pertama kalinya dalam rentang dua milenium yang mencengangkan, sejak Petrus sang Rasul mendirikan fondasi Gereja Katolik, tampuk kepemimpinan tertinggi kini beralih ke sosok yang berakar di tanah Amerika. Dari jantung kota Chicago yang berangin, di mana hiruk pikuk kehidupan urban berpadu dengan kehangatan komunitas pinggiran kota, muncul seorang putra bangsa yang takdirnya kini mengukir sejarah abadi. Kardinal Robert Pos, dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan yang terpancar, kini mengemban amanah suci sebagai Paus Leo XIV.
Perjalanan hidupnya adalah mozaik yang kaya, terentang jauh melampaui batas-batas Illinois. Masa kecilnya yang tenang di Midwestern menjadi landasan bagi jiwa yang kelak menjelajah berbagai penjuru dunia sebagai seorang misionaris yang berdedikasi. Pengalaman berinteraksi dengan beragam budaya dan pergumulan umat manusia di belahan bumi lain menempa pandangannya menjadi luas dan empatik.
Lebih dari sekadar seorang tokoh agama, Paus Leo XIV dikenal sebagai suara kenabian yang tak gentar menyuarakan keadilan. Beliau lantang mengkritisi kebijakan-kebijakan kontroversial, termasuk pandangan mantan Presiden Donald Trump, dengan berani membela hak-hak kaum imigran yang termarjinalkan, dan dengan gigih menyerukan aksi nyata dalam menghadapi krisis iklim yang mengancam masa depan bumi.
Sebuah era baru telah dimulai di Vatikan. Untuk pertama kalinya dalam 2000 tahun sejarah kepausan yang kaya dan berliku, pucuk pimpinan Gereja Katolik tidak lagi dipegang oleh tokoh yang lahir dan besar di tanah Italia yang sarat tradisi, Spanyol yang megah dengan warisan Katoliknya, maupun Argentina yang melahirkan pemimpin kharismatik sebelumnya. Melainkan, tongkat estafet kepemimpinan kini berada di tangan seorang gembala jiwa yang akarnya tertanam kuat di sisi selatan Chicago yang penuh semangat dan keberagaman.
Kehadiran paus Amerika pertama ini bukan sekadar catatan kaki dalam buku sejarah, melainkan sebuah babak monumental yang menandai pergeseran zaman dan membuka cakrawala baru bagi Gereja Katolik di seluruh dunia. Sebuah harapan membumbung tinggi, bahwa di tengah pusaran politik global yang sering kali dilanda perpecahan, kepemimpinan Paus Leo XIV akan menjadi kompas yang menuntun umat manusia menuju arah yang lebih baik, lebih adil, dan lebih penuh kasih. Mari kita sambut dengan hati terbuka, Paus Leo XIV, yang dahulunya dikenal sebagai Kardinal Robert Francis Pvost.
Kejadian ini, terpilihnya seorang putra Amerika menjadi Paus Leo XIV, bukanlah sekadar peristiwa biasa, melainkan sebuah simfoni takdir ilahi yang dimainkan pada saat yang tepat. Dalam misteri yang tak terduga, Roh Kudus selalu menghadirkan kejutan-kejutan yang menggugah jiwa, sebuah bukti nyata akan dinamika dan vitalitas Gereja Katolik yang tak pernah lekang oleh waktu. Perjalanan epik Paus Leo XIV dimulai dari kesederhanaan pinggiran kota Dalton, Illinois, sebuah lanskap yang tenang dan penuh kedamaian. Di sinilah, di tengah kehangatan komunitas Midwestern, benih-benih panggilan sucinya mulai bertunas.
Lahir di kota Chicago yang penuh warna pada tahun 1955, Robert Francis Pvost tumbuh dalam dekapan keluarga Katolik yang taat, di mana nilai-nilai iman tertanam kuat dalam setiap aspek kehidupan. 1 Kecerdasan intelektualnya membawanya meraih gelar di bidang matematika, sebuah disiplin ilmu yang melatih ketelitian dan logika. Namun, panggilan yang lebih dalam, panggilan untuk melayani Tuhan dan sesama, membimbingnya menuju jalan imamat.
Beliau memperdalam pemahaman teologisnya di Catholic Theological Union di Chicago, sebelum melangkah lebih jauh ke kota abadi Roma, pusat peradaban Katolik, di mana beliau meraih gelar doktor dalam hukum kanon, sebuah bukti akan dedikasi dan keunggulan akademisnya. Meskipun telah mencapai puncak keilmuan dan kini memegang tampuk kepemimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus Leo XIV tidak pernah melupakan akarnya. Beliau tetap terhubung dengan komunitasnya di Illinois, terdaftar sebagai pemilih, dan aktif menggunakan hak suaranya, sebuah simbol dari komitmennya terhadap demokrasi dan keterlibatan sipil.
Di era media sosial yang serba cepat dan transparan ini, Paus Leo XIV tidak ragu untuk menyuarakan pandangannya tentang isu-isu penting yang mempengaruhi umat manusia. Pada bulan April, menjelang pemilihan kepausannya, beliau mengunggah sebuah pernyataan yang menggugah hati, mengecam penanganan pemerintah AS terhadap deportasi yang salah terhadap Kilmar Abrego Garcia. Dengan nada yang penuh keprihatinan, beliau bertanya, “Tidakkah kamu melihat penderitaan ini? Tidakkah hati nuranimu terganggu?” Sebuah seruan yang menggema, mengingatkan kita akan pentingnya empati dan keadilan.
Dalam sebuah unggahan tahun 2024, beliau mengkritik argumen Wakil Presiden JD Vance mengenai prioritas cinta umat Kristen, mengutip artikel yang menekankan bahwa pandangan Vance bertentangan dengan ajaran Yesus yang mengajarkan cinta kasih universal. Selama bertahun-tahun, beliau telah menjadi suara lantang bagi para migran, menyerukan perlindungan dan dukungan yang lebih kuat bagi mereka yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Pada tahun 2018, beliau mengecam kebijakan kontroversial pemerintahan Trump yang memisahkan keluarga migran di perbatasan AS, sebuah tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Setahun sebelumnya, pada tahun 2017, beliau mendukung pernyataan yang menentang keras pendekatan Tim Trump terhadap program DACA, yang melindungi imigran tidak berdokumen yang dibawa ke AS sejak kecil, sebuah bukti dari komitmennya terhadap keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia.
Meskipun Paus Leo XIV mencatatkan sejarah sebagai Paus Amerika pertama, pandangannya tentang tanggung jawab kita terhadap bumi tercinta menunjukkan keselarasan yang kuat dengan pendahulunya, Paus Fransiskus. Dalam sebuah seminar yang digelar pada tahun 2024, beliau menyampaikan peringatan yang menggugah kesadaran, mengingatkan umat manusia agar tidak menyalahgunakan kekuasaan atas alam dan mengubahnya menjadi bentuk tirani.
Beliau mendesak umat beriman untuk bergerak melampaui retorika dan mengambil tindakan nyata dalam melindungi lingkungan. Beliau memuji inisiatif-inisiatif hijau yang telah diterapkan di Vatikan, seperti pemasangan panel surya dan penggunaan kendaraan listrik, sebagai contoh konkret dari komitmen Gereja terhadap keberlanjutan. Beliau juga memperingatkan tentang bahaya perkembangan teknologi yang tidak terkendali, mengingatkan kita untuk selalu mengedepankan etika dan kebijaksanaan dalam memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kritiknya terhadap Wakil Presiden JD Vance, dukungannya terhadap hak-hak imigran, dan simpatinya terhadap gerakan Black Lives Matter telah memicu reaksi beragam dari berbagai kalangan. Kaum konservatif dan loyalis MAGA, khususnya, tidak menyambut baik terpilihnya beliau, melihatnya sebagai sosok yang terlalu progresif. Sementara sebagian besar umat Katolik Amerika merasa bangga melihat seorang putra Chicago naik ke tampuk kepemimpinan tertinggi Gereja, beberapa pihak lain melabelinya sebagai seorang Marxis “woke”, sebuah istilah yang mencerminkan polarisasi politik yang mendalam di masyarakat.
Di tengah gelombang polarisasi global yang memecah belah umat manusia, Paus Leo XIV hadir sebagai sosok yang berpotensi menjadi jembatan perdamaian dan simbol perubahan. Beliau adalah seorang Amerika, namun pengalaman hidupnya yang kaya, termasuk dekade yang dihabiskan di Peru, telah memperluas cakrawala pandangannya dan memberinya pemahaman yang mendalam tentang realitas global.
Beliau adalah seorang gembala jiwa yang memiliki kepekaan pastoral yang tinggi, namun juga seorang pemimpin yang sadar akan dinamika politik dunia. Beliau berakar kuat pada tradisi Gereja Katolik yang berusia berabad-abad, namun tidak takut untuk mendorong perubahan yang konstruktif, seorang yang sama nyamannya saat mengutip ayat-ayat Injil maupun berdialog dengan masyarakat dari berbagai latar belakang.