Pekan ini saya mengajak mahasiswi/a membaca karya Romo Giulio Basetti-Sani berjudul The Koran in the Light of Christ. Buku ini terbit tahun 1977 dan terbilang tidak up to date. Penulisnya sendiri bukan sarjana tentang Islam yang terkenal. Tidak banyak orang mendengar namanya. Bahkan, di kalangan umat Katolik sendiri.
Dia lahir di Italia tahun 1912 dan meninggal lima belas tahun lalu. Menghabiskan 21 tahun hidupnya mengajar di Seminari Fransiskan di Mesir, ia punya minat mendalam tentang Nabi Muhammad dan Islam.
Bukunya itu berisi cerita personal bagaimana dia tertarik belajar tentang sejarah hidup Nabi dan al-Qur’an. Itu bukan karya ilmiah dalam pengertian yang umum saat ini. Ingat, buku itu ditulis tahun 70-an dan perkembangan kajian Islam di Barat, termasuk di Italia, sekarang sudah jauh berkembang. Tapi buku itu menarik karena memuat keterangan langsung penulisnya yang disampaikan secara terbuka.
Walaupun untuk mahasiswi/a S1, saya kerap memberikan bacaan “sumber utama” (primary sources), dokumen dari penulis aslinya. Ini memang tradisi penggunaan sumber bacaan dalam banyak kampus di Amerika. Tidak seperti kampus-kampus di Indonesia yang menggunakan buku diktat atau sumber kedua (secondary sources).
Misalnya, ketika belajar biografi Nabi, mahasiswi/a di kelas saya membaca karya Ibnu Hisyam sendiri. Untuk sesi tentang al-Qur’an, kami langsung membaca al-Qur’an, bukan buku tentang al-Qur’an yang ditulis orang belakangan. Demikian juga untuk kelas tentang Alkitab dan doktrin Kristen.
Kesan saya, banyak mahasiswa dan penulis muda di Tanah Air kerap menyebut nama-nama penulis keren dari Barat, seperti Althusser, Heidegger, Bourdieu atau Foucault. Tapi sebenarnya mereka tak pernah membaca karya-karya mereka, melainkan dari sumber kedua atau bacaan orang lain.
Memang, menyebut nama-nama beken itu seolah menjadikan kita terkesan intelek atau tulisan jadi mentereng. Ini persepsi yang salah. Dan kesalahan itu dapat dirunut jauh ke sistem pendidikan kita yang mencekoki mahasiswa dengan diktat. Celakanya, ada suatu masa di mana penulisan diktat atau buku ajar menjadi proyek departemen/kementerian tertentu.
Dari Caci Maki menuju Apresiasi
Kembali ke karya Romo Giulio. Sehari sebelum kelas itu, seorang mahasiswi Muslim menulis email terkait The Koran in the Light of Christ yang berisi caci-maki terhadap Nabi Muhammad. “I am doing tomorrow’s reading and it is making me extremely uncomfortable,” tulisnya. “As a Muslim I find this author to be very offensive and I am struggling to get through the reading as he is denouncing many things that I hold dear to my heart and that are mentioned in the Qur’an. I just thought I should speak up and let you know my personal response to this reading.”
Saya sangat memahami perasaannya. (Dosen memang harus memahami perasaan mahasiswinya!) Saya membalas emailnya dan menyarankan supaya dia membaca buku itu hingga tuntas. Beberapa jam kemudian, dia kirim email balasan dengan kalimat pembuka yang tulus: “Apologies for overreacting, the first couple of pages were hard to read and I should have waited until the end to make my assumptions of the reading.”
Dia juga menutup emailnya dengan kata-kata yang menyentuh perasaan saya: “Sometimes I let emotion get the best of me especially when I read things so insulting to my own religion but it shows that we have to be calm and assess the situation as a whole before making assumptions.”
Apa yang menyebabkan mahasiswi ini bereaksi sedemikian rupa? Mengapa dia menganggap buku itu “mencaci maki banyak hal yang aku pegang-teguh sebagai begitu agung dalam hatiku”?
Di awal buku itu, Giulio menceritakan pengalamannya bagaimana dia mengenal Islam dari penulis-penulis Kristen polemisis yang mengatakan tak ada satu poin pun yang baik tentang Islam dan kaum Muslim. Lihat, bagaimana kaum Muslim memperlakukan umat agama lain sebagai warga negara kelas dua. Lihat pula penderitaan yang dialami sebagian umat Kristiani di banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Maka, bacaan dan pengalaman koleganya itu membentuk cara pandang Giulio terhadap Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Apa yang diajarkan Muhammad, katanya, pastilah bersumber dari setan. Mana mungkin seorang Nabi mengajarkan kekerasan dan kebencian. Mana mungkin seorang Nabi menyemangati umatnya untuk bersikap beringas dan diskriminatif. Mana mungkin seorang Nabi memerintahkan umatnya menghalalkan segala cara untuk memberangus hak-hak pihak lain dengan alasan keagamaan.
Saya membayangkan, kolega-kolega Romo Giulio berhadapan dengan kelompok-kelompok Muslim seperti yang digambarkan Buya Syafii Maarif sebagai “preman berjubah”. Kemudian mereka bertanya, apa mungkin Nabi Muhammad merestui cara-cara dakwah mereka yang begitu melenceng dari pesan-pesan Kitab Sucinya? Cara dakwah “preman berjubah” itu tidak memunculkan rasa simpati, baik di kalangan kaum Muslim, apalagi umat agama lain.
Maka, tak perlu heran, kalau orang “luar” seperti Giulio akan punya kesan kuat: Jika perilaku “preman berjubah” itu seperti yang diajarkan oleh al-Qur’an, pastilah kitab itu tak lebih dari instrumen setan untuk mengikis keimanan umat Kristiani.
Tapi, beruntunglah di kalangan Kristen juga terdapat sejumlah Romo dan sarjana yang menekuni Islam dari sumber aslinya, bukan dari kesan jalanan seperti dipraktikkan kalangan “preman berjubah”. Giulio sendiri menceritakan pertemuannya dengan Romo Louis Massignon, seorang Katolik yang menghabiskan hidupnya mempelajari tradisi Islam. Massignon disebut-sebut punya peran penting dalam perumusan sikap Gereja terhadap agama lain yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan 2.
Adalah Massignon yang mengajarkan Giulio untuk tekun membaca al-Qur’an dan sirah Nabi, melihat apa yang tersurat dan tersirat. Semakin didalaminya semakin dia tahu pesan-pesan profetik untuk kemanusiaan. Rasa apresiasi terhadap Islam pun muncul. Kekagumannya pada figur Nabi dan untaian kalimat al-Qur’an diuraikan begitu detail dan indah dalam bagian akhir bukunya.
Merajut Dunia Lebih Baik
Sebagai seorang Romo yang taat pada ajaran Katolik, Giulio membaca al-Qur’an bukan sebagai rival Alkitab, apalagi hendak menghapuskannya. Baginya, al-Qur’an dan Alkitab dapat dibaca bersandingan. Dia memahami berbagai aspek tentang Yesus dan Kristen dalam Kitab Suci kaum Muslim bukan untuk mendiskreditkan keyakinannya.
Demikianlah dia membaca al-Qur’an dalam siraman Kristus. Orang dapat saja mempersoalkan model pembacaan Giulio karena terlalu Kristen seolah al-Qur’an itu kitabnya umat Kristiani. Dia memberikan pembelaan sekadarnya. Katanya, “kalau saya membaca al-Qur’an dengan sudut pandang Kristen, lalu apa salahnya?”
Dia yakin bahwa setiap pembaca membawa perspektifnya sendiri, apakah dia Kristen atau Muslim atau ateis. Kaum Muslim sendiri memahami Kitab Suci mereka secara berbed-beda.
Bagi saya, tak penting kita memperdebatkan vadilitas bacaannya terhadap al-Qur’an. Saya lebih tertarik mengamati bagaimana transformasi pemikirannya terjadi dan bagaimana perilaku sebagian kaum Muslim telah turut membentuk cara pandang negatif terhadap agama Islam. Syukurlah di kalangan Kristen ada orang-orang seperti Massignon yang menyelamatkannya dari arus kebencian dan kefanatikan yang dari dulu menjadi sumber malapetaka kehidupan antar-agama.
Maka, jangan gebabah membuat penilaian terhadap kelompok atau agama lain. Jangan suka melakukan generalisasi: Semua orang Kristen memusuhi kaum Muslim. Atau, semua orang Barat hendak menghancurkan Islam. Lihat kasus Romo Giulio. Adalah seorang Kristen lain yang membukakan matanya melihat hal-hal baik dalam Islam.
Itulah juga yang dirasakan mahasiswi di atas ketika mengatakan, “Kita harus tenang dan menilai situasi secara keseluruhan sebelum membuat asumsi-asumsi.”
Bahwa ada problem serius dalam hubungan Muslim-Kristen tak perlu ditutup-tutupi. Sejarah panjang pertautan Islam-Kristen memang berliku dan kadang konfliktual. Tapi, kita juga tak dapat memungkiri adanya momen-momen persahabatan dan kolaborasi dalam sejarah hubungan kedua umat beragama. Pesan Konsili Vatikan 2 cukup jelas: Mari lupakan kekelaman hubungan masa lalu yang sulit itu demi merajut kehidupan dunia di masa depan yang lebih baik.
Pentingnya meretas kehidupan harmonis telah dicontohkan secara simbolik oleh para tokoh kedua agama. Lihat bagaimana Syeikh al-Azhar dan Paus bersalaman dan berpelukan. Itu punya makna simbolik yang dalam dan perlu diterjemahkan ke dalam kerja-kerja normatif dan praksis di tingkat akar rumput. Tak ada ketegangan di antara mereka. Masa caci-maki dalam hubungan Islam dan Kristen sudah berakhir atau harus segera diakhiri.
Saling tuduh atau tebar kebencian tak pernah membantu citra agama mana pun. Mengerahkan massa untuk mengdiskreditkan pihak-pihak lain tak akan memunculkan rasa simpatik. Apalagi jika itu dilakukan dengan menyalahfungsikan isu agama. Coba camkan ketulusan tutur kata mahasiswi di atas: “Kadang-kadang emosi mengalahkan (potensi) terbaik dalam diriku.”
Apa yang saya lakukan di kelas itu hanya setetes embun pagi demi menyongsong hari yang cerah. Banyak orang melakukan seperti, dan melebihi, yang saya lakukan. Namun, tetesan embun itu akan sirna belaka disapu panasnya wacana dan perilaku sangar mereka yang tak menghendaki kehidupan dunia yang lebih damai.
Agama mengajarkan, upaya-upaya sekecil apa pun perlu terus dilakukan tanpa rasa putus asa. Ayo kita tetap gelorakan semangat merajut masa depan yang lebih toleran!
Baca: