Pada 26 September 2016, genap setahun pembantaian yang merenggut nyawa Salim Kancil. Ia dibunuh karena menolak kegiatan tambang pasir di Desa Selok Awar Awar Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Dalam peristiwa tersebut, Komnas HAM pernah menyampaikan pernyataan bahwa ada pembiaran aparat kepolisian karena sebelumnya ancaman terhadap Salim Kancil dan kelompoknya telah dilaporkan ke polisi namun tidak ada langkah pencegahan sampai terjadinya pembantaian itu. Pada saat kejadian, diduga ada mobil polisi yang hanya lewat saja padahal nyawa Salim Kancil saat itu mungkin masih bisa diselamatkan jika polisi bertindak cepat.
Proses hukum hanya berhenti di tingkat kepala desa yang telah divonis penjara selama 20 tahu. Sedangkan aktor-aktor lain yang diduga melakukan pembiaran, tidak diusut dan ditindak.
Kejadian tersebut adalah puncak gunung es dari anomali fungsi negara yang berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Alih-alih melindungi, dalam peristiwa Salim Kancil, kepala desa sebagai representasi dari kehadiran negara justru terlibat dan menjadi pelaku utama. Pun dengan polisi dan pemerintah daerah yang diduga melakukan pembiaran.
Studi yang dilakukan oleh Indonesia Legal Roundtable yang dipimpin oleh advokat senior Todung Mulya Lubis menyampaikan bahwa pada 2015, indeks perlindungan HAM menurun drastis. Ini berarti kualitas kinerja negara dalam melindungi HAM memburuk dibandingkan tahun 2014.
Fungsi negara melalui lembaga dan aparat penyelenggara pemerintahan baik di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk melindungi HAM kurang berjalan optimal. Negara seharusnya melindungi setiap orang dari tindakan pihak ketiga yang bisa berakibat pada pelanggaran HAM. Sebab, negara melalui aparatnya telah diberikan instrumen berupa kewenangan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Komnas HAM antara 2012 – 2015 menerima setidaknya puluhan pengaduan dari pembela HAM di Indonesia yang begerak pada isu lingkungan, agraria, perburuhan, anti-korupsi, jurnalistik, pendidikan, LGBT, dan kebebasan mengemukakan pendapat. Mereka melaporkan ancaman yang mereka terima sebagai dampak dari aktivitasnya membela HAM.
Di tingkat internasional, menurut catatan dari Global Witness, sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang HAM, sepanjang tahun 2002 – 2014, 991 orang pembela lingkungan dan HAM di berbagai belahan dunia tewas dibunuh. Pada 2014, sebanyak 116 pembela lingkungan dan HAM tewas dibunuh di 17 negara atau rata-rata dua orang dibunuh setiap minggunya.
Pembunuhan paling banyak terjadi di benua Amerika Selatan dan Tengah, disusul di Asia Tenggara. Secara spesifik terbanyak terjadi di negara Brasil, Kolumbia, Filipina, dan Honduras.
Selain ancaman pembunuhan, para pembela lingkungan dan HAM menerima ancaman kriminalisasi atas aktivitasnya. Instrumen hukum yang semestinya diselaraskan dengan berbagai instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi, misalnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, ternyata tidak sedikit yang bergerak ke arah yang sebaliknya.
Hal ini, misalnya, terlihat pada Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara yang lebih banyak menguntungkan korporasi daripada masyarakat lokal dan adat, dan Undang-Undang tentang Kehutanan yang mengkriminalkan aktivitas masyarakat lokal dan adat di dalam hutan.
Walhasil, dengan kondisi demikian, upaya perlindungan HAM secara efektif mendapatkan perlawanan dari dalam tubuh negara sendiri. Iklim yang kontraproduktif ini mengakibatkan karut marutnya situasi pelaksanaan HAM secara nasional karena ketidaksinkronan regulasi dan sektoralnya pengurusan negara berdasarkan pada bidang atau “kapling” masing-masing.
Langkah mendasar dan fundamental untuk membenahinya adalah harmonisasi peraturan perundang-undangan agar selaras dengan nilai dan norma HAM yang berlaku universal dan juga telah menjadi hak konstitusional karena dijamin di dalam UUD 1945. Peran dari Badan Pembinaan Hukum Nasiona (BPHN) harus dioptimalkan sebagai lembaga yang melakukan kajian dan penyaringan atas rancangan peraturan perundang-undangan supaya tetap dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Dengan peraturan perundang-undangan yang harmonis, upaya dan pelaksanaan kewajiban negara dalam melindungi HAM menjadi lebih sinergis dan menyeluruh. Hal ini pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi warga dalam membela HAM dan membatasi ruang gerak bagi para pelanggar HAM.
Terkait