Rabu, April 17, 2024

Sanksi bagi Pengguna Jasa Prostitusi (Artis)

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
Artis Anggita Sari (tengah) meninggalkan ruang sidang usai menjadi saksi dalam jalannya sidang di ruang Garuda Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/12). Anggita memberi kesaksian dalam kasus prostitusi online (dalam jaringan) dengan dua terdakwa Allen Saputra dan Alviana Tiar Sisilia. ANTARA FOTO
Artis Anggita Sari (tengah) meninggalkan ruang sidang usai menjadi saksi kasus prostitusi online di ruang Garuda Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/12). ANTARA FOTO

Salah satu isu menarik di balik kasus tertangkapnya sejumlah artis yang sekaligus diduga berprofesi sebagai pelacur adalah keputusan untuk menetapkan si artis sebagai korban trafficking, dan sebaliknya menetapkan mucikari serta pengguna jasa prostitusi sebagai tersangka.

Kepala Subdirektorat Perjudian dan Asusila Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Besar Umar Fana menyatakan, para pengguna jasa prostitusi akan dikenakan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ancaman sanksi bagi (laki-laki) pengguna jasa layanan pelacur adalah hukuman penjara selama tiga tahun dengan denda uang sebesar 120 juta rupiah, serta denda maksimal sebesar 600 juta rupiah.

Bagi banyak pihak, wacana mempidanakan pengguna jasa layanan seks komersial ini merupakan langkah terobosan baru yang patut dipuji. Selama ini, dalam kasus penanganan praktik pelacuran, biasanya yang menjadi target dan ditetapkan sebagai tersangka umumnya adalah pihak germo, mucikari, dan si pelacur itu sendiri, terutama apabila pelacur tersebut sudah berusia dewasa.

Dengan mewacanakan perlunya menetapkan laki-laki yang mem-booking, membayar, dan meminta kompensasi layanan seksual sebagai tersangka, hal ini akan menjadi hal baru yang diharapkan dapat mendorong kemajuan besar dalam penanganan kasus prostitusi.

Hasil penelusuran usai tertangkapnya Nikita Mirzani dan Puty Revita di hotel bintang lima di Jakarta oleh aparat kepolisian terhadap gadget milik mucikari artis telah membuka tabir ini: betapa banyaknya pejabat, direktur perusahaan nasional, direktur perbankan, dan orang-orang berkantong tajir yang menjadi pelanggan dan pengguna jasa layanan seksual yang ditawarkan para artis terkenal di blantika dunia infotainment.

Ini berbeda dengan ancaman dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak memungkinkan para pengguna dikenakan, meski terbukti menggunakan jasa prostitusi. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, peluang untuk juga mempidanakan para laki-laki hidung sangat terbuka karena mereka akan dituntut sebagai pihak yang memanfaatkan dan mengeksploitasi secara seksual perempuan yang telah mereka bayar.

Saat ini, para laki-laki hidung belang yang pernah memanfaatkan jasa prostitusi artis maupun pelacur papan atas lain yang tergabung di bawah pengelolaan mucikari online yang tertangkap aparat kepolisian pasti was-was. Selain nama dan kontak HP mereka yang tersimpan di HP si mucikari, transaksi-transaksi pembayaran yang terekam di nomor rekening mucikari tentu menjadi bukti kuat yang tidak akan memungkinkan pelaku untuk berkelit.
Persoalannya sekarang tinggal kejeliaan, kepiawaian, dan keberanian aparat kepolisian untuk membongkar siapa saja pengguna jassa layanan prostitusi artis tanpa pandang bulu.

Bagi para pejabat, direktur perusahaan negara, dan lain-lain yang selama ini terbiasa atau minimal pernah memafaatkan jasa layanan seksual yang melibatkan artis, tentu akan berusaha pasang kuda-kuda, dan mempersiapkan berbagai jurus dan mencari celah agar tidak sampai nama dan reputasi mereka terbongkar atas aib yang dilakukan. Di sini dedikasi aparat kepolisian sungguh dituntut untuk tetap kuat dan konsisten, dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang cepat namun akurat.

Satu hal yang benar-benar harus dihindari aparat kepolisian adalah bermain tebang pilih, dan hanya mengekspose pelaku-pelaku tertentu–sekadar untuk mendemonstrasikan bahwa hukum telah ditegakkan.

Untuk memastikan agar wacana menjerat penguna jasa layanan seksual artis tidak menguap di tengah jalan, paling-tidak ada dua hal yang patut mendapatkan perhatian dan kontrol dari masyarakat maupun media massa.
Pertama, transparansi dalam proses pemeriksaan dan pengungkapan siapa-siapa saja pihak yang diduga terlibat sebagai pengguna jasa layanan seksual yang dilakukan para artis. Transparansi ekspose nama-nama pihak yang diduga sebagai pengguna ini perlu dilakukan secara terbuka. Agar masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan sekaligus sebagai bentuk sanksi sosial bagi mereka di hadapan keluarga dan lingkungan sosialnya.

Kedua, pelibatan insan media massa untuk ikut memberitakan dan mengontrol proses pemeriksaan dan penetapan tersangka pengguna jasa layanan seksual artis. Agar masyarakat, LSM, dan berbagai stakeholder terkait dalam berperan sebagai watchdog yang ikut memastikan proses penegakan hukum benar-benar berjalan adil dan tidak tebang pilih.

Melakukan langkah terobosan dengan menjadikan laki-laki hidung belang yang memanfaatkan perempuan sebagai objek eksploitasi fantasi liar seksualnya adalah pedagang bermata dua. Di satu sisi, langkah ini akan membuat laki-laki hidung belang berpikir seribu kali sebelum berani melangkah mengkhianati keluarganya dan mempermalukan anak-anaknya ketika mereka ditetapkan sebagai tersangka pengguna jasa layanan seksual.

Di sisi yang lain, langkah ini juga akan dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengurangi meluasnya praktik prostitusi di masyarakat. Bisa dipastikan dengan menurunkan permintaan pasar terhadap jasa layanan seksual, cepat atau lambat prostitusi yang dijajakan akan menurun dengan sendirinya karena pangsa pasar tengah sepi.

Memberantas praktik pelacuran hingga seakar-akarnya memang bukan hal mudah. Tetapi, dengan keberanian melakukan berbagai langkah terobosan, bukan mustahil bisnis syahwat yang melecehkan dan mengeksploitasi kaum perempuan ini akan dapat diredam perkembangannya.

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.