Percayakah Anda bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia saat ini berada dalam kisaran yang sama, dan bahkan melebih jumlah yang ada di seluruh negara Eropa? Ya, memang demikian kenyataannya.
Data terakhir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan, saat ini jumlah perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia telah mencapai angka 4.438 perguruan tinggi. Tersusun dari 1.105 akademi, 241 politeknik, 2.421 sekolah tinggi, 130 institut, dan 541 universitas.
Sungguh kuantitas yang sangat besar. Bahkan telah melampaui jumlah total perguruan tinggi yang ada di seluruh negara Eropa. Tak hanya banyak, namun juga dapat disaksikan tumbuh dalam laju yang sangat pesat, terutama selama sebelas tahun terakhir.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada tahun lalu mencermati peningkatan jumlah perguruan tinggi terjadi sebesar dua kali lipat dibanding sepuluh tahun sebelumnya. Dari yang sebelumnya sebanyak 2.408 perguruan tinggi di tahun 2005, menjadi 4.388 pada akhir tahun 2015.
Saat ini jumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mencapai 4.438. Dengan kata lain, telah terjadi penambahan sebanyak 50 perguruan tinggi, hanya dalam kurun waktu lima bulan terakhir. Betapa laju yang sangat pesat, yang berarti bahwa setiap dua hari satu perguruan tinggi baru lahir selama sebelas tahun terakhir.
Disadari atau tidak, sebuah fenomena yang sangat penting tampak tengah berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sebuah fenomena yang makna, arah, dan dampak perkembangannya bagi masyarakat patut untuk dikaji dan diperiksa secara jernih.
Betapa tidak, fenomena pertumbuhan pesat jumlah perguruan tinggi ini membersitkan dua makna dan arah perkembangan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, terbersit sebuah makna dalam bingkai yang positif, dengan arah perkembangannya yang membawa titik cerah bagi masa depan kehidupan masyarakat.
Dapat dengan sangat mudah dikenakan sebuah makna atasnya, dalam wujud geliat aktivitas dan perkembangan ilmu pengetahuan yang akan berlangsung dalam laju yang sangat pesat, seiring dengan laju pertumbuhan jumlah perguruan tinggi yang sangat pesat tersebut.
Perguruan tinggi sejatinya merupakan wadah bagi geliat kerja sains dalam memproduksi pengetahuan tentang dunia, yang membawa manfaat besar bagi kehidupan masyarakat. Pertumbuhan pesat jumlah perguruan tinggi, dengan demikian, bermakna semakin banyaknya ruang-ruang keilmuan yang di dalamnya berlangsung produksi pengetahuan tentang beragam aspek kehidupan masyarakat secara luas.
Namun, jika ditinjau dari situasi dan dinamika dunia pendidikan yang berkembang di dalam karakteristik dan coraknya yang dominan selama ini di Indonesia, jelas kemunculan fenomena ini tidak dapat tergesa-gesa disambut dan dirayakan. Jika ditinjau dari sisi ini, justru sebaliknya tampak sebuah permasalahan mendasar, yang selama ini bergelayut di dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Hakikat Sains
Sains, dalam makna yang luas, yang mencakup ilmu pengetahuan secara keseluruhan, sejatinya lahir dari dinamika perubahan atau transformasi yang berlangsung pada realitas dunia, baik fisik maupun sosial.
Sains lahir sebagai manifestasi dari upaya masyarakat untuk menghadirkan jawaban dan penjelasan atas berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi di dalam kehidupan. Melalui kerja sains, hadirlah pelbagai pengetahuan yang menjadi pijakan bagi masyarakat untuk mengatasi berbagai kesulitan dan permasalahan yang muncul, seiring dengan dinamika dan perubahan dunia. Di dalam sains ini jugalah pengetahuan tentang suatu subyek tertentu di dunia ini dikumpulkan dan dikembangkan secara sistematis.
Lebih dari itu, tercatat dengan tinta tebal di dalam perjalanan sejarah umat manusia di dunia, bahwa sains adalah senjata. Ia adalah instrumen, dan sekaligus menjadi pijakan bagi masyarakat untuk meretas transformasi bentuk kehidupan menuju kepada kondisi yang lebih baik.
Melalui kerja-kerja ilmu pengetahuan, masyarakat dapat membongkar dan memahami dinamika, cara kerja berikut dengan permasalahan yang berlangsung di dalam suatu kondisi kehidupan tertentu. Berpijak pada pembongkaran ilmiah inilah masyarakat dapat menyusun langkah dan menentukan arah dari transformasi sosial menuju kondisi yang berpihak kepada kehidupan yang lebih baik dan bahkan lebih adil.
Temarang berlangsung di dalam perjalanan sejarah umat manusia, perubahan, mulai dari riak-riaknya yang kecil hingga babak-babak besar yang menggerakkan arah kehidupan umat manusia secara global, tidaklah dapat dilepaskan dari geliat perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, sejarah juga punya kisah lain. Tak kalah nyatanya, sejarah memperlihatkan bagaimana kekuatan besar dari sains ini justru bekerja sebagai penopang bagi kelestarian kondisi-kondisi yang hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu.
Melalui ilmu pengetahuan, perubahan dapat dicegah, sekaligus dapat diarahkan dan disalurkan menuju kepada suatu bentuk kehidupan, yang sejatinya hanya menguntungkan sekelompok kecil orang tertentu dan meminggirkan sebagian besar bagian lainnya dari masyarakat. Demikianlah dapat kita saksikan hari ini. Sains tampak jelas berada di dalam genggaman kekuasaan dan kepentingan pengejaran keuntungan.
Adalah satu hal yang galib di negeri ini, keberadaan dan fungsi dari perguruan tinggi tak ubahnya seperti pabrik yang memproduksi buruh dengan keterampilan dan kompetensi yang siap pakai. Dengan kurikulum yang sedemikian rupa disesuaikan, dengan aktivitas penelitian yang bergeliat demi melayani kebutuhan dari kepentingan industri dan bisnisnya para pemilik modal.
Narasi “Universitas Kelas Dunia”
Semakin nyata tercermin dari gerak langkah pengembangan perguruan tinggi, khususnya universitas, selama sepuluh tahun terakhir. Gerak langkah yang terbingkai ke dalam sebuah narasi besar di dunia pendidikan tinggi hari ini, yakni narasi “universitas kelas dunia” (World-Class Universities).
Jelas, tidak ada satu pun universitas di negeri ini, baik lama maupun baru, yang tidak menghasrati posisi di jajaran universitas kelas dunia. Tertuang eksplisit di visi dan misi universitas, terpampang di situs resminya, iklan di koran, hingga reklame raksasa yang dipajang di jembatan penyeberangan jalanan ibukota, sebuah cita-cita yang tampak seragam bagi seluruh universitas di Indonesia. Apalagi jika bukan sebuah cita-cita untuk menjadi universitas kelas dunia?
Narasi “universitas kelas dunia” dapat ditelusuri mulai bergulir sejak tahun 2005. Selaras dengan titik awal geliat pesat pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia.
Singkatnya, ia adalah salah satu bentuk pemeringkatan terhadap universitas dalam skala global. Akarnya dari skema peringkat Shanghai Jiao Tong Institute of Higher Education (SJTIHE) yang berkembang atas dasar permintaan pemerintah Cina untuk menciptakan “universitas kelas dunia” sebagai katalis bagi pembangunan (Badat, 2010). Kemudian berkembang menjadi skema pemeringkatan dalam wujud Times Higher Education-Quacquarelli Symonds (THE-QS), sebagai standar peringkat yang berlaku secara global.
Melalui pemeringkatan ini, setiap universitas di dunia dinilai berdasarkan enam kriteria. Mencakup indikator reputasi di kalangan akademisi dengan bobot 40 persen, reputasi dari sisi pemberi kerja sebesar 10 persen, rasio jumlah mahasiswa berbanding pengajar sebesar 20 persen, kutipan terhadap karya tulis akademisinya sebesar 20 persen, rasio pengajar internasional dan rasio mahasiswa internasional, yang masing-masing memiliki bobot sebesar 5 persen.
Tanpa membutuhkan penjelasan panjang, langsung terpancar sederet ukuran penilaian atas kinerja universitas yang jelas bergerak semakin jauh dari hakikat sains yang sangat rekat dengan transformasi sosial.
Bobot besar penilaian dari kalangan akademisi, 40 persen, mencerminkan corak kerja dari sains yang diabdikan untuk sains itu sendiri (science for science) . Bukan sains untuk transformasi sosial. Sedari reputasi universitas di mata masyarakat tidak mendapatkan tempat dari pengukuran ini. Sains dipenjarakan di menara gadingnya, semakin berjarak dari kehidupan masyarakat.
Sekaligus pemeringkatan universitas kelas dunia ini menampakkan bagaimana sains semakin tunduk pada kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital. Sains, perguruan tinggi, dan penelitian, di dalam genggaman kedua kekuatan ini, selalu dipenjara oleh bingkai narasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Perguruan tinggi, yang hakikatnya merupakan wadah bagi bekerjanya ilmu pengetahuan, tidak pernah dinilai berdasarkan ukuran mengenai kiprahnya terhadap perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Tampak seakan arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas tempat untuk mendapatkan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan guna mendapatkan pekerjaan. Sehingga cukup diukur dan direduksi hanya berdasarkan reputasinya di kalangan pemberi kerja, yakni perusahaan-perusahaan besar skala dunia.
Tak heran jika perguruan tinggi tidak berlomba-lomba untuk menggerakkan aktivitas keilmuan guna meretas transformasi sosial di masyarakat.
Jikapun ada, ia didominasi oleh program-program sosial dan penelitian yang berujung pada transformasi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah menuju terciptanya kondisi-kondisi yang kompatibel bagi kebutuhan akumulasi kapital skala nasional hingga global. Mendorong transformasi yang mengubah stuktur perekonomian mereka, menuju aktivitas produksi yang bukan untuk pemenuhan kebutuhan yang mereka definisikan sendiri. Melainkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan dan menjadikan kehidupan mereka tersedot ke dalam rantai produksi kapitalis global.
Sementara, kurang nyata apalagi kegagalan yang dialami oleh universitas-universitas yang menyandang predikat “kelas dunia” itu selama ini. Jangankan dapat meretas perubahan sosial yang berpihak kepada masyarakat. Universitas-universitas kelas dunia yang mayoritas berada di negara-negara maju, Amerika Serikat dan Eropa, justru terbukti gagal dalam membaca dan menjelaskan perubahan dalam wujud krisis dan depresi besar yang melanda perekonomian negara-negara tersebut.
Sebaliknya, laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia selama sebelas tahun terakhir terus saja digerakkan oleh semangat dan ambisi untuk menjadi universitas kelas dunia. Menjadi universitas yang terkemuka di dunia, namun tidak mampu memperbaiki kehidupan masyarakat di sekitarnya. Universitas yang tampak memukau di mata dunia, namun justru tak berarti di tengah kehidupan masyarakat sekitarnya yang terus digelayuti kemiskinan dan penindasan.
Demikianlah, fenomena ini menandakan semakin tercengkeramnya sains di dalam genggaman kuasa kapital. Pertumbuhan pesat jumlah perguruan tinggi yang menampakkan bagaimana gelombang besar tengah menggulung pendidikan dan ilmu pengetahuan ke dalam pusaran komersialisasi. Ketika sirkulasi dan akumulasi kapital menjadi penggerak utamanya.
Nampak nyata sebuah tanda bagi geliat perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, yang akan semakin jauh dari peran pentingnya sebagai pijakan bagi transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih adil, yang dibutuhkan masyarakat hari ini. Sekaligus sebagai tanda tersendiri bagi masyarakat, untuk bergerak merebut kembali sains dari genggaman perguruan tinggi formal yang tampak semakin menjauh dari cita-cita perubahan sosial.
Ruang-ruang sains di luar lembaga pendidikan formal harus diciptakan di dalam kehidupan masyarakat secara kolektif. Ruang-ruang di mana aktivitas keilmuan bergeliat untuk memproduksi pengetahuan yang menjadi pijakan dan pemandu arah bagi transformasi sosial. Ruang-ruang kolektif yang menggerakkan sains sebagai garda terdepan bagi transformasi sosial menuju terciptanya tatanan kehidupan baru yang benar-benar berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.