Semua paham Presiden Joko Widodo gamang menentukan sikap terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di satu sisi, sebagai kader partai, ia dituntut mengikuti suara partai dan koalisinya yang hendak merevisi UU KPK, meski dorongan itu ditentang rakyat mayoritas. Di sisi lain, rakyat mayoritas teguh menolak revisi UU KPK yang memuat sejumlah pasal selundupan, khawatir jika revisi UU KPK menjadi “kain kafan” buat KPK.
Namun kegamangan Jokowi ini bisa dimaklumi jika pendekatannya dikaji dari perspektif presidensialisme-multipartai. Jokowi sadar, posisinya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan: sebagai Presiden dan sebagai “petugas (kader) partai”.
Sebagai Presiden, ia mesti menjalankan mandat konstitusi yang bersumber dari daulat rakyat sebagai hasil pemilihan presiden tahun lalu. Tapi sebagai kader partai, ia tak mau dianggap “khianat”, meski tuntutan partainya bertentangan dengan asas daulat rakyat. Dalam kalkulasi politik, Jokowi mesti menemukan rumus “titik kompromi” antara daulat rakyat yang tulus menyokongnya tanpa pamrih dan daulat partai yang menyokongnya dengan pamrih.
Semestinya kegamangan ini tak perlu terjadi jika Jokowi memahami pesan konstitusi dan kedudukannya sebagai Presiden. Sebagai Presiden, ia wajib melaksanakan mandat konstitusi. Mandat konstitusi ini “diikat” dalam sumpah dan janji jabatan (Pasal 9 UUD 1945).
Sumpah dan janji tersebut menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia “…berbakti kepada nusa dan bangsa…” Tafsir otentiknya menyiratkan jika Presiden berbakti kepada nusa dan bangsa, bukan kepada partai politik. Melenceng dari sumpah dan janji sama dengan mengkhianati konstitusi.
Pesan kedua, Jokowi mesti tegas mengikrarkan dirinya sebagai Presiden Rakyat, bukan Presiden “Boneka” Partai. Sejak Pemilu 2004, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Tidak lagi oleh partai-partai di parlemen, sebagaimana praktek Orde Baru dulu. Sehingga pergeseran mandat beralih dari mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menjadi “mandataris rakyat” melalui pemilu langsung tersebut.
Sebagai mandataris rakyat, Presiden wajib mempriorotaskan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan partisan, partai, dan kelompoknya. Jokowi tidak perlu khawatir kehilangan dukungan partai, karena basis suara partai ujung-ujungnya ke rakyat sebagai pemilik suara dan pemegang kedaulatan.
Jokowi mesti belajar dari sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berani berseberangan, hingga keluar dari keanggotaan partai politik yang dianggap berseberangan dengan kepentingan publik yang diperjuangkannya. Di tengah sentimen SARA, kepungan DPRD, dan budaya “birokoruptokrasi” yang menjangkiti birokrasi Jakarta, Ahok berani melawan kekuatan partai politik mayotarian di DKI Jakarta seorang diri. Termasuk partai yang mengusungnya sebagai calon wakil gubernur bersama Jokowi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta yang lalu.
Kini, kunci revisi RUU KPK berada di tangan Presiden. Pasal 20 UUD 1945 menyebutkan jika setiap RUU dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Meskipun fungsi legislasi “dipegang” oleh DPR, RUU tidak akan menjadi undang-undang jika tidak melibatkan dan mendapat persetujuan dari Presiden. Di sinilah peran penting Presiden untuk tegas menolak revisi UU KPK, bukan cuma menunda.
Penolakan ini setidaknya didasari beberapa alasan. Pertama, Presiden mesti waspada terhadap agenda tersembunyi sejumlah partai di DPR yang mendorong revisi UU KPK. Presiden wajib ekstra hati-hati terhadap agenda yang sewaktu-waktu bisa menjadi “jebakan batman” buat Presiden. Apalagi revisi UU KPK berjalan di tengah pembahasan RUU lain yang juga mengancam pemberantasan korupsi: RUU Pengampunan Nasional yang memasukkan terpidana korupsi sebagai subjek hukum yang harus diampuni. Ini jelas logika ngawur!
Kedua, beberapa pasal dalam revisi UU KPK mengancam eksistensi KPK. Sebutlah Pasal 5 yang membatasi usia KPK 12 tahun sejak RUU ini diundangkan. Dalam kolom Jokowi dan Misteri 12 Tahun KPK (GeoTimes, 9 Oktober 2015), Hifdzil Alim menyatakan jika pembatasan usia 12 tahun tidak memiliki landasan filosofis terkait “kejelasan tujuan” sebuah rancangan undang-undang. Saya berpandangan sama.
Singapura sebagai negara dengan tingkat indeks persepsi korupsi tertinggi di Asia saja masih memiliki badan antikorupsi, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang dibentuk sejak 1952. Atau lembaga antikorupsi Hongkong (Independen Commission Against Corruption (ICAC) yang berdiri sejak 1974, yang dijadikan contoh saat membentuk KPK.
Usia kedua lembaga antikorupsi tersebut lebih tua dari KPK. Pertanyannya apakah Hongkong dan Singapura mencantumkan pembatasan usia bagi lembaga antikorupsi? Sepengetahuan saya penulis tidak. Lantas apa alasan dewan memasukkan batas usia itu selain semata-mata ingin menggembosi KPK lewat legislasi.
Ketiga, Presiden lewat Menteri Hukum dan HAM bisa mengingatkan DPR terkait tunggakan pembahasan RUU KUHAP-KUHP yang seyogianya diselesaikan terlebih dahulu. Pembahasan RUU KUHAP-KUHP ini lebih penting ketimbang sibuk mengutak-atik pasal dalam UU KPK. Oleh karenanya, ambisi sejumlah partai politik di DPR yang mendorong revisi UU KPK di tengah tunggakan RUU lain yang lebih penting, patut dicurigai sebagai agenda terselubung untuk mematikan KPK.
Bola di tangan Presiden Jokowi. Tampil sebagai negawaran dengan tegas menolak revisi UU KPK, atau selamanya menjadi “boneka partai”. Saatnya Presiden bersikap, menjadi abdi rakyat, atau petugas partai?