Jumat, Maret 29, 2024

Saad bin Ubadah dan Absennya Politik Representasi dalam Khilafah Rasyidah (Bagian 2)

Muhammad Abdullah Darraz
Muhammad Abdullah Darraz
Intelektual Muda Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut

Negara Madinah itu didirikan di atas jasa, pertolongan, dan kedermawanan para penduduk aselinya, yakni kelompok Anshar. Mereka telah mengorbankan segala upaya, tenaga, harta, keringat dan bahkan jiwa demi terbentuknya “Negara” Madinah ini sejak Rasul bersama kaumnya berhijrah ke tanah mereka. Namun pasca Rasul wafat, semua itu terhempas begitu saja.

Dalam Negara Madinah pasca-Rasul itu, mereka tidak memiliki representasi dalam hal politik dan kepemimpinan. Untuk sekedar melakukan tawar-menawar politik dengan menuntut janji Abu Bakar yang akan menjadikan mereka sebagai wazir, mereka tidak mampu melakukannya. Oleh karenanya dalam pusaran politik kekuasaan, kaum Anshar menjadi terpinggirkan. Mereka tidak menjadi “tuan” di tanah kelahirannya sendiri. Bahkan bila kita singgung sedikit, dari empat tokoh yang disebut sebagai Khulafa Rasyidah, tidak ada satupun yang berasal dari kaum Anshar. Padahal pusat aktivitas politik dan pemerintahan berada di tanah air dan tumpah darahnya kaum Anshar. Tapi mereka sama sekali tidak secuilpun mendapuk amanah kepemimpinan di dalamnya.

Puncak dari kekecewaan itu –karena tidak adanya representasi politik di hadapan kaum Quraisy-Muhajirin– ditunjukkan dengan sikap Saad bin Ubadah sebagai pemimpin dan wakil mereka yang tidak mau berkompromi lagi dengan kekuasaan politik yang sepenuhnya digenggam oleh kaum Quraisy. Saad tidak mau membaiat pada Abu Bakar hingga kepemimpinan Abu Bakar beralih pada Umar bin Khattab. Pada masa Umarpun, ia tetap tidak mau berbaiat padanya. Bahkan bukan hanya menolak berbaiat pada keduanya, Saad juga tidak pernah mau lagi untuk shalat berjamaah bersama keduanya. Ia juga tidak melakukan haji pada masa kepemimpinan keduanya.

Akhirnya Saad menyadari bahwa Negara Madinah dan kepemimpinan politik umat Islam hanya menjadi milik puak Quraisy. Ia jelas frustasi dan kecewa terhadap kekuasaan Quraisy di Madinah, maka ia pun memutuskan untuk pergi ke Syam (Syiria) dan melakukan gerakan bawah tanah menjadi oposan bagi otoritas politik puak Quraisy di Madinah hingga ia menerima ajalnya.

Kematian yang Misterius

Bagi penulis, ada yang tidak wajar dari proses ketika ia menghadapi ajalnya. Para sejarawan bersepakat bahwa kematian yang dialami oleh Saad adalah sebuah kematian yang samar dan misterius (ghumudh). Tidak lama setelah ia bermigrasi ke Syiria, ia tinggal di kawasan Hawran. Namun belum lama ia menetap di sana, ia menemui ajalnya pada tahun 14 Hijriyah, saat Umar bin Khattab memegang kepemimpinan di Madinah.

Setidaknya ada 5 (lima) riwayat berbeda yang menceritakan tentang kematian Saad. Salah satunya ada yang menyebutkan bahwa ia mati dibunuh oleh seseorang. Di bawah ini akan kita coba uraikan tiga riwayat tersebut.

Pertama, riwayat Ibn Asakir yang dinukil dari Nadhar bin Syumail yang menguraikan sebuah keteramgan ringkas bahwa Saad meninggal karena ia membuang air kecil sambil berdiri (bala qaiman) lalu seketika itu ia meninggal. Lalu terdengar suara seseorang berkata: “Kami telah membunuh pemimpin Khazraj Saad bin Ubadah. Kami telah memanahnya dengan dua anak panah tepat menembus jantungnya”.

Kedua, riwayat yang dikutip dalam Kitab al-’Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, dari Hisyam al-Kalbi, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab mengutus seseorang ke Syam untuk menemui Saad. Utusan itu diminta untuk membujuk Saad agar mau membaiat Umar. Lalu utusan tersebut datang ke Syam dan menemui Saad di sebuah kebun di kawasan Hawran. Ia memintanya untuk membaiat pada Umar. Saad pun lantas menjawab dengan tegas: “Sampai kapanpun aku tak akan berbaiat pada puak Quraisy!” Lalu sang utusan menjawab: “Kalau begitu, sungguh aku akan membunuhmu!”. Saad menjawab: “Silakan jika engkau mau membunuhku”. Lalu utusan itu bertanya: Apakah engkau telah keluar dari barisan umat Islam? Saad menjawab: “Dalam urusan baiat aku memilih keluar dari barisan umat”. Lalu utusan itu memanahnya dan membunuhnya seketika itu.

Ketiga, sebuah riwayat yang dikutip oleh Ibn Abd Rabbih dari Maimun bin Mahran, bahwa Saad bin Ubadah dipanah sedangkan ia sedang berada di sebuah kamar mandi di Syam. Lalu ia pun terbunuh. Dan tidak ada keterangan apapun selain itu.

Keempat, masih dari kutipan dalam kitab al-’Iqd al-Farid, dari Ibn Sirrin di dalamnya dikatakan bahwa Saad bin Ubadah dipanah lalu ia meninggal seketika itu. Seorang jin menangis dan berkata: “Kami telah membunuh pemimpin suku Khazraj Saad bin Ubadah. Kami memanahnya dengan dua anak panah tepat di jantungnya”.

Kelima, riwayat lainnya terdapat dalam Kitab Syarh Nahj al-Balaghah karya Ibn Abi al-Hadid. Dikatakan di dalamnya bahwa Saad bin Ubadah pergi ke Hawran dan meninggal di sana. Ada yang mengatakan bahwa ia telah dibunuh oleh jin karena ia kencing sambil berdiri di gurun pasir pada malam hari. Lalu dikutip dua bait ucapan yang disandarkan pada jin sebagaimana terdapat dalam naskah yang ditulis oleh Ibn Asakir dan Ibn Abd Rabbih.

Menurut Ibn Abi al-Hadid, ada pendapat yang menyatakan bahwa seorang pemimpin Syam telah menyergap seseorang yang telah memanah Saad pada suatu malam ketika ia berada di padang pasir yang luas. Orang tersebut telah membunuh Saad, karena ia telah membangkang dan tidak mau taat kepada imam (khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab).

Riwayat yang menceritakan bahwa Saad dibunuh oleh jin merupakan narasi yang dianut oleh mayoritas sejarawan Muslim dan para ahli riwayat. Meski demikian, menurut penulis, narasi tersebut terasa janggal dan irasional. Apakah benar jin yang berada pada dimensi yang berbeda dapat membunuh seorang manusia? Narasi semacam ini jelas merupakan sesuatu yang sulit diterima oleh akal.

Namun dari kelima riwayat yang menceritakan tentang kematian Saad bin Ubadah ini, riwayat kedua merupakan riwayat yang paling kontroversial. Ada yang mengatakan riwayat tersebut merupakan riwayat yang diutarakan berdasarkan perspektif aliran teologis tertentu. Beberapa kalangan menolak dan membantahnya, karena itu dianggap sebagai tuduhan terhadap khalifah Umar yang menginstruksikan pembunuhan terhadap Saad, seorang tokoh ternama kaum Anshar. Dan menurut mayoritas sejarawan itu mustahil adanya. Meski ada sebagian kecil penulis mempercayainya, bahwa kematian Saad adalah sebuah pembunuhan politis pertama dalam Islam (al-Ightiyal al-siyasi fi al-Islam) setelah wafatnya Rasulullah.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk menghukumi mana riwayat yang paling benar di antara kelima riwayat yang menceritakan tentang kematian Saad ini. Namun kita patut mengamini doa Rasulullah saw, semoga Saad diberikan rahmat dan kasih sayang Allah swt terutama di akhir hayatnya. Berbagai buku sejarah telah menorehkan tinta emas tentang sifatnya yang murah hati, dermawan dan penuh keberanian dalam memperjuangkan Islam. Ia termasuk seorang sahabat terdekat dan terbaik yang dimiliki oleh Rasulullah.

Namun demikian, dalam penggambaran Khalil Abdul Karim ia bukanlah seorang politisi yang matang (siyasiy hashif). Dalam kematiannya yang penuh misteri itu, tergambar cerita tentang perlawanannya terhadap otoritas politik di Madinah yang sama sekali tidak akomodatif terhadap peran-peran yang sepatutnya bisa dimainkan oleh puaknya, puak Anshar yang telah turut berjasa besar dalam mempertahankan agama Allah ini di saat-saat masa kritisnya hingga 10 tahun setelah Rasul hijrah. (Selesai).

Kolom terkait:

Saad bin Ubadah dan Absennya Politik Representasi dalam Khilafah Rasyidah (Bagian 1)

Muhammad Abdullah Darraz
Muhammad Abdullah Darraz
Intelektual Muda Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.