Kamis, April 25, 2024

Saad bin Ubadah dan Absennya Politik Representasi dalam Khilafah Rasyidah (Bagian 1)

Muhammad Abdullah Darraz
Muhammad Abdullah Darraz
Intelektual Muda Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut

Siapakah Saad bin Ubadah? Nama ini terdengar asing di telinga kita. Dia adalah seorang sahabat Nabi pemuka Anshar yang terlibat melakukan Baiat Aqabah di hadapan Rasulullah. Dia adalah pemimpin dari kalangan Suku Khazraj yang merupakan “pribumi” asli dari Yatsrib, daerah yang menjadi tujuan utama Nabi berhijrah untuk “menyelamatkan” agama yang baru berumur 13 tahun itu. Kelak kota ini berubah nama menjadi al-Madinah al-Munawwarah atau kota Madinah. Saad bin Ubadah adalah di antara orang-orang yang turut “menolong” keberlangsungan agama ini ketika terdesak dari tanah kelahirannya di Makkah.

Ketika Nabi sang pembawa risalah melakukan hijrah ke Madinah, salah satu kunci penting keberhasilan untuk mempertahankan agama ini dan bahkan membawanya menuju kegemilangan adalah upaya Nabi dalam melakukan “Mu-akhoh” atau mempersaudarakan antara kaum Quraisy yang ikut berhijrah dari Makkah dengan penduduk pribumi yang mendiami Madinah, terutama yang berasal dari suku Aus dan Khazraj.

Mereka dipersaudarakan dalam ikatan persaudaraan keimanan. Perbedaan kesukuan, perbedaan hubungan darah, dan perbedaan tanah kelahiran menjadi lebur dalam satu ikatan pertautan keimanan. Karena dengan hal tersebut, kaum yang didatangi secara otomatis menjadi penolong, penjamin, dan pendukung bagi kelompok yang datang/berhijrah.

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa bersejarah dan sangat penting bagi perjalanan dakwah Islam ini. Salah satunya terekam dalam surat al-Hasyr ayat 9

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)….

Saad merupakan salah seorang tokoh suku Khazraj yang cukup menonjol dalam empati dan kedermawanannya ketika membantu kaum Muhajirin, sebagaimana digambarkan secara indah dalam ayat di atas. Ia merupakan seorang yang terhormat. Bahkan sebelum Islam datang ke dunia Arab, yakni pada masa jahiliyyah, Saad telah masyhur di kalangan masyarakat Arab Yatsrib sebagai seorang yang memiliki moral agung dengan segudang kapasitas pribadi atau seorang yang multitalenta. Maka tidak aneh, kalau saat itu ia sudah dikenal dengan julukan “al-Kamil” (yang sempurna).

Ibn Asakir dengan mengutip al-Waqidi dalam kitabnya al-Maghazi menyatakan bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya pernah menggambarkan sosok Saad dengan begitu menawan melalui pernyataan yang termasyhur ini, “Sebaik-baiknya manusia pada masa jahiliyah (pra-Islam) adalah sebaik-baiknya manusia pada masa Islam yakni mereka yang memahami agama secara mendalam”.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kisah kedermawanannya telah dikenal sejak lama. Bahkan sifat itu menjadi ciri khas yang dikembangkan di dalam lingkaran keluarganya. Rasulullah secara tegas pernah menyatakan tentang sikap kedermawanan Saad dan keluarganya ini,

إنّ الجود شيمة أهل هذا البيت. الحديث

“Kedermawanan merupakan tabi’at anggota keluarga ini”.

Ketika peristiwa Hijrah itu terjadi, sebelum Nabi tiba di Madinah, dan rombongan kaum Muhajirin sebelumnya telah tiba, Saad telah mendermakan harta kekayaannya kepada sahabat kaum Muhajir-Quraisy itu. Ketika Rasulullah telah menetap di Madinah, Saad pula yang selalu menyiapkan kebutuhan sehari-hari Rasulullah dan seisi rumahnya.

Bahkan saking dermawannya, pada peristiwa Hijrah itu, biasanya seorang penduduk Anshar pulang ke rumahnya dengan membawa seorang, dua atau tiga orang kaum Muhajirin-Quraisy untuk ditanggung kebutuhan hidup mereka. Sedangkan Saad bin Ubadah membawa pulang 80 orang untuk menjadi tanggungan hidupnya. Atas kedermawanan dan kemurahan hatinya ini, maka wajar jika Rasulullah saw secara khusus mendoakan diri dan keluarganya, Allahumma irham Sa’dan wa Ali Sa’di, “Ya Allah, sayangilah Saad dan keluarganya”. dalam redaksi lain doa itu berbunyi, “Ya Allah, berilah keluarga Saad karunia dan rahmat-Mu”

“Bara dalam Sekam” Persaudaraan berbalut Dendam

Meski memiliki satu karakter yang mulia, sahabat Saad bin Ubadah sebagaimana sahabat-sahabat Nabi lainnya, tetaplah seorang manusia. Beliau juga memiliki sifat-sifat kekurangan yang manusiawi sebagaimana sahabat lainnya. Dalam satu fase kehidupannya, sepertinya ia masih membawa sebuah “dendam kesukuan” atas kekejaman dan siksaan yang ia alami ketika berhadapan dengan kaum Quraisy.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya Rijalun Hawla al-Rasul (Orang-orang di sekitar Rasul), menyatakan bahwa ia merupakan satu-satunya orang Yatsrib yang menanggung siksaan dari kaum Musyrik Quraisy Makkah, gara-gara mengikuti perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia itu.

Ketika perjanjian Aqabah selesai dilakukan, dan kaum Anshar tengah bersiap untuk kembali pulang, orang-orang Musyrik Quraisy mengetahui janji setia yang diikrarkan kaum Anshar ini untuk melindungi dan menolong Nabi dan kaum Muslim Makkah dari rongrongan dan persekusi Musyrik Makkah. Mengetahui hal ini, kaum Musyrik Makkah bergegas mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Saad bin Ubadah sendiri. Saat itu pula ia mendapatkan penyiksaan dan penganiayaan yang sangat keji. Saad dilepaskan setelah kemudian diberi jaminan oleh dua orang pedagang Quraisy yang selama ini mendapat perlindungan darinya ketika mereka berniaga di Yatsrib.

Bagi Khalid, pengalaman penganiayaan ini telah membentuk “militansi keagamaan” dan semangat positif Saad untuk membela Rasulullah, para sahabat dan dakwah Islam, yang dalam batas tertentu telah membentuk sebuah militansi yang kaku dan dilakukan secara mati-matian. Khalil Abdul Karim dalam Quraisy: Min al-Qabilah ila al-Dawlah, menyebut militansi keagamaan ini sebagai emosi keagamaan yang menggebu (al-’athifah al-diniyyah al-muta’ajjajah). Di lain pihak, sikap militansi yang kaku ini justru menjadi sesuatu yang negatif ketika sentimen kesukuan menjadi lebih dominan, sebagaimana yang nanti akan terlihat dalam sikapnya terhadap peristiwa Saqifah di sela-sela Rasulullah wafat.

Pengalaman buruk penganiayaan ini ternyata tak pernah hilang dari memori Saad. Ketika tiba pada peristiwa Futuh Makkah, ia ditunjuk sebagai salah satu komandan dari Pasukan Islam selain sahabat Ali bin Abi Thalib. Seketika itu ia teringat dengan kekejaman yang pernah ia alami dari penduduk Quraisy Makkah. Maka ketika tiba di gerbang Tanah Suci Makkah, dengan membawa bendera Anshar, ia berseru: “Ini adalah hari berkecamuknya perang! Ini adalah hari dihalalkannya yang haram!”

Seruannya ini terdengar oleh Umar bin Khattab dan terbaca jika Saad ingin menghabisi semua orang Quraisy. Ada tersirat semacam rasa dendam pada diri Saad atas apa yang telah ia dapati dari orang-orang Quraisy itu.

Umarpun lantas melaporkan hal itu pada Rasulullah, “Wahai Rasul, kami khawatir kalau ia akan menggempur habis orang Quraisy”. Seketika itu Rasul memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menemuinya dan meminta bendera yang dibawa oleh Saad serta mengambil alih komando dari tangannya.

Setelah kota Mekkah ditundukkan, dan kaum Musyrik Quraisy menyerah di hadapan pasukan Islam, Saad terkenang dengan berbagai siksaan yang pernah ia terima. Di saat itu kekerasan hati dan ketegasannya mendorongnya untuk menindak orang-orang Quraisy Makkah dan membalas atas kejahatan yang mereka lakukan, termasuk membalaskan atas penyiksaan yang telah mereka lakukan pada dirinya dulu.

Khalid Muhammad Khalid memandang bahwa sikap keras hati dan militansi yang dimiliki Saad seperti inilah yang bisa menjelaskan mengapa kelak ketika peristiwa Saqifah terjadi, penolakan terhadap kepemimpinan Quraisy-Muhajir telah menggebu dalam sanubarinya dengan membawa “egoisme kesukuan” yang lebih tebal.

Rasa kecewa karena terdiskriminasi juga pernah diutarakan oleh Saad ketika perang Hunain selesai dan kaum muslim memenangkan perang tersebut. Pasalnya ketika pembagian ghanimah (harta rampasan perang), Rasulullah lebih memberikan perhatian kepada kaum al-thulaqa, yakni para bangsawan Quraisy Makkah yang baru masuk Islam ketika Futuh Makkah terjadi sedangkan kaum Anshar diabaikan. Rasul membagikan harta rampasan perang pada sebagian sahabat terutama dari kalangan Quraisy-Muhajirin, sedangkan kaum Anshar sebagai sesama pejuang, tidak mendapatkannya sama sekali. Kekecewaan karena diskriminasi semacam ini diutarakan secara langsung oleh Saad sebagai upaya menyampaikan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah sebagaimana berikut:

“Wahai Rasulullah! Kaum Anshar ini merasa kecewa terhadap Anda karena melihat tindakan Anda mengenai harta rampasan perang yang kita peroleh! Anda membagi-bagikannya kepada kaum Anda, dan mengeluarkan pemberian berlimpah kepada para elit suku Arab Quraisy. Tetapi kaum Anshar sama sekali tidak menerimanya”

Demikian, kekecewaan seperti ini menghinggap di kalangan sahabat Anshar, terutama dirasakan pula oleh Saad sebagai pemimpin dan bagian dari mereka. Apalagi hal ini terjadi ketika Rasulullah lebih mengutamakan kelompok yang dulunya pernah memperlakukannya dengan sangat buruk itu.

Tidak ada Politik Representasi

Sebagaimana kita ketahui, peristiwa Saqifah merupakan sebuah peristiwa krusial tentang upaya sebagian kaum Muslim menentukan pemimpin pengganti sepeninggal Rasulullah. Peristiwa itu diadakan ketika jenazah Nabi belum lagi dikebumikan. Diinisiasi oleh kelompok Anshar yang dipimpin oleh Saad bin Ubadah. Mereka menginginkan kepemimpinan umat Islam sepeninggal Rasul berasal dari kalangan mereka sendiri.

Tidak lama ketika pertemuan Saqifah ini berlangsung, para pemuka Muhajirin yang terdiri dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu ‘Ubaidah al-Jarrah mendengar adanya pertemuan di Saqifah ini, mereka tidak ingin ketinggalan bergegas untuk datang ke balai milik Bani Saidah itu. Setelah pemuka Muhajirin Quraisy itu mengetahui bahwa kaum Anshar akan mendapuk seorang pemimpin dari kalangan mereka sendiri, para pemuka Muhajirin mencoba melakukan negosiasi agar kepemimpinan pasca Rasul tetap berada di tangan kaum Quraisy.

Saad bin Ubadah selaku pemimpin utama kaum Anshar dari kalangan suku Khazraj merasa bahwa mereka lebih berhak atas kepemimpinan pasca Rasul, terutama bagi kelompok mereka sendiri. Setelah berargumen dengan berbagai keutamaan mereka untuk menggantikan posisi sepeninggal Rasulullah, dan berbalas dengan argumen yang disampaikan oleh Abu Bakar yang tentu mengunggulkan kaumnya sendiri, Quraisy. Demikian seterusnya dialog itu lebih mencerminkan upaya saling berbalas dan beradu argumen tentang kelompok siapa yang lebih berhak untuk menggantikan posisi Rasul sebagai pemimpin umat.

Sejatinya tidak ada musyawarah mufakat dalam dialog yang terjadi di dalam pertemuan Saqifah itu. Karena ketika adu argumen itu terjadi dan tidak ada kata mufakat dari keduabelah pihak, Umar sekonyong-konyong mengambil tangan Abu Bakar, dan melakukan pembai’atan terhadapnya yang diikuti oleh kelompok Muhajir-Quraisy lainnya.

Di pihak internal Anshar sendiri sepertinya tidak terjadi kekompakan sehingga seorang Basyir bin Saad Abu Nu’man –seorang pemuka Anshar lainnya– lebih berpihak pada kaum Muhajir, ia menyatakan, “Wahai kaum Anshar…! Nabi Muhammad itu berasal dari suku Quraisy, maka kaumnya lebih berhak dan lebih utama (untuk memegang kepemimpinan setelahnya).

Lagi-lagi argumentasi kesukuan lebih ditonjolkan dalam dialog di atas. Meskipun pernyataannya ini diprotes oleh Hubab Ibn al-Mundzir, pemuka Anshar lain, namun hal itu tak mengurungkan tekad Basyir untuk menjadi orang pertama dari kalangan Anshar yang membay’at pemimpin puak Quraisy, Abu Bakar, di sela-sela adu argumen itu terjadi.

Sebetulnya kaum Anshar mengajukan opsi agar kepemimpinan di internal kalangan mereka dapat dipegang oleh mereka sendiri. Mereka tidak perlu menjadi pemimpin umat Islam secara menyeluruh sepeninggal Rasul, tapi cukup menjadi pemimpin bagi kaum mereka sendiri, yakni kaum Anshar. Opsi pada dialog ini direkam di berbagai kitab tarikh seperti diulas oleh Ibn Qutaybah, al-Thabari dan al-Baladzuri, minna amir wa minhum amir, “dari kalangan kami (kaum Anshar) kami angkat pemimpin sendiri dan diantara mereka (kaum Muhajir) diangkat pemimpin mereka sendiri”.

Tapi terbaca bahwa sebetulnya opsi ini sepatutnya hanya menjadi pilihan terakhir jika Kaum Muhajirin-Quraisy menolak untuk berada di bawah kepemimpinan kaum Anshar. Betul saja, opsi tentang kepemimpinan dari masing-masing puak itu langsung ditolak oleh Umar bin Khattab. “Mustahil! Tidak mungkin dua orang pemimpin bergandengan dalam satu masa kepemimpinan. Demi Allah, bangsa Arab tak akan sudi dipimpin oleh seseorang yang Nabinya bukan dari golongan mereka (yakni selain Quraisy). Tapi mereka tak akan menolak jika dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari golongan yang sama dengan Nabinya!

Sebetulnya ada peluang untuk bagaimana membagi kepemimpinan pasca Rasul dengan membagi peran strategis diantara kedua belah pihak. Abu Bakar dalam dialog Saqifah ini menyatakan, “Kami (kaum Quraisy) adalah para pemimpin (umara) dan kalian (kaum Anshar) adalah para menteri (wuzara). Janganlah ngotot untuk mengubahnya meskipun melalui musyawarah!”.

Tapi konteks pernyataan Abu Bakar di atas lebih ditujukan untuk menunjukkan keunggulan kaum Quraisy –yakni mereka lebih layak dan lebih berhak untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pasca Rasul, dibanding untuk membagi tugas dan peran di antara kedua kelompok ini dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan umat pasca Rasul wafat.

Berdasarkan dialog tersebut, kita merasakan bahwa ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar terkesan menjadi semakin longgar untuk tidak menyebutnya sebagai sudah koyak. Ikatan keimanan dan dakwah Islam telah mempersaudarakan dan menyatukan mereka, namun politik dan kekuasaan telah memisahkan mereka.

Memang persoalan politik merupakan satu persoalan pelik yang dihadapi umat ini, terutama ketika panduan wahyu tidak lagi menuntun. Dalam menghadapi politik kekuasaan, norma moral dan petunjuk wahyu seringkali diabaikan berganti dengan ego dan syahwat kepentingan golongan. Di lapangan politik kekuasaan ini, persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar menjadi goyah dan renta.

Karena kepolosan dan miskinnya pengalaman dalam berbagai persoalan politik, menurut Khalil Abdul Karim, kaum Anshar hanya menjadi bulan-bulanan dari perilaku politik kaum Quraisy-Muhajirin. Baginya, kaum Anshar tidak menyadari bahwa pembentukan komunitas “Negara” Madinah tidak lain hanyalah pembentukan negara bagi kepentingan puak Quraisy saja. Padahal Negara itu dibangun di atas tanah air mereka sendiri.

Negara Madinah itu didirikan di atas jasa, pertolongan, dan kedermawanan para penduduk aslinya, yakni kelompok Anshar. Mereka telah mengorbankan segala upaya, tenaga, harta, keringat dan bahkan jiwa demi terbentuknya “Negara” Madinah ini sejak Rasul bersama kaumnya berhijrah ke tanah mereka. Namun pasca Rasul wafat, semua itu terhempas begitu saja. (Bersambung)

Muhammad Abdullah Darraz
Muhammad Abdullah Darraz
Intelektual Muda Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.