Konon, rokok akan melonjak ke harga Rp 50 ribu. Katanya karena riset menunjukkan bahwa “merokok (benar-benar) membunuhmu” dan yang (benar-benar) diuntungkan atas rokok adalah produsen asing, bukan petani lokal kita. Riset itu disampaikan secara fenomenal oleh Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany.
Maka, kata Hasbullah yang mendadak seleb, rokok harus dibikin mahal agar kira-kira yang ngerokok mikir dua kali untuk melanjutkan kebiasaannya, sehingga tingkat konsumsi rokok akan menurun drastis. Ia sudah nyurvei ke 1.000 orang dan hasilnya: jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus, 72% dari mereka mengaku akan berhenti merokok. Dan ini terbukti di Australia, jumlah perokok di negara itu menurun dari 25% menjadi 15% dari 1993-2013 melalui kebijakan menaikkan harga rokok.
Adapun pendapatan cukainya yang nanti melonjak tinggi lantaran harga yang naik berlipat-lipat itu, sebagian darinya disuruh alokasikan untuk pemberdayaan para petani tembakau dan cengkeh. Dengan demikian, tanpa bertani bahan baku rokok itu, mereka tetap atau bahkan lebih survive.
Tapi, pertanyaannya adalah bahwa rokok dibikin mahal‘kan untuk menekan konsumsi rokok dan itu dinilai akan efektif, yang artinya bahwa pendapatan cukai rokok justru akan menurun dong. Kalau meningkat, artinya kebijakan itu tak efektif. Belum lagi ada yang mempertanyakan tentang bagaimana jika hasil cukainya habis dikorupsi. Juga dana program pemberdayaannya sampai ke bawahnya segitu-segitu juga lantaran kebanyakan “disunat”?
Persoalan lainnya adalah bahwa selama ini rokok kerap menjadi sponsor utama bagi kegiatan-kegiatan seni-budaya dan kreativitas. Bahkan sepak bola pun sponsornya produsen rokok, sebuah fenomena yang menunjukkan rumitnya perkara ini di mana olahraga yang untuk kesehatan (termasuk mengurangi dampak buruk akibat merokok) disponsorinya: ibarat kata Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat anggaran kerja dari koruptor.
Nah, dalam perkara ini, jika persoalan rokok sebagai sponsor dianggap bisa diselesaikan dengan peran sponsor itu diambilkan dari hasil cukai rokok yang nantinya akan melonjak, maka pertanyaan di atas masuk juga ke sini.
Di samping itu, berdasarkan survei Deutsche Bank 2015, harga rokok di Indonesia termurah di dunia. Faktanya, di luar negeri harga rokok memang sangat tinggi. Dan, seperti dikemukakan Scott Morrison dari Pemerintahan Australia misalnya sebagai negara dengan harga rokok tertinggi di dunia, itu murni adalah lantaran siasat kebijakan pemerintahnya untuk menekan jumlah perokok.
Kebijakan itu pun berhasil, karenanya Pemerintah Australia kembali menaikkan pajak tembakau sebesar 12,5% untuk tahun 2017-2020, sehingga harga sebungkus rokok di Australia bisa mencapai Rp 400 ribu pada 2020. Namun, muncul lagi pertanyaan baru di sini, apa siasat kebijakan itu cocok dengan tekstur (budaya) masyarakat kita?
Yang jelas, baru “konon”, isu ini langsung “digoreng” habis oleh publik. Wajar saja ini soal hajat hidup orang banyak. Data 2013 saja dari Riset Kesehatan Dasar menyebutkan bahwa perokok aktif di Indonesia berjumlah lebih dari 58 juta orang, tak terkecuali termasuk anak berusia 10 tahun atau juga wanita. Setiap hari lebih 600 juta batang rokok dibakar. Dan jangan main-main dengan mereka ini. Fanatisme mereka tak kalah dengan anak muda fans K-Pop dan keberaniannya boleh diadu dengan tentara yang dikirim ke medan tempur.
Bayangkan saja, meskipun jelas-jelas di tiap bungkusnya ditulisi “merokok membunuhmu” lengkap dengan gambar super mengerikan, mereka tak peduli. Berapa ribu lembar esai, puisi, novel, hingga skripsi yang bisa selesai lantaran penulisnya ditemani rokok? Berapa banyak kerja kreatif atau biasa-biasa saja yang selesai juga karena subjeknya mengerjakan sambil ngerokok?
Lagi pula, kata sebagian mereka, “rokok membunuhmu” itu kan tinjauan fisik. Tapi jika ditinjau secara psikis-mental, “rokok menghidupkanmu”. Belum lagi kalau bicara soal rokok dalam perspektif budaya, panjang lagi urusannya. Budayawannya harus sambil ngerokok agar lancar diajak omong soal ini.
Ada lagi soal “keteladanan” rokok dari para tokoh bangsa (Bung Karno, Agus Salim, dan lain-lain) hingga kiai. Ada juga yang mengaitkannya dengan takdir: banyak yang merokok panjang umur, alih-alih yang tak merokok mati muda. Karena umur itu di tangan Tuhan.
Jika Anda sudah mulai mumet dengan apa yang saya tulis, itu artinya waktunya saya mengakhiri kolom ini. Sebab, memang itu visi kolom ini: menunjukkan bahwa persoalan ini mumet. Jadi, sudah sepatutnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan guna menekan angka konsumsi rokok di negeri ini.
Teman-teman saya yang berhenti ngerokok cenderung bertahap, tak bisa sekaligus. Begitu pula sebaiknya kebijakan pemerintah dalam menekan konsumsi rokok di sini. Dan yang paling penting diingat bahwa “yang membunuhmu” bukan hanya rokok, tapi juga korupsi, macet, banjir, dan semacamnya. Jangan lembek soal itu!