Rabu, April 24, 2024

Rokok dan Ke(tidak)adilan Negara

Pangki T Hidayat
Pangki T Hidayat
Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Sejumlah warga petani tembakau yang tergabung dalam APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) melakukan aksi damai dengan membawa tanaman tembakau dan poster di komplek DPRD kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (23/8). Aksi yang diikuti oleh seribuan petani tembakau dari lereng Gunung Sumbing, Sindoro dan Prau tersebut menolak wacana kenaikan harga rokok dan menuntut pemerintah mengurangi impor tembakau. FOTO ANTARA/Anis Efizudin/foc/16.
Para petani tembakau yang tergabung dalam APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) melakukan aksi damai di Komplek DPRD Kab. Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (23/8). Mereka menolak wacana kenaikan harga rokok dan menuntut pemerintah mengurangi impor tembakau. [ANTARA FOTO/ Anis Efizudin]
Hari-hari ini isu mengenai kenaikan harga rokok yang mencapai Rp 50 ribu per bungkus menimbulkan kegaduhan di aras publik. Tak sedikit masyarakat yang setuju, tetapi banyak pula masyarakat yang tidak setuju jika isu tersebut betul-betul direalisasikan. Namun terlepas dari itu semua, seyogianya perlu pula dipahami bahwa tidak semua orang yang hidup di negara ini merokok (baca: perokok aktif).

Merujuk riset Atlas Tobacco tahun 2015, jumlah perokok aktif di negara ini tercatat sekitar 90 juta orang. Di tahun yang sama jumlah penduduk negara ini tercatat sebanyak 254,9 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2015). Itu berarti lebih dari 164,9 juta orang yang “dipaksa” harus menjadi perokok pasif karena keadaan saat ini.

Dari perspektif kesehatan, sudah disadari bahaya yang harus ditanggung oleh perokok pasif jauh lebih berbahaya dari perokok aktif. Mengutip pernyataan Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), sekitar 25% zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok. Sementara itu, 75%-nya beredar di udara bebas sehingga berisiko tinggi masuk ke tubuh perokok pasif.

Sebuah peribahasa lama mengatakan “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Maka, jangan karena ada sekelompok perokok yang jumlahnya pun tak sampai setengah dari seluruh penduduk negara ini, tetapi seluruh rakyat yang harus menanggung akibat buruknya, utamanya dampak buruk di sisi kesehatan.

Kebijakan Setengah Hati
Celakanya, negara (baca: pemerintah) cenderung hanya fokus pada industri rokok itu sendiri. Sebab, tak bisa dimungkiri cukai rokok memang memberikan sumbangsih yang signifikan, yakni mencapai Rp 139,5 triliun (96%) dari total pendapatan cukai negara sebesar Rp 144,6 triliun. Alhasil, kebijakan terhadap industri rokok ini pun kerap hanya bersifat setengah hati.

Misalnya saja, kebijakan mengenai pelarangan penjualan rokok kepada siapa pun yang belum genap berusia 18 tahun. Faktanya, kebijakan tersebut tidak disertai dengan implementasi sanksi yang tegas dan memadai dari pemerintah, baik bagi pembeli, penjual maupun produsen rokok terkait. Karenanya, kenyataan di lapangan menjadi mudah saja ditemui anak-anak yang sedang asyik menghisap rokok.

Mirisnya lagi, usia perokok anak-anak (baca: pemula) di negara ini dari tahun ke tahun malah semakin muda. Mengutip pernyataan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Anhari Achadi, usia perokok pemula saat ini berkisar antara 10 tahun hingga 12 tahun. Padahal, dari beberapa hasil riset sebelumnya usia perokok pemula masih di kisaran usia 14 tahun.

Pada titik ini, selain karena lemahnya aturan dan sanksi dari pemerintah mengenai regulasi peredaran rokok, keberadaan para perokok aktif juga tak bisa dimungkiri mempunyai andil membuat usia perokok pemula semakin muda. Faktanya, sudah menjadi rahasia umum bila para perokok aktif kerap melontarkan pandangan yang menyesatkan kepada perokok pasif usia muda bahwa lebih baik menjadi perokok aktif dari pada perokok pasif karena risiko kesehatannya yang lebih kecil.

Keadilan Sosial
Negara sejatinya memiliki pijakan amat kuat untuk mengatur segala tetek bengek yang berkaitan dengan industri rokok di satu sisi dan mengenai perokok pasif di sisi lainnya. Yakni, sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Artinya, terhadap masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari industri rokok, termasuk para perokok aktif, pemerintah hendaknya tidak menjadikannya sebagai “sapi perahan” untuk menggenjot pendapatan negara.

Dalam konteks harga rokok, misalnya, penaikan harga harus tetap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai di mana cukai maksimum yang diizinkan hanya di kisaran 57%. Maka, untuk saat ini, masih tersedia ruang sebesar 17% jika pemerintah hendak menaikkan cukai rokok.

Kecuali itu, keadilan sosial bagi industri rokok dan para perokok aktif ini juga perlu diwujudkan dengan implementasi peraturan dan sanksi yang tegas. Seperti sudah disadari, selama ini telah ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pelarangan penjualan rokok untuk anak di bawah usia 18 tahun, yakni PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Pada Pasal 25 disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menjual Produk Tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil”. Oleh karenanya, peraturan yang sudah tepat ini tentu harus diikuti dengan implementasi dan sanksi yang tegas, tidak seperti saat ini di mana aturan hanya terlihat garang di kertas tetapi ompong pada realisasinya.

Di sisi lain, masyarakat di luar industri rokok, utamanya yang lazim disebut perokok pasif pun, harus diberikan ruang sebebas-bebasnya agar terhindar dari dampak buruk industri rokok. Terkait hal ini, pemerintah mutlak perlu melokalisasi keberadaan perokok aktif secara ketat dengan menyediakan ruang untuk merokok (smoking area), utamanya di tempat-tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, dan bandara.

Keberadaan perokok aktif yang merokok di luar tempat yang telah disediakan harus diberikan sanksi yang menjerakan. Kecuali itu, semakin mudanya usia perokok pemula juga perlu dipandang sebagai ancaman terhadap para perokok pasif. Sebab, semakin mudanya usia perokok pemula akan mudah memberikan pengaruh terhadap teman-teman sebaya lainnya yang notabene tidak merokok untuk juga ikut menjadi perokok pemula.

Akhirnya, keberadaan perokok pasif di negara ini tak boleh diabaikan oleh negara, meski di sisi lain industri rokok memberikan sumbangsih pendapatan yang luar biasa. Sebab, dari orang-orang yang tak memerlukan rokok inilah sejatinya kelangsungan dan kesejahteraan negara ini bisa diharapkan. Wallahu a’lam bis shawab.

Pangki T Hidayat
Pangki T Hidayat
Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.