Kamis, Mei 2, 2024

Robinson Crusoe: Kanibalisme dan Kolonialisme

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Daniel Defoe adalah putra seorang non-konformis, pedagang, dan pengarang dan penulis pamflet yang paling produktif yang pernah ada. Ayahnya adalah seorang pedagang lilin dan ibunya berasal dari keluarga yang memiliki hubungan dengan bangsawan. Ia menjalani kehidupan yang dinamis dan penuh warna—sempat menjadi tawanan bajak laut, bangkrut beberapa kali, pernah bertugas di pasukan William of Orange, dipermalukan dan berulang kali ditangkap karena pamflet subversif, dan akhirnya menyaksikan serta menikmati popularitas karya-karyanya. Ia mulai menulis novel pada usia lima puluh sembilan tahun, dan setelah beberapa novel utamanya, ia menerbitkan judul-judul lainnya The Complete English Tradesman, An Essay on the History and Reality of Apparitions, A New Family Instructor, dan The Complete English Gentleman.

Dengan kata lain, Defoe adalah seorang pengusaha Protestan Inggris yang aktif dan berkemauan keras, dan novel-novelnya secara konsisten mencerminkan ketertarikannya pada kelangsungan hidup, uang, perdagangan, dan bisnis secara umum. Tokoh-tokoh dalam karyanya seringkali melawan kondisi sangat sulit. Dalam upaya menghadapai tantangan tersebut, tokoh-tokoh tersebut mencoba merenungkan moralitas, agama, dan makna.

Robinson Crusoe (1719) memiliki daya tarik yang sangat besar, sebagian karena ceritanya yang sangat sederhana (berdasarkan pengalaman nyata seorang pria bernama Alexan der Selkirk, yang menerbitkan sebuah buku pada tahun 1712 tentang pengalamannya hidup sendirian selama lebih dari empat tahun di sebuah pulau lepas pantai Chili). Seorang pemuda memutuskan pergi ke laut, sesuatu yang bertentangan dengan keinginan keluarganya.

Setelah menjalani banyak petualangan, ia terdampar di pulau terpencil dekat Amerika Selatan. Di antara perbekalan yang didapatkannya berasal dari kapal karam dan sumber daya alam pulau itu. Ia mengumpulkan dan membangun kehidupan yang makmur dan memuaskan selama hampir tiga puluh tahun. Lalu ia ditemukan dan dibawa pulang ke kampungnya, sebuah jalan kembali ke peradaban.

Karya-karya Defoe menunjukkan bahwa ia tertarik terutama pada hal-hal praktis—bagaimana melakukan perdagangan, membesarkan keluarga, menjadi seorang pria sejati—dan Robinson Crusoe hanya satu langkah jauh tentang bagaimana untuk bertahan hidup. Petunjuk untuk melakukan sesuatu secara manual (how-to manual) adalah model yang bagus untuk novel.

Salah satu pesona dari Robinson Crusoe bisa dilihat dari titk ini, bahwa Defoe telah mengantisipasi setiap ide yang mungkin dimiliki pembaca tentang situasi geografis, ekologis, sosial, spiritual, fisik, dan mental. Crusoe menjawab pelbagai pertanyaan pembaca sebelum muncul. Crusoe tampaknya hidup dalam alam yang nyata, fisik, eksotik tapi bisa dipahami.  Karena kebutuhan, Crusoe mendekati dunianya dengan keterbukaan akan investigasi, dan sebagai hasil dari penyelidikannya, pulaunya menjadi nyata, sama sekali bukan khayalan.

Selain itu, “how-to (cara menggunakan sesuatu)” dalam sebuah novel selalu menghasilkan “who (siapa)”—cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam melakukan tugasnya untuk mengungkapkan keunikannya. Ini adalah ciri naratif yang paling esensial karena alasan yang sangat sederhana: cerita harus berkembang. Setiap tindakan unik akan memajukan cerita tetapi pada saat yang sama juga membedakan protagonis tidak hanya dari orang-orang di sekitarnya tetapi juga dari pembaca dan individu lain yang diketahui atau telah dibaca oleh pembaca.

Sebuah novel tidak bisa berlama-lama dengan pemaknaan peristiwa, karena pemaknaan biasanya dialami baik sebagai ilham maupun pengajaran. Ilham pada dasarnya bersifat sesaat dan pelajaran pada dasarnya tidak terlalu menghibur. Manik-manik makna cenderung dirangkai sepanjang rangkaian tindakan. Dengan demikian individualitas, makna, dan tindakan ini bercampur dalam bentuk novel dan larut dalam keunikan dari suara naratif.

Crusoe, seperti narator Defoe lainnya, memiliki karakteristik yang tegas: praktis, konkrit, tidak menonjolkan diri, dan jujur. Ia menyapa pembaca dengan hormat dan rendah hati. Ia tidak memberikan penilaian atas apa yang dianggap buruk atau perilaku buruk, tapi mempertanyakan motif di balik itu.

Tidak ada yang aneh dengan Crusoe. Berbeda dengan narator dengan gaya yang lebih hidup, Crusoe tidak memanfaatkan kefasihannya untuk menjelaskan isu-isu semisal neurosis, obsesi, atau kondisi mental aneh lainnya. Ia hanyalah orang biasa, mencoba bertahan, mempertahankan hati nurani yang baik, melakukan hal yang benar, dan mengamati dirinya sendiri. Ia menceritakan kisahnya karena menarik, bukan karena ia luar biasa. Tapi pembaca akhirnya mengakui bahwa Crusoe adalah tokoh yang juga luar biasa.

Seperti Aphra Behn, Defoe mengangkat tema kolonialisme Eropa. Ia tidak merasa gugup mengetengahkan kekejaman kolonial Eropa karena ia berpikir praktis. Peristiwa yang paling banyak diceritakan berkaitan dengan tema kolonialisme ini adalah ketika Crusoe muda ditangkap dan diperbudak di lepas pantai Afrika. Ia melihat perbudakan sebagai risiko universal—ditangkap di negeri asing berarti diperbudak, baik tawanan itu berkulit putih, hitam, atau coklat. Melarikan diri itu perlu dan wajar meski berbahaya.

Demikian pula, ketika pertama kali melihat kanibal di pulaunya, Crusoe mengamati bahwa orang yang dimakan kanibal hanya memiliki satu ciri umum: mereka adalah tawanan. Mereka yang dimakan bisa saja menjadi pemakan dan bertempur. Crusoe menyelamatkannya dan yang lainnya pergi. Ia mendidik Friday. Ia mengamati bahwa Friday memiliki selera daging manusia yang harus ia atasi, tetapi Crusoe tidak mengutuknya karena memiliki itu. Ia menyampaikan kepadanya bahwa rasa seperti itu adalah laknat bagi dirinya sendiri.

Pada saat yang sama, Crusoe khawatir apakah ia harus membunuh atau menyakiti para kanibal, karena meskipun kebiasaan mereka menjijikkan baginya, mereka tidak mencelakainya dan hanya bertindak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Selama bertahun-tahun sebelum ia menyerang kanibal, ia mengkhawatirkan hubungan moralnya dengan mereka. Hematnya, bukankah Tuhan menciptakan mereka sebagaimana adanya? Siapakah yang mereka ganggu?

Pada akhirnya, Crusoe dan Friday menyerang kanibal dan mengalahkan mereka hanya karena Friday mengakui salah satu korban sebagai ayahnya sendiri dan Crusoe mengakui korban lainnya sebagai orang Eropa. Kesimpulannya, para kanibal melakukan apa yang mereka lakukan di dalam budaya mereka sendiri, tetapi tidak menyakiti orang lain yang tidak memiliki kepercayaan yang sama.

Robinson Crusoe adalah karya sastra yang berpengaruh, sederhana di permukaan tetapi mengandung kompleksitas dan kontradiksi dunia modern. Sulit untuk tidak menyukai novel ini dan mustahil mengabaikannya. Apalagi praktik-praktik kolonialisme masih saja berlangsung beratus tahun kemudian lewat genosida, eksploitasi, dan pelbagai perang yang menggelisahkan umat manusia.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.