Senin, Oktober 7, 2024

Renungan Tragedi Asap untuk Presiden Jokowi

Fery Chofa
Fery Chofa
Alumnus Universiteit Maastricht, Belanda. Pegawai Negeri Sipil dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Api membakar lahan di sekitar Jalan Tjilik Riwut KM 53 dari arah Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu (31/10). Hingga kini masih terjadi pembakaran lahan yang berpotensi menimbulkan kembali kabut asap tebal dan pekat di wilayah Kalimantan Tengah. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
Api membakar lahan di sekitar Jalan Tjilik Riwut KM 53 dari arah Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu (31/10). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

Tiga bulan lebih sudah tragedi asap kebakaran lahan dan hutan itu datang menghampiri dan mengakrabi wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ia tidak sekadar hadir memenuhi langit di sana yang tak pernah biru lagi, tapi sudah merambat hingga ke rumah-rumah masyarakat di mana hati mereka selalu berada. Tragedi asap telah menjadi keseharian hidup mereka.

Entah berapa triliun rupiah sudah kerugian ekonomi yang dialami akibat terganggunya aktivitas bisnis dan perdagangan, mulai dari emperan jalan hingga bisnis yang dijalankan dari gedung-gedung megah. Ratusan atau ribuan sudah jadwal jasa transportasi publik yang dibatalkan dan tertunda, sehingga produktivitas arus lintas orang, barang, jasa, dan pekerja terhambat.

Puluhan ribu orang keluar-masuk rumah sakit untuk sekadar rawat jalan atau bahkan rawat inap karena saluran pernafasan mereka terinfeksi. Entah sudah berapa puluh halaman buku-buku pelajaran yang terlewatkan tanpa bimbingan dan arahan guru karena sekolah tutup dan diliburkan.

Entah rasionalitas apa dan teori analisa ekonomi mana yang dipakai penyelenggara negara ini. Sebegitu besarnyakah kontribusi sektor kehutanan dan perkebunan ini bagi perekonomian negara dan kesejahteraan warga negara, sehingga negara lalai dan begitu tolerannya dengan perilaku buruk para pencemar yang menahun?

Apakah karena memang banyak punya program “kartu sakti”, seperti kartu sehat dan kartu pintar, lalu semua derita dan kerugian akan bisa diatasi? Di manakah pemenuhan komitmen dan kewajiban semua pemangku kepentingan terhadap azas-azas keadilan masyarakat, tanggung jawab negara, good governance, dan pencemar membayar (polluter pays principle) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Lingkungan Hidup?

Dalam konteks yuridis normatif, sejatinya tiada yang salah dengan sistim pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup di negara ini. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah produk legislasi yang telah berevolusi dan mengalami penyempurnaan ketiga kalinya dari tahun 1982 dan tahun 1997.

Banyak perubahan dalam prinsip dan azas, instrumen perlindungan dan pengelolaan, maupun sarana dan upaya hukum yang tersedia dalam aspek penegakan hukum (law enforcement). Mulai dari aspek hukum perdata, administrasi negara hingga pidana dengan memberikan legal standing kepada kelompok masyarakat, organisasi lingkungan hidup hingga negara sendiri selaku penggugat. Produk legislasi ini, filosofi dan sosiologinya berbicara tentang prioritas perlindungan lingkungan dalam rangka pemenuhan hak asasi warga negara terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat terlebih dahulu. Lalu disusul konsep pengelolaan dari lingkungan hidup itu sendiri dalam kerangka pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dengan membaca UU PPLH ini, negara ini seakan telah memiliki instrumen yang sangat memadai dan mumpuni untuk mengatasi segala persoalan lingkungan yang ada–mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, hingga penegakan hukum.

Mari kita bicara isu kekinian dengan menyorot kebakaran lahan dan tragedi asap ini dalam kaitannya dengan implementasi dari UU PPLH itu sendiri. Dalam tahapan preventif, pemerintah sendiri yang dipimpin oleh presiden sebenarnya punya berbagai instrumen untuk melakukan upaya pencegahan: mulai dari rencana tata ruang, kriteria dan baku mutu kerusakan lingkungan hidup, penyusunan peraturan pelaksanaan dan anggaran berbasis lingkungan, perizinan yang mensyaratkan dokumen analisa risiko dan dampak lingkungan, hingga kewajiban audit lingkungan hidup.

Lalu sudah sejauhmanakah pemerintah melaksanakan instrumen yang menjadi amanat undang-undang itu sendiri dengan mengintegrasikan aspek transparansi, akuntabilitas, partisipas,i dan keadilan di dalamnya? Bahkan untuk memberi sanksi administratif sekalipun bagi perusahaan pencemar, pemerintah sepertinya tidak punya nyali.

Dari perspektif kelembagaan, penyatuan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan menyiratkan pemerintah minim dalam visi kebijakan yang berbasis lingkungan. Bagaimana mungkin persoalan lingkungan hidup yang multisektor dan interdisipliner dan bahkan lintas batas negara (transboundary) ditangani hanya oleh lembaga sekelas direktorat jenderal? Perampingan organisasi tersebut hanya lebih mengedepankan faktor efisiensi dengan mengesampingkan faktor efektifitas.

Dari aspek pengawasan penyelenggaraan pemerintahan, selaku representasi rakyat dan daerah yang menjadi korban, sudah sepatutnya para anggota DPR dan DPD mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam implementasi UU PPLH terkait penanganan bencana asap yang terjadi saat ini. Tapi sepertinya isu calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak atau kenaikan gaji pejabat negara jauh lebih menarik bagi mereka ketimbang menjadikan bencana asap, yang memang sudah panas dari sono-nya, sebagai agenda pengawasan? Tidak usah berharap terlalu banyak karena akan semakin jauh panggang dari asap.

Dari aspek pro-jusitisia, lemahnya upaya dan hasil penegakan hukum yang tergambar dari putusan-putusan peradilan yang tidak memberi efek jera (deterrence effect) bagi pelaku pencemaran perlu jadi perhatian khusus bagi mereka yang terlibat dalam upaya penegakan hukum lingkungan tersebut. Perlu kiranya Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan, dan Kepolisian–dengan melibatkan organisasi lingkungan serta kaum akademisi–untuk duduk bersama mengkaji dan mendiskusikan segala kekurangan dan kelemahan dalam upaya penegakan hukum lingkungan sehingga ditemukan solusi yang kongkrit untuk perbaikan ke depannya.

Masalah utama pencemaran lingkungan itu sendiri sesungguhnya disebabkan oleh fakta dari beberapa aktivitas ekonomi yang sesungguhnya menguntungkan ternyata menimbulkan efek samping yang merugikan pihak ketiga. Bagi pelaku kegiatan itu sendiri, efek samping tersebut adalah kondisi eksternal yang tak begitu mereka rasakan dampak negatifnya.

Dalam ketiadaan dan lemahnya upaya penegakan hukum, tak ada insentif bagi pelaku pencemaran untuk mempertimbangkan akibat dari polusi yang telah ditimbulkannya. Dengan kata lain, tujuan sesungguhnya dari hukum lingkungan itu sendiri adalah untuk menginternalisasikan kondisi eksternal tersebut dengan memaksa para pelaku pencemaran yang potensial untuk turut merasakan dampak negatif perilaku mereka. Ini kelak akan dijadikan bahan pertimbangan dalam setiap proses tindakan dan pengambilan keputusan dalam menjalankan setiap aktivitas ekonomi mereka tersebut (Michael Faure; 1996).

Pemaksaan itu bisa diberikan dalam berbagai bentuk dan tindakan, seperti pemenuhan syarat-syarat lingkungan dalam perizinan, sanksi administratif, perdata, hingga pidana denda bagi korporasi pelaku pencemaran.

Jauh lebih penting dari itu semua, perlu upaya dan gerakan untuk mendorong dan membangun kesadaran bersama dari masyarakat selaku korban dan pihak yang dirugikan. Suatu kesadaran bahwa lingkungan yang baik dan sehat jauh lebih penting dari sikap permisif dan toleran terhadap aktivitas ekonomi pihak lain yang ternyata memberikan efek samping yang negatif terhadap lingkungan hidup.

Upaya tersebut dapat dilakukan secara positif dengan mengedukasi dan mengadvokasi mereka untuk mengedepankan penggunaan hak gugat mereka terhadap pelaku pencemaran dan bahkan juga meminta pertanggungjawaban negara di depan pengadilan. Ini tanggung jawab dan tantangan bagi mereka yang melek dengan hukum lingkungan, seperti organisasi lingkungan, pakar dan akademisi, serta lembaga bantuan hukum.

Singkat kata, Presiden Joko Widodo dan semua unsur penyelenggara negara ini harus semakin jelas, lugas, tegas dan bahkan makin beringas untuk mengimplementasikan undang-undang ini sesuai dengan kewajiban dan kewenangannya masing-masing. Sebelum tragedi asap ini makin memerihkan mata, mengaburkan pandangan, menyesakan dada hingga menyakitkan kepala dan menambah korban jiwa berjatuhan. Sebelum nafsu amarah mengalahkan logika dan toleransi yang masih dipelihara.

Keserakahan memang tak terhingga, namun kesabaran ada batasnya. Enough is enough!

Fery Chofa
Fery Chofa
Alumnus Universiteit Maastricht, Belanda. Pegawai Negeri Sipil dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.