Kenapa mesti panik melihat razia buku-buku oleh tentara? Buang-buang energi saja. Mau segalau apa pun, yang seperti ini akan jadi menu reguler setiap tahunnya. Adapun terkait pasar pembaca buku dan upaya diseminasi wacana, ada seribu cara penyiasatannya. Maka, keriuhan memang harus tetap diangkat, tapi jangan sampai pikiran jadi berat.
Kita tahu, baru saja, di Kediri, Padang, dan Tarakan, para serdadu menyita buku-buku yang dituduh “mengandung unsur PKI”. Ketiga kasus itu terjadi dalam waktu kurang dari sebulan.
Kenyataannya, “unsur PKI” yang diklaim ada dalam buku-buku tersebut banyak ngocolnya. Misalnya buku Mengincar Bung Besar, yang berisi catatan sejarah upaya-upaya pembunuhan atas Bung Karno. Di mana PKI-nya? Bahkan di judul pun enggak ada PKI-PKI-nya. Apakah para tentara itu sedang ingin menyatakan bahwa Bung Karno itu PKI? Wah, nekat.
Atau, mereka sedang membayangkan bahwa para pencoba-bunuh Bung Karno itu PKI? Halah. Dari setidaknya tujuh upaya mengincar nyawa Sukarno, tiga kali di antaranya oleh orang DI/TII, dan sisanya berjalan sendiri-sendiri tanpa satu pun pelakunya yang kader PKI.
Yang tak kalah lucunya, penyitaan itu juga menimpa buku karya Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965. Memang ada kata “PKI” pada judulnya. Namun, buku tersebut berisi gambaran tentang rumitnya konflik panjang antara NU dan PKI pada masa-masa itu. Menurut penulisnya, buku itu justru mengambil sudut pandang resmi PBNU. Sementara, siapa pun yang makan sejarah pasti paham bahwa NU adalah lawan tradisional PKI, sehingga buku yang disita itu mustahil membela PKI.
Khusus terkait buku kedua, saya jadi ingat bahwa di awal tahun 2000-an dulu, di Yogyakarta juga terjadi razia buku-buku kiri oleh ormas antikomunis. Salah satu korbannya adalah karya Frans Magniz-Suseno, Karl Marx: Dari Materialisme Historis ke Perselisihan Revisionisme. Buku itu mengkritik secara mendasar pemikiran-pemikiran Karl Marx, alias bersikap kontra terhadap Marx. Jadi sesungguhnya, dengan menyita buku itu, si ormas antikomunis tidak sadar bahwa mereka malah sedang membela Karl Marx, hahaha!
Jika ingin sekadar dapat bahan guyonan, memang razia-razia buku menjadi salah satu gudangnya. Kawan saya Wawan Arif, petinggi Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) DIY juga pernah bercerita, dua tahun silam di sebuah pameran buku di Jawa Timur, aparat pun menyita beberapa buku. Gemblungnya, salah satu buku yang disita itu berjudul Audit. Itu jelas buku tentang audit keuangan perusahaan, tapi disita karena dikira “Aidit”. Betapa, oh, betapa.
Tapi, kita tidak usah jauh-jauh mencerna kasus per kasus, apalagi mengkritik berdasarkan betapa katrok dan illiterate-nya para serdadu itu. Kalau cuma dikritik sisi katroknya, itu tidak akan mengubah apa-apa. Sebab mau katrok atau tidak, setiap kali masuk ke titik-titik terpanas tahun politik, hal-hal beginian pasti akan selalu muncul. Selalu.
PKI, komunisme, tragedi 1965-1966, adalah trauma kolektif bagi bangsa Indonesia. Saya tidak sedang membahas apalagi memperdebatkan akurasi sejarahnya. Yang pasti, topik-topik tersebut menjadi obrolan sensitif di kalangan publik awam. Nah, karena sensitif, ia selalu menggiurkan untuk dijadikan bahan gorengan.
Walhasil, Jokowi diserang dengan isu anak PKI, rezim Jokowi dituding mengabaikan persiapan 15 juta anggota PKI, dan sebagainya. Kenapa? Karena bagi masyarakat Indonesia, isu PKI ini sama karakternya dengan politik identitas: secara instan gampang sekali dipakai untuk memercikkan sentimen negatif. Sementara, sentimen negatif yang instan adalah pelor politik paling tajam.
Dan, karena isu-isu semacam 15 juta anggota PKI itu tak kunjung menemukan bukti-buktinya, maka dicarilah “bukti-bukti” lainnya, yaitu adanya buku-buku yang “mengandung unsur PKI”.
Polanya pun langsung tampak. Dengan “penemuan” buku-buku berunsur PKI itu, di level massa ditumbuhkan imajinasi bahwa bahaya laten PKI sedang mengintip-intip. “Awas! Waspadalah! Kata siapa PKI tak ada lagi? Ini buktinya! Buka mata!” Ibaratnya demikian. Sepaket dengan itu, muncullah superhero-nya. Siapa lagi kalau bukan tentara?
Walhasil, orang awam akan spontan mengambil kesimpulan cakep, bahwa hanya tentaralah yang mampu menjaga mereka lahir dan batin, jasmani maupun rohani, dari bahaya PKI. Hidup tentara! Kita jaga manunggalnya ABRI dan rakyat!
Tunggu, saya tidak sedang membela-bela Jokowi dalam kasus ini. Jokowi hanya kejatuhan durian saja, karena peta politik dan narasi yang terbangun dalam kaitannya dengan isu bahaya laten PKI saat ini memang sedang tidak berpihak kepada geng Jokowi. Dan toh nyatanya kubu Jokowi juga tidak bersikap mengecam razia-razia itu, malah justru Rommy PPP yang masuk ke dalam inti kubu Jokowi pun mendukungnya. Player politik macam Rommy tak akan berani ambil risiko, karena logika publik telanjur membentuk rumus seperti ini: merazia buku yang mengandung unsur PKI adalah sikap menjaga Pancasila, dan menolak razia buku PKI berarti mendukung PKI. Modiarrr.
Apa pun itu, di segala lapangan pertarungan politik negeri ini, secara fleksibel dan mengagumkan isu PKI selalu enak dipakai. Efektivitasnya pun lumayan, tergantung siapa yang lihai memainkan. Oh ya, Anda masih ingat waktu ramai-ramainya muncul gambar palu-arit secara misterius di Balikpapan, menjelang kedatangan Jokowi? Atau munculnya simbol-simbol serupa di Pamekasan, bersamaan dengan kedatangan Kyai Ma’ruf Amin?
Tak usah membayangkan bahwa pemasangan simbol-simbol itu butuh dukungan 15 juta kader PKI. Cukup para broker kelas kambing yang menempelnya, mengecatnya, dalam semalam menampilkannya di titik-titik yang gampang terlihat oleh mata manusia, dan persis ketika warga ribut “Bahaya PKI! Bahaya PKI!”, si tukang tempel tadi sudah tersenyum lebar menerima pencairan honor proyeknya.
Pola semacam itu bukan cuma menyasar Jokowi, dan bukan cuma menyangkut palu-arit saja. Ada banyak gorengan di level bawah bermunculan setiap menjelang Pemilu, Pilpres, bahkan Pilkada. Mulai isu PKI, isu orang gila, isu SARA, dan sebagainya.
Jadi, tak usahlah berat-berat mencerna rentetan peristiwa itu dari perspektif kebebasan berpikir, pemasungan dunia intelektual, bangkitnya kembali cara-cara Orba, dan bla-bla-bla lainnya. Iya, benar, kalau dibiarkan tanpa reaksi, pendidikan publik memang jadi tidak berjalan sama sekali. Namun jangan terlalu serius, apalagi membayangkan bahwa razia buku akan berhenti hanya karena tekanan publik. Mustahil, setidaknya hingga beberapa dekade ke depan. Jadi, niatkan saja semua protes itu sebagai gimik belaka, sekaligus orientasi publisitas.
Kenapa publisitas? Sebab razia-razia tersebut, berikut berita-berita yang menyusulnya, adalah ajian marketing paling sakti. Lihat, berapa orang yang kemudian jadi tahu judul-judul semua buku itu, padahal sebelumnya sama sekali tidak tahu-menahu? Itu positif, bukan? Akibatnya, banyak orang yang kemudian justru mencarinya.
Nah, karena para serdadu itu rata-rata so yesterday, tahunya mereka ya cuma lapak-lapak buku offline. Belum pernah satu kali pun saya dengar mereka merazia lapak online. Maka, segeralah laskar olshoper bergerak. Pajang buku-buku yang dirazia itu di IG, marketplace, Bukalapak, Toped, dan semua basis perlawanan yang bisa dipakai. Kasih judul “Sedia paket buku yang dirazia tentara”. Sungguh, ini kesempatan pemasaran yang jitu dan sensasional. Lebih dari urusan jualan, dengan jalur online, kita akan tahu bahwa razia di lapak-lapak offline tidak akan mampu memberangus kemerdekaan berpikir dan berwacana.
Ya, saya paham, yang paling mengenaskan adalah pemilik toko-toko buku yang dagangan mereka dirazia itu. Saya berharap mereka menjual dengan sistem konsinyasi, sehingga beban kehilangan itu ditanggung oleh penerbit dan distributor saja. Dan penerbit tak perlu minta ganti rugi ke toko-toko buku itu.
Anggap saja ongkos promosi. Hehehe.