Ramadhan kembali menghampiri dengan segenap peluang ibadah yang melimpah bagi umat Islam, seperti puasa dan shalat tarawih. Keseriusan dan hasrat untuk berlomba-lomba menjalankan ibadah selama Ramadhan ini bisa dipahami mengingat keterbatasan periode yang memang Allah hadirkan hanya sekali dalam setahun.
Ramadhan, karenanya, menjadi ajang bagi banyak kalangan umat Islam untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah yang tidak maksimal dilakukan atau terbaikan di bulan-bulan lainnya.
Salah satu yang mungkin saja luput dari perhatian beberapa pihak bahwa Ramadhan sesungguhnya juga memberikan ruang yang luas buat peningkatan apa yang lazim dikenal sebagai indeks kebahagiaan.
Dalam perspektif ekonomi, selama ini indeks kebahagiaan berkorelasi linear dengan Produk Domestik Bruto (GDP). Padahal gagasan ini mulai ditinggalkan di sejumlah negara-negara maju. Pada tahun 2008, Presiden Prancis, Sarkozy, mendirikan sebuah komisi untuk mengukur kinerja ekonomi dan kemajuan sosial yang berangkat dari kekecewaannya atas relasi antara kesejahteraan dan GDP. Sarkozy bahkan melibatkan dua orang peraih hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz dan Amartya Sen, masing-masing sebagai ketua dan penasihat.
Bagi umat Islam, Ramadhan sebetulnya adalah momen paling pas untuk memperoleh hakikat kebahagiaan. Kenapa? Kuncinya terletak pada ibadah-ibadah yang bernuansa kejiwaan yang dihadirkan selama Ramadhan. Silaturahmi adalah salah satu contoh ibadah sosial yang punya kontribusi besar untuk menginjeksi makna kebahagiaan bagi orang-orang yang mengerjakannya. Menjadi pertanyaan bagaimana buhulan antara kebahagiaan dan silaturahmi pada bulan Ramadhan?
Tingginya frekuensi ibadah selama Ramadhan, semisal tarawih di mesjid atau buka bersama dengan anggota keluarga dan kalangan yang beragam, sebetulnya bukan sekadar keramaian barisan pelaku ibadah tapi juga mendekatkan hati-hati yang saling menyapa tatkala bertemu. Semakin seorang sering bersua, apalagi digerakkan oleh panggilan ibadah, semakin jiwa dan pemahamannya saling menyatu. Jiwa-jiwa yang saling menyatu tidak menyisakan tempat untuk konflik, syak wasangka dan permusuhan terlepas dari keragaman distingtif yang ada.
Salah satu komponen utama dalam silaturahmi adalah kesediaan untuk memaafkan, bukan meminta maaf. Memaafkan memang lebih sulit daripada meminta maaf, tapi memaafkan jauh lebih mulia daripada meminta maaf. Memaafkan, yang tumbuh dari kebesaran jiwa, berperan menciptakan kesetaraan karena setiap Muslim terlahir kembali dengan antusiasme dan keyakinan yang segar untuk menghadapi tantangan hidup.
Politisi yang suka memaafkan tidak keberatan terjun langsung ke masyarakat dan menyerap aspirasi mereka tanpa kehilangan maruah. Kemampuan memaafkan bakal memandu politisi untuk mendobrak hambatan sosial yang menjadikan hubungan dan suasana dialog yang lebih terbuka antara elit dan pemilih. Didukung oleh semangat silaturahmi, politisi dan elit diharapkan belajar untuk mendengarkan suara rakyat. Semangat ini bertujuan untuk mencabut eksklusivitas dari kalangan politisi dari elit karena ia fungsional membentuk altruisme. Politisi altruistik punya tenaga lebih untuk memberi.
Kemampuan memaafkan ini juga bergandengan dengan kemauan untuk memberi. Erich Fromm membagi manusia menjadi dua modus, yakni modus memiliki (having mode) dan modus menjadi (being mode). Orang dengan ‘modus memiliki’ meletakkan kebahagiaan pada apa yang dimiliki, sementara orang dengan ‘modus menjadi’ meletakkan identitasnya pada apa yang diberikan. Para ahli silaturahmi adalah orang yang mengidentifikasi dirinya dengan apa yang diberikan, dibagikan dan dikontribusikan kepada orang lain.
Kebahagiaan juga bertalian dengan optimisme menyongsong masa depan. Tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa, karena kita tak mungkin kita berputar-putar pada masa lampau. Seperti mengendarai mobil, melihat kaca spion memang penting (past time), tapi memasukkan persneling, menekan gas dan menatap ke depan (futuru time) jauh lebih penting. Di sinilah urgensi kedewasaan sebagai prasyarat mutlak untuk memaafkan.
Oleh karena itu, kemampuan untuk memaafkan dan kemauan untuk memberi merupakan asupan gizi yang menumbuhkembangkan jiwa manusia yang pada akhirnya membuat orang bahagia. Janji pahala yang lebih besar selama bulan Ramadhan dan masifnya aktivitas keberagamaan di bulan Ramadhan sejatinya tak memicu takut keramaian (demophobia) atau kecemasan padatnya lalu lalang aktivitas (phobic commuter) tapi justru melapangkan jalan bagi terwujudnya kebahagiaan kolektif karena setiap Muslim berlomba melakukan ibadah sosial—saling memaafkan, saling memberi.
Campante dan Yanagizawa-Drott (2014), peneliti dari Harvard Kennedy School, dalam riset mereka menemukan adanya korelasi antara berpuasa di bulan Ramadhan dan tingkatan kebahagiaan.
Sungguh pun dalam penelitian tersebut didapati bahwa masa berpuasa Ramadhan yang lebih panjang mendatangkan problem pada beberapa aspek pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara Islam, puasa Ramadhan ternyata berperan meningkatkan tingkat kepuasan dan kebahagiaan bagi yang menjalankannya, walaupun mereka bukan kelompok yang berada. Pengecualian hanya terjadi pada orang-orang yang kelewat konsumtif sepanjang bulan Ramadhan.